Karena pendarahan yang ada di lengan Rakha semakin banyak, Hanna berinisiatif untuk mengulur waktu seraya menunggu kedatangan Edwin yang sebenarnya antara bisa diandalkan atau tidak di jam-jam seperti ini. Tahu sendiri, bukan? Ma if the expression is not truecetnya ibukota selepas satu hari tanggal merah? Padat merayap.
"Lo punya P3K?" Rakha menggeleng dengan lemah. "Lo gak boleh mati sekarang, anjir! Jawab dong, bersuara, bawel kayak biasa biar gue gak makin senewen."
"Asyik, jadi begini rasanya dikhawatirkan..." celetuk Rakha.
"Terserah mau lo!" Hanna membuka seatbelt.
Dia bergerak ke kursi belakang untuk mencari entah itu tisu basah, perban atau obat merah. Tapi di mobil Rakha nyatanya tidak ada apa-apa. Bersih sekaligus rapi, tampaknya cowok itu baru saja mencuci mobilnya. "Gak ada yang bisa digunain..."
"Iya, tahu..." Rakha menyahut.
Hanna duduk kembali ke tempat semula, dia mencari klinik maupun rumah sakit terdekat. Rakha meringis tertahan, dia tidak bohong kalau sayatan yang ditorehkan orang kekar tadi, cukup menghantarkan perih hingga membuat ototnya pegal. "Paling dekat tiga kilometer dari sini, shit..."
"Lu lucu, kalau nge-cursing!"
"Lucu, lucu, lucu apaan?" Hanna sedang berpikir keras. "Gue panik anjir, lo gak liat?"
Hanna menunjukkan tangannya yang agak berkeringat dan sedikit gemetar, namun perempuan yang sejak petang tadi berenang dengan sang kekasih. Berganti pakaian jadi memakai dress bermodel babydoll renda warna putih itu berusaha tetap tenang.
"Jangan bilang lu takut sama darah?" Rakha menyelidiki.
Hanna menghembuskan napas pelan. "Iya, gue takut sama darah. Tapi gak takut-takut amat sampai parno dan selanjutnya pingsan, cuma sedikit lemes doang. Sekarang lepas baju lo..."
Rakha spontan menyilangkan sebelah lengannya yang tidak terluka di dada. Kali ini giliran dia, yang jantungnya seakan dibuat jumpalitan tidak berdaya. Rakha memundurkan wajah ketika Hanna bergerak untuk lebih dekat.
"G-gua, belom siap buat lu apa-apain..."
"Ck, basi!" Hanna menarik ujung baju Rakha yang dimasukan ke dalam celana, mempertimbangkan dalam pikirannya untuk merobek serat kain yang dipakai laki-laki ini seperti di film aksi romantis di Korea sana. Dia mencobanya. "Errr... Jesus, kenapa sulit sekali?!"
Melihat Hanna sok jagoan di dekatnya dengan raut muka memerah, membuat Rakha merasa gemas sendiri. Gadis ini benar-benar mencoba merobek pakaiannya namun berakhir sia-sia. Pantang menyerah, Hanna mencoba untuk ke dua kalinya. "Gue yakin, bisa. Di tv kelihatan gampang banget, astaga."
S-srakk!
Hanna menyerah, hanya secuil benang dari kemeja Rakha yang keluar setelah tangan Hanna cukup sakit melakukan upaya penyelamatan. Rakha menatap Hanna yang sedang mengomel, "Tadi lo habis ngapain aja, Na?"
"Huh? Apa maksud, nih?"
Rakha menatap ke jalan raya, dia berpikir dua kali untuk menanyakan pada gadis itu tentang kejadian yang Hanna alami saat ini. Takut menyinggung. Meskipun sebenarnya Rakha ingin juga memastikan, "Keadaan lu baik secara lahir maupun batin..."
Srakk! Pada akhirnya Rakha merobek kemejanya sendiri dengan mudah, ia berupaya melilitkan kain berbahan katun tersebut ke pergelangan atasnya namun malah tidak terikat. Melihat itu, Hanna mengajukan diri. "Let me help you!"
"Iya, gue kesulitan nih. Lu juga kan, Hanna?"
Hanna tidak memberikan jawaban dengan segera, ia lebih dulu meraih helai kain berwarna putih yang sebenarnya sudah ada bercak darahnya juga untuk diikatkan ke lengan Rakha. Cukup sulit bagi Hanna untuk menjangkau luka tersebut, jatuhnya jadi seperti ia menyebrang di paha Rakha. "Balik dulu ke arah, gue. Please..."
