Tidak terasa sudah hampir sepekan berlalu begitu saja, sejak Rakha merajai trending Twitter waktu itu. Memang pada dasarnya orang Indonesia itu cepat melupakan, rata-rata mereka perlu pembahasan yang segar ketika topik lama dirasa sudah basi, tanpa adanya suatu perkembangan.
Jangankan seperti dugaan Edwin, menganggap Rakha nantinya bakalan seviral itu seperti: ketika di jalan ada yang mengajak foto, di kantor jadi bahan pergunjingan, kemudian hampir satu Indonesia mengenal wajahnya. Tidak.
Semua itu tidak terjadi pada Rakha. Hidupnya masih biasa-biasa, tidak seperti bak artis sensasional yang gemar menggoreng suatu konflik kemudian sampai diundang ke beragam Talkshow di televisi yang tentunya mengundang pundi rupiah. "Lu gak buka Twitter, Hendery?"
"Gue lebih senang membuka Traveloka," jawabnya tanpa melihat ke arah Rakha. Dia sibuk memeriksa sesuatu yang entah apa di dalam MacBook-nya. "Lagian jalan-jalan terbukti lebih menyehatkan daripada banyak menggibah, Kha."
"Lho apa buktinya?" Rakha belum mengerti.
"Lo liat aja perbedaan logo Twitter sama Traveloka, punyanya Twitter kurus sedangkan Traveloka lebih ideal dengan berisi di beberapa bagian..." celetuk Hendery mulai ngawur, tapi setelah diperiksa memang masuk akal juga.
Pasti kalau Rakha meluruskan opini seperti ini di snap Instagram ataupun WhatsApp, dia akan diserbu oleh para follower dan orang-orang yang Rakha sengaja simpan nomornya. "Jangan body shaming, Hendery!"
"Memang ada apa di sana?" Kali ini giliran Hendery yang bertanya, tidak biasanya Rakha basa-basi seperti ini. Mengingat kepribadian Rakha yang dikenal lugas serta cukup profesional, apalagi ketika sedang di kantor. "Lo bikin status porn di twt?"
"Apaan sih, kagak lah." Rakha memutar kursinya. Balik ke meja kerja dia dan meneruskan beberapa rekapan data yang nantinya berguna untuk ajang promosi untuk setiap karya yang diterbitkan penulis di berbagai platform. "Lupakan. Jangan dipikirkan..."
"Ya sudah, " Hendery mengedikkan bahunya puas. "Gimana sudah punya janji temu dengan si Mbak Greentea itu?"
"Kontaknya sudah dapat, tapi orangnya gak kunjung membalas." Membahas itu, Rakha jadi bad mood sendiri.
Selama hampir kurang lebih dia bernapas di muka bumi, baru kali ini dia frustasi mengecek aplikasi berbagi pesan hanya untuk melihat sudah dibaca atau belum oleh seseorang. Hendery tertawa. "Lo bisa kan?"
"Bisa lah, nemuin satu cewek doang mah. Tengsin kalau sampai gak berhasil!" Rakha tersenyum pahit. Balik mengutak-atik komputernya sembari terpikirkan hal yang jauh lebih random seperti: kenapa hari ini Hanna absen?
"Justru karena itu, lo jadi gak dapat-dapat tuh target!" Kevin tahu-tahu bergabung dalam obrolan, dia baru saja datang dari divisi lain karena untuk satu sampai dua kepentingan yang ditugaskan khusus oleh Devina. "Rakha, lo itu sadar gak sih sering menyepelekan hal-hal yang sederhana?"
"Kayak lo enggak aja, " Zuardi menempati mejanya, mereka memang berada di kubikel yang sama. Dia menyedot kopi kalengan yang mungkin dibelinya dari mesin minuman yang ada di dekat ruang arsip. "Eh, Hendery!"
"Apa?"
"Gue penasaran deh sama si Tristan," kata Zuardi penuh selidik. "Sama temennya juga, si Mark itu meskipun dia orangnya humble parah kayak ada something yang membuat orang lain segan gitu, gak sih? Pake susuk atau pelet kali ya?"
"Lebih tepatnya pakai duit," Kelvin mengoreksi. "Jaman sekarang mana ada yang percaya sama begituan."
Rakha diam-diam tersenyum, argumen ringan antar rekan kerjanya seperti ini terkadang yang membuat bebannya mengambang di udara. Dia sadar kalau di luaran sana banyak orang yang terjebak di lingkungan kerja yang toxic.
Ngomong-ngomong tentang toxic, hubungan Hanna dan Tristan termasuk dalam kategori tidak sehat. Tristan kerap menerapkan playing victim, sehingga dapat terus membuat Hanna merasa bersalah, bahkan ketika perempuan itu tidak melakukan apa-apa.
Sama halnya seperti siang ini, mereka berdua menghabiskan waktu di sebuah vila indah yang terselip di perkotaan. Nuansa semi tropical dan modern begitu kentara dari desain furniture nya. "Aku mau kita tetap seperti ini..."
"Tapi aku ingin pergi bekerja sekarang, Tris." Hanna hendak bangkit dari tempat tidur, ketika lengan Tristan dengan posesif memeluk perut dia yang rata. Dengan beragam bujukan maut, akhirnya Tristan mengizinkan. "Aku mandi duluan!"
"Ini sudah hampir jam sembilan pagi lho, Na?" Tristan memicingkan mata menuju jam dinding. "Apa masih bisa ngantor kamu?"
"Aku memang hari ini kebetulan dapat shift siang, " kata Hanna setengah berteriak dari balik pintu kamar mandi.
Rasanya sudah lama sekali dia tidak cuddling saja dengan Tristan. Sungguh waktu yang berharga dan teramat jarang sekali. Mungkin karena mereka sama-sama sedang good mood. Tristan memakai kaos hitamnya, ponsel Hanna kelihatannya berpendar.
Karena ada dorongan rasa ingin tahu, Tristan mendekati laci itu. Meraih benda pipih tersebut tanpa membuka kuncinya. Lalu membaca lewat bilah notifikasi dan pesan beruntun dari pria berkontak nama Rakha yang satu ini membuatnya berang.
Rakha: kenapa tidak masuk kerja?
Rakha: gua tunggu di toko es krim.
Rakha: eh, kebo. Lu belum bangun ya?
Rakha: dating mulu sih, sama dia. Kapan sama guenya. ckckc!
Rakha: kartu hidup dan mati lu, ada di gue Na. Kalau sekali kedip saja lu mengabaikan—"
Tanpa terduga pintu kamar mandinya terbuka. Menampilkan Hanna yang sudah bersetelan kemeja lengan panjang lengkap dengan celana kulot linen, yang jatuh dengan pas di lekuk tubuhnya. "Ada apa, Tris? Apa itu Edwin yang menghubungi?"