Setengah jam kemudian.
"Wahai anda adik durhaka, kemana dulu Lo jam segini belum pulang?" Edwin murka di sepanjang perjalanan. Mentang-mentang Mama dan Papi tidak ada di rumah, Hanna jadi pergi seenaknya. Jujur saja, berkat ini Edwin merasa gagal jadi seorang Abang. "Berisik banget di sana, jangan bilang lo lagi party!?"
Hanna keluar lewat pintu belakang, ia beranjak menjauhi keramaian yang semakin menjadi dengan duduk santai di area balkon. Tristan sudah tidur lelap sekitar sepuluh menit lalu. Ini benar-benar malam yang luar biasa, sejak terakhir kali mereka melakukan.
"Gue lagi party, Edwin. " Hanna mencepol rambutnya dengan jepitan anti badai. Mendengarkan omelan Edwin, membuatnya merasa lapar.
Mendengar itu kontan sang kakak terkejut bukan main, jika ditelisik dari suara Hanna yang parau, mungkin saja adiknya itu sekarang sedang setengah sadar.
Edwin mencecar, "Apa, siapa, kapan, mengapa, di mana dan bagaimana bisa itu terjadi Hanna Claire?"
"Anjir, 5W1H banget pertanyaannya!" Hanna terbeliak tidak menyangka. Abangnya ini memang spesies yang lain daripada yang lain. Barang langka. Harus segera dilestarikan di suaka margasatwa. "Yang Mulia khawatir sekali terhadap saya, ya?"
"Dih, kagak sudi. Cepetan jawab di bar bagian mana lo hinggap?!" Edwin mulai ketar-ketir lagi di mana tadi ia melemparkan kunci mobilnya. Dia berkeliling dari kamar sampai ruang tamu. Hanna pun bisa mendengar langkah kaki cowok itu yang memburu. "Hanna, katakan..."
"Kalau gue gak mau bagi tahu, lo mau apa?" Hanna menggoda abangnya agar Edwin makin frustasi di seberang sana. Siapa suruh tidak jadi menjemput coba? Kalau lelaki itu tadi tidak ingkar janji, mungkin Hanna tidak akan berakhir di tempat ini. "Edwin lo gak semaput, kan?"
"Gue aduin ke papa, lo nanti dikutuk jadi ikan pari mau?" ancam Edwin tanpa aba-aba.
Dia langsung menutup telepon itu dengan bergegas jadi ganti menghubungi Rakha. Antara untuk minta ditemani atau justru tahu, kalau lelaki berlesung pipi tersebut paling khatam dengan dunia malam. "Halo, Kha. Share location lo, sekarang dong. Gak pake lama. Gue sebagai temen lagi maksa, lo kagak boleh ngelak kayak si Hanna pokoknya titik!"
"Ada angin apanih?!" Rakha bertanya jahil.
Edwin menyalakan mobilnya. "Send me your location, Rakha Darendra."
"Gua kagak budek, Edwin Xavier."
"Terus kenapa nanya mulu, anjir?" Bisa gila beneran jika setiap hari, Edwin dibuat begini terus.
Tadi di kantor pekerjaan lumayan hectic, disambung dengan Misellia yang mendadak uring-uringan, sekarang giliran Hanna yang pergi tanpa sepengetahuan Edwin. Abang di belahan bumi mana yang tidak khawatir jika adik perempuan satu-satunya kelayapan di jam rawan begini.
"Diggity," ungkap Rakha setelah beberapa saat. Dia menatap anak tangga dan kebetulan ada Hanna yang turun sendirian di sana. Rakha melihat lagi layar ponselnya. Panggilan itu masih tersambung. "Lu gak usah khawatir."
"Mana bisa gue gak khawatir, Kha?!" Edwin menjawab dengan berapi-api. Ibaratnya Hanna itu sudah seperti permata di keluarga Hernandez. Dipelihara pun diperlakukan secara sempurna like a queen oleh Johnny. Meskipun terkadang cara mereka mendidik... "Ah, sudahlah. Gue meluncur sekarang!"
