Chapter 8 - Truth

Hari telah berganti warna menjadi lebih gelap. Pertanda waktu malam mulai menyambut, selepas betapa penatnya rutinitas di hari kerja yang dialami oleh Rakha dan tim tanpa terkecuali. Di sinilah mereka berada sekarang; Diggity.

Bukan untuk minum sampai mabuk-mabukan, tetapi sekedar berbincang santai dengan satu sampai dua gelas tegukan guna membahas perihal pekerjaan. Perkumpulan para pria mapan, dengan Hendery dan Zuardi yang kebetulan telah berkeluarga. "Mulai dari lo deh, Vin! Kapan Lo mau nyusul kita-kita buat nikah?"

"Jodohnya belum ketemu, bosku." Kevin semakin murung.

Memangnya aneh ya, kalau umur dua puluh delapan tahun belum kunjung menikah? Sepupu Kevin yang seumuran dengan dia saja, sekarang sudah punya anak satu. Sedangkan Kevin? Separuh hidupnya didedikasikan untuk mengejar karier.

Come on, man! Jangan berbicara seolah-olah Kevin ini ialah bujang kolot yang mendekati usia kepala lima. Lihatlah kulit wajah Kevin yang selalu segar, tubuh Kevin yang kokoh, serta gaya berpakaian Kevin yang selalu modis bak model peragaan busana.

Akan sangat mustahil, jika para gadis tidak menjerit ketika dilamar oleh pria sejenis Kevin. Mendekati ke angka sembilan malam, lampu kelap-kelip dengan musik yang berdentum keras mulai bersahutan.

Para pengunjung yang semula di bangkunya, bangun dari duduk sembari mengikuti irama menuju lantai dansa.

Pengamatan Rakha terhadap situasi sekitar, baru berhenti ketika matanya melihat sosok yang tidak asing di salah satu sofa, bersama gadis seksi, tertawa lepas dengan gaya berpakaian formal nan mahal yang menjadi ciri khasnya dia. Siapa lagi kalau itu bukan Tristan? Katanya pacar Hanna. Tapi kok...

"Ke sana, yuk!" Kevin bercelatuk kalem.

Menunjuk arah yang sama lewat ujung gelas tingginya. Rakha mendelik seakan-akan ingin menanyakan sesuatu. "Lu kenal sama mereka, huh?"

"Siapa-siapa?!" Zuardi ikutan kepo, merangkul pundak mereka dari belakang. Hendery ikut bergerombol sejenak sebelum tahu-tahu menyelonong lebih dulu ke garda terdepan.

"Hello, what's up bro!!" katanya sumringah pada si Tristan dan kawanannya itu. Mudah sekali bagi Hendery, untuk duduk di area yang sama sambil bersenda gurau. "Sini, Vin. Sini Kha! Mereka mau ngadain permainan!" serunya kemudian.

Zuardi dan Kevin refleks memegang belakang kepalanya kikuk. Orang-orang berbau dollar itu menoleh tepat ke arah mereka berdiri sekarang. Hanya Rakha yang menyeringai sembari membawa langkahnya ke sana.

"Biarin, biarin. Biarin si Rakha aja yang gabung. Kita mah jangan!" larang Kevin kepada Hendery. Menahan lengan pria itu.

Sementara Rakha terbeliak berbicara sendiri dan mundur lagi ke belakang. Malu setengah mati. Wajahnya merah padam karena disesapi rasa malu yang jangan ditanya lagi. Rakha cemberut karena kesal. "Ih, anjir. Gua kira kalian ada di belakang, kenapa masih pada di sini, sampah!"

Kevin tertawa terbahak-bahak.

Zuardi hanya bisa mengejek, "Lah, emang apa masalahnya? Gue kira orang ganteng kagak bakalan ngerasa malu, bagaimana pun situasinya."

"Siapa yang malu??" Rakha menaikkan dagunya ke atas. Lupa kalau gestur yang barusan ditampilkan, bukanlah citra seorang Rakha Darendra Hardian yang terkenal akan rasa percaya dirinya yang selangit. "Ingat kata gua, say no to insecurity!"

Mengantongi sebelah lengannya ke dalam saku celana, Rakha benar-benar unjuk gigi. Tidak ketinggalan untuk melayangkan senyuman maut itu, yang langsung melahirkan sepasang lesung pipi cantik adalah gaya andalan Rakha.

"Hey, ganteng. Review aku dong!" goda salah seorang wanita.

Pakaiannya terbuka di mana-mana ketika menemani pelanggan tersebut, sudah biasa. Rakha menatap sekilas ke arah Tristan yang tampak tidak terusik sedikit pun. Laki-laki itu tidak terlihat minum. "Gue Magda dan ini Tristan," kata wanita yang ada di pangkuan Tristan.

"Oh, okey. Gua Rakha," jawabnya tenang. Rakha menyesap tipis minumannya dari ujung gelas, ketika wanita yang bernama Magda itu terlihat mencium bibir Tristan. Tidak tahan melihat mereka, karena Rakha jadi teringat kepada Hanna. Dia pun bertanya, "Jadi apa permainannya, nih?"

"Game?" Tristan akhirnya terkekeh. Dia sepertinya menangkap perspektif lain dari ucapan Rakha. Mungkin semacam tersinggung hingga sedikit terintimidasi untuk bertanya lebih jauh, "What do you mean, bruh? More specific."

Rakha tersenyum miring. Menyadari ada atmosfer-atmosfer ketegangan yang tercipta, Hendery pun berusaha mencairkan suasana. Dia tertawa ramah, karena memang si Tristan ini adalah rekan kerja ayahnya ketika mereka di Macau.

"Hahaha, kau punya ide gak?" tanya Hendery kepada Magda.

Yang ditanya langsung meluruskan punggungnya antusias, tidak lagi merebahkan diri di dada seorang Tristan. Magda suka sekali permainan, dia mengusap dagunya seraya berpikir sejenak. "Truth or dare?"

"Okey, truth or dare. Let's go!" Rakha merasa tertantang. Kevin masih bingung, Zuardi tidak terlihat kaget sama sekali dan Hendery membuat semuanya berjalan jadi tidak terlalu tegang. "Mari bersenang-senang..."

Sedangkan Tristan jelas tidak mau kalah, sekalipun tahu kalau laki-laki di depannya ini tahu bahwa Tristan adalah kekasihnya Hanna. Tristan membelai rambut Magda, hingga gadis itu mengusulkan, "Dimulai dari kau, Rakha. Truth or dare?"

"Truth," jawab Rakha.

Magda tersenyum lebar. "Kapan terakhir kali kau berciuman penuh gairah dan siapakah wanita beruntung itu?!"

Magda menunggu jawaban Rakha. Pertanyaan itu terlintas begitu saja di dalam benaknya. Apalagi ketika secara mendadak Rakha menoleh sebentar ke arah Tristan. "It's too private, Magda!" sela wanita satunya.

Gadis itu benar-benar menguji titik kesabaran Rakha, dia anteng karena kepalanya dielus-elus oleh Tristan. Berbekal bodynya yang berisi serta bibir penuh itu, dia merasa paling berkuasa di lantai ini. Dasar wanita murahan. "No problem, gua bakal jawab secara gamblang. It's just a game..."

"Who is she?" tanya Magda lagi. Dia mencondongkan badannya ke depan dengan sengaja. Mungkin agar belahan dadanya terlihat, hingga fokus Rakha jadi teralihkan. Padahal tidak semudah itu Ferguso.

"Hanna Claire..." tukasnya segera.