Chereads / Cinta Sang Malaikat Maut / Chapter 2 - Kesalahan

Chapter 2 - Kesalahan

Luna melangkah memasuki sebuah ruangan bertuliskan 'Perpustakaan' di pintunya. Dari luar, ruangan tersebut terlihat kecil. Namun ketika sudah berada di dalamnya, ruangan ini bak tanpa batas. Sejauh melangkah, panjang lorong di hadapannya tak pernah memendek. Selalu ada koridor panjang dengan rak-rak penuh buku di kanan kirinya.

Dia tak berniat menelusuri lorong-lorong panjang itu. Dia hanya ingin duduk di sana, beristirahat, dan menikmati waktu santainya dalam kesunyian. Usai mengantarkan nenek itu dan melapor ke kantor pusat, rencananya berkunjung ke Mystic Café batal. Tiba-tiba saja dia malas ke sana. Karenanya, di sinilah dirinya sekarang. Menjadi salah satu pengunjung perpustakaan terlengkap ini.

Luna melirik ke arah buku terbuka tak jauh darinya. Pastilah sang pembaca terburu-buru hingga lupa menutup buku yang tengah dibacanya. Matanya memicing berusaha membaca deretan kata di sana. Tapi, nihil. Akhirnya, tangannya tergerak mengambil alih buku itu yang kini sudah ada di depannya.

-

Kehidupan dan kematian merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan. Keduanya tak sejajar atau berjalan beriringan. Keduanya pun tak bisa saling menggantikan. Hidup dan mati adalah proses berkesinambungan. Yang hidup pasti mati. Dengan kata lain, kematian merupakan akhir dari proses kehidupan.

Namun, ketika kematian memunculkan kehidupan, susunan takdir itu menjadi kacau. Hidup dan mati menjadi terasa membingungkan. Apakah dia hidup? Ataukah mati seperti takdir yang telah dijalaninya?

Tapi, ketahuilah. Di saat kehidupan lahir dari kematian, maka keduanya akan terjalin menjadi satu. Jika yang satu hidup, maka satu lainnya juga hidup. Dan apabila yang satu mati, bisa dipastikan satu lainnya pun ikut mati. Ikatan takdir itu begitu kuat hingga tak mampu dipisahkan.

Wahai, kematian. Berhati-hatilah pada kehidupan! Ingat, semuanya akan berakhir mati!

-

Alis Luna saling bertautan setelah membaca barisan kalimat di halaman yang membuka di hadapannya. Dia sama sekali tak mengerti maksudnya. Yang dia tahu hanya pekerjaannya berhubungan dengan kematian. Bila demikian, maka kehidupan pastilah berkaitan dengan mereka yang hidup di bumi. Dia paham mengenai 'yang hidup pasti mati'. Tetapi, selebihnya, dia tak mengerti.

Ting!

Sebuah notifikasi masuk ke tablet hitamnya. Pekerjaan baru. Seorang lelaki muda berpakaian necis beserta informasi tentangnya muncul di sana. Luna terlonjak dari duduknya begitu menyadari tenggat waktunya tak lama. Kurang dari setengah jam atau sangsi menunggunya. Seketika dia berlari meninggalkan buku terbuka itu di posisi yang sama seperti pembaca sebelum dirinya lakukan.

--

Luna setengah berlari menuju persimpangan jalan cukup ramai itu. Dia merasa agak aneh melihat beberapa rekannya berdiri di sana, bergerombol, dan membicarakan entah apa.

"Pasti kecelakaan besar," ujar seorang malaikat maut yang dikenalinya bernama Ariel.

"Kecelakaan besar?" ulang Luna sesampainya di sana dan menjadi bagian dari gerombolan itu.

"Lihat saja. Nggak ada apa-apa di sini, selain jalan, kendaraan, dan manusia. Kemungkinan besar adalah kecelakaan beruntun."

Luna mengikuti arah tatapan Ariel. Memang, jalan dan kendaraan bermotor mendominasi tempat itu. Lalu lintas bahkan cukup padat di siang yang terik ini. Dan seperti yang GPS gadget-nya tunjukkan, di sinilah pekerjaannya akan dilangsungkan.