Rakha mengantongi lagi ponselnya. Dia memperhatikan gerak-gerik Hanna yang hendak keluar dari area indoor Diggity.
Mendekat ke sebuah kolam renang yang ada di belakang. Di situ hawanya terkesan lebih cozy, dengan lampu yang dililitkan di batang pohon serta musik yang sayup-sayup terdengar dari dalam.
Hanna duduk di salah satu bangku, sendirian. Memeluk tubuhnya sendiri, mungkin sembari menatap langit yang kelam dengan sedikit bintang di atas sana. Rakha masih memperhatikan, hingga dari kejauhan bahu ringkih tersebut tampak naik turun dengan konstan.
Astaga, mungkinkah gadis itu sedang menangis? Tapi, bukankah dia ketika datang tadi sangat sumringah, meskipun mukanya antagonis tapi Hanna bisa dikatakan adalah pribadi yang banyak bicara. Dia tidak secuek kelihatannya.
Percayalah, karena Rakha sendiri telah memperhatikan Hanna serta berbaur lumayan teratur sejak dia datang ke Departemen Penerbitan. Dari sini, Hanna terlihat menyeka air matanya dengan kasar.
Ingin rasanya Rakha menenggelamkan wajah gadis itu ke dalam dekapannya. Berkata bahwa sebenarnya tidak apa-apa untuk menangis, selama itu tidak menjadikanmu lemah. Baru saja satu langkah Rakha tercipta, sudah ada yang menghampiri Hanna lebih dulu.
"Woy, buaya betina?!" serunya mendekati perempuan itu. Mendengar suaranya, Hanna langsung siap siaga, mungkin takut kalau sewaktu-waktu ia diserang secara mendadak. Makanya dia menutupi wajah dengan tasnya. "Ngapain lo merana sendirian di bawah sinar bulan? Mau berubah jadi gumiho, ya?"
"Apaan sih, Edwin?" Hanna refleks memukul kakaknya tersebut, ketika Edwin memutuskan untuk duduk di sampingnya. Suasana itu akhirnya tidak semuram tadi. Hanna sekarang mulai tersenyum lagi sekalipun bibirnya maju jadi sepanjang Tol Cipularang. "Tahu dari mana lo, gue ada di sini?"
"Mau tahu aja, apa mau banget?" Edwin bertanya jahil lagi.
Hanna makin sensitif. "BASI!"
"Lho bukannya basi itu, makanan pokok orang Indonesia ya?"
Jokes khas bapak-bapak kompleks yang sering nongkrong di pos Ronda itu, tanpa disangka keluar dari mulut seorang Edwin Xavier. Hanna langsung berdiri. Hendak pergi kemana pun asal tidak melihat wajah sang abang. "Itu nasi, anjir. Edwin, lo gat
ring banget jadi orang."
"Tapi lucu, kan?"
Hanna menyangkal setengah mati, "Kagak sama sekali!"
"Eits, tunggu dulu anak muda. Anda mau pergi ke mana?" kata Edwin sambil mencegat tangan Hanna agar perempuan itu tidak melarikan diri.
Hanna melepaskan tangannya defensif. Edwin semakin menyelidiki gelagat adiknya ini. Dia mendekat. Mencium bau-bau lain dari perempuan itu diikuti kening yang berkerut samar. Edwin memiringkan kepalanya sejenak kemudian.
Hanna gelagapan sekaligus curiga pada abangnya yang satu ini. "Apa maksud lo, lihat-lihat begitu Edwin?!"
Edwin pada dasarnya tahu, pergaulan semacam apa yang disembunyikan oleh Hanna. Tentunya, berbekal pengalaman dia sebagai lelaki yang makan nasi empat tahun lebih dulu dari Hanna. Edwin tahu kalau Hanna ini habis melakukan sesuatu dengan seseorang.
Edwin ingin sekali berteriak di depan wajah Hanna. Akan tetapi ia tidak mau menghancurkan harga depan perempuan itu, dengan menasehatinya di depan umum. Dia menarik lengan Hanna sebelum tersenyum kecut.
"Gak apa-apa. Ayo, kita pulang sekarang..."