"Habis dari mana lo?" Kevin tahu-tahu sudah menginterogasi.
Semakin larut, Diggity bukannya makin sepi tapi malah makin rame. Para perempuan panggilan mulai tersebar di beberapa titik kerumunan. Entah kenapa, mengingat Hanna yang menangis beberapa waktu lalu membuat Rakha tidak menaruh minat apapun pada mereka. "Bukannya besok lu, ada rapat Vin?"
"Gak usah ngingetin," sergahnya.
Rakha menuang lagi vodka ke dalam gelas. "Gak ngingetin. Cuma abis ini gua mau pulang aja. Gua gak bisa nemenin kalau lu mau stay lama-lama di sini..."
"Tumben banget lo badmood. Apa ada masalah? Mau cerita gak? Gue siap nampung segala keluh kesah lo." Jiwa-jiwa kepo seorang Kevin seketika mengudara. Meskipun mulutnya terbilang seperti ember bocor, tapi boleh Rakha akui, kalau Kevin ini adalah pribadi yang kerap membawa aura positif.
Sifatnya yang pekerja keras, mudah berbaur dengan siapa saja tanpa mempertimbangkan latar belakang mereka, merupakan kunci kenapa Kevin bisa disukai oleh semua kalangan. Kevin bisa serius, Kevin bisa bercanda, Kevin pandai menempatkan diri di berbagai situasi.
"Kagak. Cuma lagi gak selera aja," Rakha berusaha mengelak.
Kemudian Kevin di sini juga tidak terlalu menuntut banyak hal pada cowok tersebut. Rakha memang pribadi yang tertutup. Kalau dia tidak mau berbagi, ya sudah. Kevin enggan memaksa orang yang tidak mau. Terserah, setidaknya dia sudah menaruh empati.
Toleransi alkohol pada tubuh Rakha tergolong tinggi. Kesadarannya masih berada di titik paling prima, bahkan ketika jarum jam hampir menyentuh tengah malam dan beberapa botol kaca di atas meja itu telah kosong sebagian.
"Pergi sekarang?" Kevin jadi yang pertama kali bertanya, setelah sekian lama mereka diselimuti hening yang entah mengapa tiba-tiba menyergap. Rakha berkedip cepat, mencari sosok lelaki yang tadi sempat datang bersama Hanna. "Lo cari siapa?"
"Lelaki yang tadi..."
"Si Tristan?" Kevin menebak.
Rakha menggelengkan kepalanya pelan. "Bukan, tapi yang satunya lagi. Cowok berkaca mata, rahang dia tajam kayak pisau cukur dan cara ngomongnya agak pake aksen British gitu..." Panjang lebar, Rakha memaparkan sosok yang ia maksud tersebut. Rakha tidak ingat namanya.
"Oh, cowok itu namanya Mark. Gue denger dari Hendery kalau dia adalah orang kepercayaannya si Tristan-tristan itu," jeda Kevin mengingat-ingat lagi. Lalu terdorong untuk bertanya, "Sekarang tuh anak pada cabut ke mana?"
Rakha menaikan bahunya tanpa sadar. Kalau dipikir-pikir, atas dasar apa dia bisa sebegitu penasaran ini terhadap orang lain. Mungkinkah karena para cowok tampan itu berhubungan dengan Hanna? Ah, tidak mungkin Ferguso. Seorang Rakha Darendra Hardian tidak mengenal kata insecure.
Puluhan menit berselang, beberapa orang mulai berjalan ke sebuah kerumunan yang letaknya ada di lantai dua. Keriuhan yang sama seperti kasus Hanna dan Magda sebelumnya, hanya yang ini intensitasnya lebih serius. Rakha terdorong melihat. "Ada apaan sih ribut-ribut?
"Tristan katanya bakal dorong ceweknya dari balkon," jawab seseorang secara acak.
Mendengar itu Rakha dan Kevin kontan bertukar pandangan. Rasa kejut, tidak percaya sekaligus ngeri itu teraduk dengan sempurna hingga mereka terpikirkan satu nama; jangan bilang kalau itu Hanna? Rakha yakin dia melihat gadis itu pulang dengan Edwin, kok.
