Chereads / Cinta Sang Malaikat Maut / Chapter 4 - Hukuman

Chapter 4 - Hukuman

Luna menatap nanar gedung bertingkat di hadapannya. Bangunan itu bukanlah rumah sakat, seperti tebakannya, melainkan sebuah klinik kesehatan. Tenang, dia tidak marah pada tempat itu. Untuk apa? Tak ada yang salah pada tempat itu. Yang sejak awal bermasalah adalah dirinya.

Dia jadi teringat masa-masa awal dirinya menjadi malaikat maut. Sisi emosionalnya sulit sekali beradaptasi. Dia nyrais selalu datang di detik-detik terakhir kematian targetnya. Dia tak tega melihat proses kematian mereka yang beragam, terlebih jika itu kematian tak wajar. Kesedihannya berlipat karena harus melihat proses penuh siksaan itu.

Tapi, itu dulu. Bahkan, ketika rasa tak tega itu begitu besar, dia masih mampu menahan diri. Meski air mata itu tak jarang menitik dari matanya, dia dapat mengatasi itu semua. Lalu, bagaimana bisa setelah sembilan tahun bekerja menjadi malaikat maut, dia melakukan kesalahan yang amat fatal? Sungguh, tak bisa dipercaya.

Luna menatap bangunan bertingkat dua itu untuk terakhir kalinya. Keengganan itu dia tunjukkan saat harus meninggalkan tempat tersebut. Bukan cuma karena tempat itu memberikan kesan yang baik, namun lebih kepada pemikiran tentang kelanjutan hidupnya di dunia manusia. Di mana dia akan tidur malam ini?

Tetapi, dia tak mempunyai pilihan lain, selain pergi, bukan? Memaksakan diri untuk lebih lama tinggal di sana justru akan menimbulkan kecurigaan. Lagi pula, alasan apa yang harus dipakainya? Wanita pingsan tanpa identitas sudah cukup memberi petunjuk untuk memanggil pihak berwenang. Dan dia jelas-jelas tak mau berurusan dengan mereka. Bisa-bisa masalahnya bertambah runyam.

"Kamu nggak bekerja?" tanyanya pada Rio yang ternyata masih berada di dekatnya. Mereka berdua bahkan mulai berjalan beriringan meninggalkan klinik kesehatan itu.

"Mereka memberiku cuti. Tapi, sebagai gantinya, aku harus menemanimu seharian ini."

Luna berdecak. Cukup aneh juga mendengar perintah para petinggi di dunia atas. Apa yang mereka harapkan dari mengirim seorang malaikat maut untuk menemaninya? Ingat, sekarang, dia adalah manusia. Tak ada manusia yang bisa melihat malaikat maut, kecuali mereka yang diberi kemampuan spiritual dan dirinya. "Memangnya kamu bisa membantuku? Yang ada aku dianggap gila karena bicara sendiri," balasnya skeptis.

Rio mengangkat kedua bahunya tanda tak tahu. Dia hanya mendapat perintah tersebut.

"Kamu bilang mereka sudah selesai rapat, bukan? Bagaimana keputusan akhirnya?"

"Kamu menjadi manusia." Singkat, Rio menjawab.

Sebuah desahan keluar dari bibir Luna. "Aku sudah tahu. Tanpa kamu beri tahu pun, aku sudah tahu. Lagi pula, di dalam peraturan sudah tertulis jelas mengenai hal itu."

"Lalu, kenapa kamu melanggarnya?"

"Oke. Aku salah. Aku ceroboh karena hanya berpikir untuk menyelamatkan anak kecil itu tanpa memperhatikan situasi yang ada," ujarnya pasrah bercampur kesal. Rasa-rasanya dia ingin menjitak kepala Rio sebab terus-menerus mengingatkannya akan kesalahannya. "Tapi, pasti mereka juga mengatakan hal lain, bukan?"

Rio mengangguk.

"Apa?" tanya Luna tak sabar. Secercah harapan mendadak muncul di hatinya. Semoga ada hal baik di balik kesialan yang menimpanya.

"Kamu harus membuat Rangga mati agar kamu bisa kembali menjadi malaikat maut."

Ternyata, kabar itu benar. Meski, tak tercantum di dalam peraturan, Luna pernah mendengarnya. "Dengan kata lain, aku harus membunuhnya, begitu?"

Sebuah anggukan kembali Rio berikan. "Kamu boleh menggunakan cara apa pun, asalkan Rangga mati. Jika dalam satu tahun kamu gagal melakukannya-" dia mengambil jeda dalam ucapannya "-kamu akan musnah." Suaranya memelan di akhir kalimatnya.

Langkah Luna tiba-tiba terhenti. Tubuhnya membeku. Jantungnya serasa berhenti berdetak mendengar berita yang barusan didapatnya. Musnah? Dia tak pernah tahu konsekuensi terburuknya adalah musnah. "Mereka bilang seperti itu?"