Luna sudah membaca informasi mengenai targetnya, termasuk bagaimana pria muda itu meninggal. Karena itulah dia tahu kecelakaan akan benar-benar terjadi di jalanan di hadapannya. Tetapi, rupanya, musibah yang terjadi dalam lima menit ke depan merupakan kecelakaan besar sehingga harus mengerahkan tujuh malaikat maut untuk menjemput roh manusia yang akan mati di sini.

"Aku harus membawa ibu hamil," ucap malaikat maut dengan penampilan termuda di antara mereka. Tubuhnya memang terlihat seperti remaja akhir. Namun, sudah lebih dari dua puluh tahun dia memiliki rupa itu. Artinya, lebih dari dua puluh tahun pula dia meninggal. Sosoknya persis seperti bagaimana dia terlihat sekarang. Remaja akhir.

"Kasihan sekali." Malaikat maut di sampingnya menimpali.

Ya, kasihan sekali. Melihat satu kematian saja sudah miris. Apa lagi, ada tujuh kematian yang nanti harus dia saksikan, dan satu di antaranya adalah wanita hamil. Sebuah kehidupan harusnya lahir dari rahimnya. Tapi, itu semua batal terjadi kala kematian telah lebih dulu datang, mencabut nyawanya beserta makhluk kecil yang dikandungnya.

Luna menunggu sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku mantel hitamnya. Melihat warna pakaiannya itu, dia teringat perkataan para manusia yang cukup sering didengarnya. Hitam bukanlah warna yang bersahabat dipakai di cuaca terik. Katanya bisa membuat badan cepat gerah. Tentu, dia tak dapat merasakannya. Sekali lagi, karena mereka berbeda.

Luna menoleh ke kanan, lalu ke kiri. Dia mengira-ngira dari arah mana kecelakaan bermula. Tidak ada keterangan rinci mengenai proses terjadinya. Yang dia tahu--dan rekan sejawatnya--hanya kecelakan dan peristiwanya di jalan raya.

Waktu kejadian semakin dekat. Para malaikat maut telah bersiap melihat kecelakaan tragis di depannya. Namun tiba-tiba, seorang anak kecil berlari menembus tubuh mereka. Balita itu tak berhenti dan tetap meneruskan langkah hingga tubuh kecilnya kini berada di tengah jalan raya.

Makhluk berpakaian serba hitam itu kompak melihat tabletnya demi mencari informasi tentang balita tersebut di sana. Tidak ada. Tak satu pun dari mereka mempunyai datanya.

Ada tiga kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, anak kecil itu tidak mati. Kedua, jika memang balita itu mati, maka malaikat maut penjemputnya pasti datang terlambat. Yang terakhir adalah kematian tak terduga. Walaupun tak sering terjadi, kematian tak terduga biasanya terjadi pada anak kecil, terutama balita. Kenapa? Karena anak kecil masih suci yang terkadang sulit diketahui takdirnya.

Secepat teori itu merasuk ke dalam pikiran Luna, secepat itu pula dirinya menyadari ada sebuah motor yang melaju kencang tepat ke arah sang balita. Jarak antara mereka sudah tak memungkinkan lagi dilakukan pengereman karena memang, anak kecil itu mendadak muncul di sana. Dan saat kendaraan itu semakin mendekat, dia memutuskan untuk bertindak. Luna berlari di antara keduanya. Dalam hati dia berdoa agar anak itu selamat.

Keadaan di sekeliling Luna bersinar kala sebuah dinding tak kasatmata melingkupi mereka--dirinya, si balita, dan seorang manusia tak jauh darinya. Nafasnya tertahan ketika motor itu menembus sekat yang dibuatnya dan melewati mereka bertiga tanpa masalah. Dia tersenyum puas. Balita itu selamat.

Luna membiarkan penghalang itu tetap di sana hingga sang anak kecil kembali ke pinggir jalan. Usai memastikan semua aman, barulah dia menghilangkan sekat transparan itu. Dengan langkah gontai, langkahnya terayun mendekati teman-temannya di tempat semula. Dahinya berkerut begitu melihat reaksi mereka yang menatapnya penuh kekhawatiran. Ada apa?

Belum sempat otaknya mencerna segalanya, tiba-tiba pusing menderanya. Pandangannya berputar hebat. Badannya seketika terasa lemas seolah seluruh tenaganya habis tak bersisa. Dan kemudian, gelap. Dia pingsan.