Dengan harap-harap cemas, mereka ke tempat kejadian perkara. Terlalu banyak orang yang berkumpul melingkar di sana. Mengharuskan Rakha memanfaatkan postur jangkungnya untuk mengambil celah. Dua detik kemudian, Rakha berhasil dibuat menganga.
Perempuan itu adalah Magda.
Kondisinya berbanding terbalik dengan apa yang Rakha lihat di beberapa jam sebelumnya. Magda berantakan, maskaranya luntur akibat tangisan. Parahnya lagi, pakaian dia tercabik hingga hampir setengah telanjang. Magda memeluk sebelah kaki Tristan. Seperti sedang memohon ampunan.
"Tris, kumohon jangan begini..." isak Magda kemudian. "Aku gak bermaksud buat usik kamu sama gadis itu. A-aku, aku mengakui bahwa tadi telah melakukan kesalahan yang demikian. Untuk itu aku minta maaf hmm?"
Melihat itu, lagi dan lagi Rakha jadi secara otomatis teringat dengan Hanna. Membayangkan gadis itu harus bertahan mati-matian, seperti tidak ada harganya di depan Tristan membuat Rakha refleks mengepalkan ke sepuluh jari tangannya. Lihatlah, betapa arogan laki-laki itu melihat Magda nyaris bersujud di kakinya. Ayolah di mana letak nurani Tristan sebagai sesama manusia?
"Jangan dulu, Kha..." bisik Kevin menahan lengan atas Rakha untuk tidak terjun ke sana. Ada baiknya mereka tidak cepat menyimpulkan dulu. "Kita dengarkan dulu bagaimana respon Tristan, okey?"
Rakha mengangguk dengan segera. Tristan tersenyum miring, bukan seperti smirk kebanyakan seperti yang biasa orang normal tampilkan. Sisi dominan dan intimidasi Tristan, nyatanya mampu mengirim atmosfer yang mengandung sisi horor pada seisi ruang.
"Gila, damage-nya udah kayak malaikat yang berjiwakan iblis banget tuh orang!"
Benar kata Kevin, Rakha sebagai sesama lelaki ganteng saja mengakui dampak tersebut. Apalagi kalau para betina? Jerit-jerit pasti. Dilihatnya Tristan yang berjongkok guna membangunkan Magda. "Kau mencintaiku, bukan?"
Magda mengangguk dengan prihatin.
"Kalau begitu buktikan, akan kuanggap semuanya impas kalau kau terjun bebas dari atas sini..." Tristan menjauhkan diri perlahan. Meninggalkan Magda yang sedikit gentar menatap Tristan. Air matanya mulai mengering. Magda lalu tersenyum mendekati pagar pembatas.
Semua yang ada di sini masih belum sanggup mencerna apa yang sedang terjadi. Ini jelas bukanlah adegan antara Joker dan Harley Quinn yang sama-sama gila menceburkan diri ke limbah beracun. Tristan kelihatannya malah senang. "Tunggu apa lagi, Magda?"
"Baiklah," jawabnya putus asa.
Kaki jenjang itu telah menapak pada besi teratas. Tangan Magda merentang dengan cara kelewat dramatis dan gadis gila itu benar-benar tidak berpikir dua kali untuk menjatuhkan diri. Mendengar sekitarnya berteriak histeris, Tristan kembali ke kamar pribadinya di Diggity ini.
Sedangkan Rakha di waktu yang nyaris bersamaan, berlari sekencang mungkin untuk menangkap lengan Magda. Astaga, dia bisa ikutan tidak waras jika tidak bisa menyelamatkan perempuan gila ini. "Jangan lepaskan tangan gua, jangan lihat ke bawah..." anjurnya cemas. "Ingat, jika lu punya satu alasan buat mati, Tuhan bakal sediain ribuan alasan—buat lu agar bertahan lebih lama lagi. Lu jangan mau digoblokin jadi cewek!"
"..." Magda termenung.
Sementara tangan Rakha mulai gemetar, hampir tidak kuat menahan bobot manusia ini lebih lama lagi. Dia melihat ke bawah sana, mengukur seberapa tinggi kemungkinan kemungkinan jika Magda menyerah. "DUNIA INI TERLALU INDAH BUAT LU TINGGALIN BEGITU, AJA!"
"Sorry," lirih Magda.
Perempuan itu telah memutuskan pilihannya sendiri.