"Iya. Makanya, kamu harus segera mengatur strategi. Satu tahun, Luna. Ingat!"

Luna menelan ludahnya dengan susah payah. Bayangan tentang adegan pembunuhan di beberapa film dan drama yang pernah dilihatnya seketika melintas di dalam otaknya. Ditembak, disiksa, didorong jatuh dari ketinggian, ditenggelamkan, diberi racun, kecelakaan berencana, dan masih banyak lagi cara-cara untuk membunuh manusia. Namun, apakah dia bisa melakukannya? Melihat kematian saja membuat perasaan sensitifnya tersulut. Bagaimana bisa dia justru diharuskan menciptakan kematian itu?

"Kamu nggak sedang bercanda, bukan?"

"Menurutmu aku bisa bercanda dalam situasi begini?" Rio balik bertanya. Dia tak akan berani mempermainkan Luna dengan melontarkan gurauan tak penting padanya. Keadaan sedang tak bersahabat bagi malaikat maut itu. Atau mantan malaikat maut? Entahlah.

Luna menggelengkan kepala. "Nggak." Ya, dia sudah mengetahui jawabannya, tapi tetap saja ingin memastikannya.

Dia menghembuskan napas berat. Tugas itu sangat berat untuknya. Sejujurnya, dia sendiri tak yakin akan mampu melaksanakannya, walau tenggat waktu yang diberikan lumayan panjang. Satu tahun. Dia harus mempersiapkan batinnya dari sekarang. Mungkin, dengan mulai mematikan hati nuraninya.

"Ada lagi?" Luna kembali bertanya. Dia menguatkan hatinya, bersiap menerima kabar buruk lainnya. Dia pikir lebih baik mendengar semuanya sekaligus, daripada mengetahuinya satu-persatu.

"Nggak ada. Mereka hanya mengatakan itu."

Luna bisa bernapas lega. Setidaknya tak ada hal buruk lain yang bisa terjadi padanya. Ah, tapi, apa yang menimpanya sudah sangat buruk. Dan dia yakin tak ada yang lebih buruk dari ini.

Tetapi, raut wajah itu berubah saat sebuah kesadaran menerjangnya. "Bagaimana dengan manusia lain, selain Rangga, yang kuselamatkan?"

"Oh, mereka!" seru Rio teringat informasi lain yang luput diceritakannya. "Kamu tenang saja. Pihak atas sudah mengatur ulang takdir mereka."

"Apa mereka mendapat masalah karena hal ini?" tanya Luna hati-hati.

Rio menoleh dan menatap Luna dengan kening berkerut. Otaknya menebak-nebak siapakah 'mereka' yang wanita itu maksud. Para petinggi dunia atas jelas tak akan menerima imbas langsung dari masalah ini. Apa mungkin manusia? Tapi, dunia atas dan dunia manusia berbeda. Dan masalah ini bukan diakibatkan oleh mereka. "Maksudmu kami?" ujarnya menyuarakan isi pikirannya. Pihak lain yang terlibat tak lain adalah malaikat maut yang bertugas.

Luna mengangguk. Dia tahu Rio ada di sana saat kejadian itu terjadi karena pria itu tengah melaksanakan tugasnya, sama seperti dirinya. Karena itulah dia bertanya mengenai nasib Rio dan juga teman-temannya.

"Ya, mereka memarahi kami. Mereka juga bertanya kenapa kami nggak mencegahmu. Tapi, mana ada yang tahu kamu akan melakukan itu."

Luna manggut-manggut menyetujui perkataan Rio. Sebenarnya, dia sendiri pun tak menyangka akan melakukan hal tersebut. Tubuhnya seolah-olah bergerak otomatis untuk menyelamatkan balita itu.

"Jadi, mereka hanya menugaskan kami semua untuk mengawasimu," lanjutnya.

Kini, Luna dapat sedikit tersenyum karena tak ada hal buruk yang menimpa rekan-rekannya. Mereka pasti merasa tak adil jika harus menerima hukuman, padahal semua itu bukan kesalahannya.

"Jadi, ke depannya nanti, bukan cuma aku yang sering mengunjungimu," imbuh Rio, memberikan kekuatan melalui kata-kata dan senyum yang disunggingkannya untuk Luna. Dia seolah ingin memperlihatkan solidaritas yang tidak hanya ada pada manusia, tetapi dimiliki pula oleh para malaikat maut.

"Aku akan dengan senang hati menyambut kedatangan kalian."

"Kamu yakin? Asal kamu tahu, manusia mulai memperhatikanmu."

Kepala Luna celingukan melihat keadaan di sekelilingnya. Rio benar. Orang-orang itu banyak yang menatap aneh dirinya. Tentu saja. Siapa yang tak terlihat aneh bila berjalan sambil mengobrol tanpa ada kawan yang mendampingi?

Seketika, Luna mempercepat jalannya. Dia harus segera pergi dari tempat ini.