"Oke, sorry sudah buat gak nyaman." Rakha mengubah posisi tubuhnya. Menghadap Hanna. Perempuan itu segera merunduk untuk membalut luka lelaki berlesung pipi ini, dia tampaknya juga ada sedikit kaku. "Kalau sulit, tidak usah. Bentar lagi Abang lu pasti tiba..."
"Gue gak suka diremehkan."
"Tidak meremehkan, tapi gua lagi gak mau memberatkan lu, Hanna..."
"Lo gini gara-gara gue, Rakha."
"Kata siapa?"
"Kata gue!" Hanna membentak, dia hampir saja melilitkan terlalu keras.
Sebelum akhirnya menciptakan jarak yang cukup untuk menetralisir amarah yang membuncah di dadanya. Hanna lagi-lagi memendam apa yang ia rasakan dengan bertindak seolah dia masa bodoh terhadap apa yang terjadi dalam hubungannya bersama Tristan.
Setiap berbicara dengan nada tinggi begitu, kepingan ingatan Hanna membentuk sebuah bayangan tentang kekerasan yang kerap dilakukan oleh sang kekasih. Menutup luka inner child yang kerap dimuntahkan Johhny kepada Hanna.
Baik secara disengaja maupun tidak. Itu abadi dalam memorinya. Hanna mengepalkan tangan, dadanya nyeri, dia ingin "berteriak. Semakin ditahan, semakin matanya memanas. "Hey, Hanna. Are you okay?"
"Nggak. Aku lagi gak baik-baik saja..." Hanna akhirnya jujur.
Dadanya jadi nyeri, air matanya telah menggenangi seluruh kelopak, mengaburkan pandangan, siap menetes detik itu juga jika suasananya mendukung dan tidak mendadak ada teriakan sekeras toa masjid. "Eh, codot katanya lo mau mati, ternyata belum?!
"Hoax, anying. Siapa yang bilang begitu?!" Rakha ikutan tidak terima.
Memang kalau dua orang ini sudah berinteraksi, setiap dialeknya jadi serupa dengan kebun binatang. Tidak ada santun-santunnya. Menyadari siapa maksud, Edwin. Hanna memalingkan muka, selain karena gagal menangis dia berupaya untuk mengimbangi suasana sendu yang mendadak jadi gila ini. "Si Hanna."
"Lo kalau gak digituin, pasti ngaret Edwin. Lama sampainya dan berakhir dengan gak jadi dateng, alasan lo itu sudah sebanyak hutang negara Indonesia," cerocos Hanna.
Rakha gemas dengan perumpamaan yang dilontarkan Hanna. Dia bereaksi, "Sampai Triliunan dolar, dong?"
"Gak sebanyak itu juga kali," Edwin tidak terima dinistakan. Dia dengan cepat menyadari apa yang terjadi pada Rakha. "Lo abis main sama ninja cabang mana, Kha? Ngeri banget gue lihatnya. Ayo pindah ke mobil gue, nanti kalau lo kehabisan darah bisa lebih berabe urusannya!"
Mereka menuruti untuk berganti kendaraan. Terlalu berisiko jika Rakha tetap memaksakan diri dengan tubuh yang tidak prima. Hanna duduk di kursi belakang, mobil pun melaju ke rumah sakit umum terdekat. Sepertinya luka itu cukup dalam. Hingga satu jam kemudian, Rakha langsung dilarikan ke UGD karena memang harus sampai dijahit.
"Hanna, lo harus jelaskan banyak hal ke gue!" suruh Edwin tiba-tiba.
Dia menarik lengan adiknya untuk keluar dari ruangan tersebut, duduk di kursi tunggu yang ada di luar. Tampaknya Edwin menaruh banyak rasa curiga. Apalagi setelah datangnya sebuah surat panggilan dari Bareskrim sore tadi.
"G-gue, harus lihat Rakha dulu."
Hanna berusaha menghindar. Perasaan dia tidak enak soal ini. Apalagi kalau Edwin sudah menunjukkan sisi keabangannya secara terang-terangan. Katanya semakin cantik adiknya, semakin protektif pula bapak dan kakaknya.
Mari berharap kalau ungkapan itu tidak benar.