Manik mata itu bergerak gelisah dalam tidurnya. Pastilah bukan mimpi indah yang dialaminya sebab wajahnya sesekali bekerut, menunjukkan betapa tak nyamannya dirinya di alam tidurnya. Kemudian, wanita itu tersentak. Dengan kelopak yang tiba-tiba membuka, kesadarannya mulai kembali. Langit-langit putih itu menjadi pemandangan pertama yang memasuki indra penglihatannya.
Kepalanya menoleh. Namun, sebuah tirai panjang membatasi pandangannya karena menutupi sekeliling tempat tidurnya. Seketika, bau obat-obatan merasuk ke dalam hidungnya. Rumah sakit. Hanya itu yang terlintas di benaknya untuk menebak tempatnya berada sekarang.
Perlahan, Luna mengubah posisinya menjadi duduk. Satu tangannya sontak memegang kepalanya yang berdenyut pening, sementara tangan lainnya menopang tubuhnya yang masih terasa lemas.
Tunggu. Kenapa dia merasakan dua hal tersebut? Kenapa pula dia melihat mantel hitamnya terlipat rapi di samping bantalnya? Apa dia sedang berada di rumah sakit di dunia atas? Apa yang terjadi padanya?
Saat itulah, kilasan ingatan menghantamnya. Tentang pekerjaan terakhirnya dan bagaimana dia menggunakan kekuatannya demi menolong seorang balita kecil. Wajahnya memucat begitu menyadari kesalahan yang telah diperbuatnya. Dia menyelamatkan manusia!
Luna memaksakan tubuhnya untuk bergerak. Dia harus segera memastikan sesuatu. Dengan sekali sentakan, dia membuka tirai di sekelilingnya. Matanya membelalak sempurna usai melihat pemandangan di baliknya. Dia berada di sebuah ruangan kecil yang asing dan tak asing baginya. Rasa kejutnya mencapai level maksimal kala otaknya mengenali tempat ini bukan sebagai rumah sakit yang pernah dikunjunginya di dunia atas. Tempat ini terlalu mirip dengan kamar inap yang sering didatanginya di dunia manusia.
"Nggak mungkin," gumamnya pelan, berusaha mengenyahkan semua pikiran buruknya. Tetapi, kenyataan pahit lagi-lagi menohoknya. Ketakutannya seakan berubah nyata tatkala dilihatnya seorang perawat berjalan ke arahnya. Wanita itu adalah manusia!
"Ini salahmu. Kenapa kamu harus menyelamatkan anak itu?"
Sebuah suara memasuki indra pendengaran Luna. Rio, pria berbaju serba hitam, berdiri tak jauh darinya. Rio menatapnya kasihan sekaligus menuduh di waktu bersamaan.
"Apa maksudmu?" tanya Luna belum sepenuhnya mengerti situasi yang terjadi.
"Anda sudah siuman?"
Suara lain menginterupsi obrolan mereka yang baru akan dimulai. Luna menoleh dan raut wajahnya jelas menunjukkan kekagetannya ketika mendapati perawat yang tadi dilihatnya telah berada di depannya dan tengah memperhatikannya.
"Anda baik-baik saja?" Perawat itu bertanya lagi setelah tak memperoleh respon dari pasiennya.
Dahi Luna berkerut. Kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri, mencari-cari manusia yang pantas menjadi lawan bicaranya. Nihil. Cuma ada dirinya dan sang perawat di dalam ruang kecil ini. "Anda bicara dengan saya?" Sekali lagi dia memastikan.
"Tentu saja. Tidak ada pasien lain di sini, selain Anda," jawabnya, meski bingung kenapa si pasien bertanya demikian. "Anda baik-baik saja?" Dia mengulang kembali pertanyaannya.
"Oh-Eh-Iya," balas Luna sedikit tergagap. Sejujurnya, dia tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu. Dia tidak baik-baik saja, tapi dia tak mungkin mengatakannya kepada si perawat.
"Baguslah." Perawat itu berkomentar singkat. "Tadi dokter sudah memeriksa. Katanya Anda kelelahan. Tekanan darah Anda juga rendah. Ini obat yang diresepkan oleh dokter," lanjutnya dengan penjelasan cukup panjang, lalu menyodorkan bungkusan plastik kepada Luna.
Luna menerima bungkusan itu dengan ragu. Pikirannya membayangkan kondisi tubuhnya yang telah disebutkan perawat itu. Kelelahan? Tekanan darah rendah? Oh, bahkan dia juga membutuhkan obat-obatan untuk memulihkan keadaannya. Sungguh, tak dapat dipercaya.
"Oh, iya. Semua biaya perawatan sudah dibayarkan oleh orang yang menolong Anda. Orang itu juga meninggalkan kartu namanya untuk Anda. Dia bilang Anda bisa menghubunginya jika memerlukan bantuan."
Tangan Luna kembali terulur untuk menerima kertas kecil itu dari sang perawat wanita. Dia membaca nama yang tertera di sana. Rangga Hendrawan. Kedua alisnya bertumpu menjadi satu. Nama itu terasa tak asing untuknya.
"Kalau Anda sudah merasa sehat, Anda dapat langsung pulang. Saya permisi."
Luna mengangguk. "Makasih, Mbak," ucapnya pada sang perawat yang telah merawatnya selama dirinya tak sadar.
Perawat itu memberikan senyum terakhirnya sebelum berlalu pergi dari hadapan Luna. Dipandanginya punggung wanita yang tebakannya berusia pertengahan dua puluh tahunan itu. Mengalami sendiri pelayanan dari perawat memang memberikan kesan yang berbeda dari hanya melihat saja. Jika selama ini dirinya cuma sebagai penonton dari pekerjaan sehari-harinya yang berhadapan langsung dengan berbagai jenis pasien, maka hari ini dia bisa merasakan langsung menjadi pasien dalam pengawasan perawat. Ternyata, memang, mereka memegang teguh profesionalitas kerjanya dengan memberikan pelayanan maksimal kepada para pasiennya.
Dia mungkin hanya melebih-lebihkan karena nyatanya pengalaman langsungnya dengan sang perawat terjadi saat dirinya telah sadar. Itu berarti kurang dari sepuluh menit interaksi mereka berlangsung. Namun, dari bagaimana si perawat menjelaskan perihal kondisinya, dia tahu bahwa dugaannya itu tepat. Perawat itu menghampirinya lebih dulu kala dia sadar serta menyimpankan obat-obatannya dan kartu nama untuknya.
Ah, daripada memikirkan hal tersebut, ada situasi genting yang perlu dipelajarinya. Bagaimana dia berakhir menjadi manusia?
"Apa maksudmu tadi tentang ini semua salahku?" tanya Luna pada Rio yang masih setia berada di dekatnya. Dia sengaja bersuara pelan karena tak ingin ada manusia yang mendengar percakapan mereka dan mengganggap aneh dirinya yang bicara dengan udara di depannya.
"Karena kamu menyelamatkan anak kecil itu, mereka yang seharusnya mati tetap hidup."
Mulut Luna membuka seolah menampakkan ketidakpercayaannya. "Semuanya?" Kata itu nyaris tertahan di tenggorokannya.
Rio mengangguk.
Melihat reaksi Rio, bahu Luna melemas. Meski dugaan itu sempat terlintas di benaknya, dia tak pernah menginginkannya terjadi. Dia telah melanggar peraturan yang tak pernah boleh dilanggar oleh malaikat maut; mengubah takdir kematian manusia.
Luna menyembunyikan wajahnya di balik kedua telapak tangannya untuk menyembunyikan betapa frustasinya dirinya. "Bagaimana mungkin?"
"Pelindung yang kamu buat ternyata bukan cuma melindungi balita itu, tapi juga seseorang yang seharusnya menyebabkan terjadinya kecelakaan. Dengan kata lain, kamu telah membatalkan kecelakaan itu sehingga sekarang mereka tetap hidup."
Sebuah dengusan keluar dari bibir Luna. Kecerobohannya benar-benar berakibat fatal untuknya.
"Anak kecil itu adalah takdir tak terduga. Kalau kamu cuma menyelamatkannya, akibatnya nggak akan separah ini."
Ya, ya. Semua perkataan Rio benar. Dia sendirilah yang menyebabkan masalah ini terjadi kepada dirinya. Harusnya dia menahan diri dan sabar menunggu hingga waktunya tiba. "Lalu, kenapa aku menjadi manusia?" Dia meloloskan kekesalan dalam nada bicaranya.
"Manusia yang membawamu ke sini adalah orang yang seharusnya kamu jemput."
Seketika, matanya tertuju pada kartu nama yang tegeletak di atas pangkuannya. Rangga Hendrawan. Pantas nama itu tidak terasa asing. Dia sudah membacanya saat mempelajari informasi mengenai roh yang harus dibawanya.
"Nggak mungkin!" pekiknya tertahan usai otaknya selesai mengartikan segalanya. Satu kesalahan terfatalnya. Menyelamatkan manusia yang menjadi targetnya. Dan ini merupakan hukumannya.