Untuk ke dua kalinya, Rakha menatap sinis pada Tristan. Menunggu reaksi cowok itu, langsung melonggarkan dasinya yang selaras dengan suit biru gelap yang ia pakai, keluaran Louis Vuitton. Benar saja, lima detik kemudian Tristan menerjang tubuhnya seraya mengumpat, "Persetan kau Rakha!"
"What's ur problem?" tanya Rakha polos.
Diangkatnya kerah kemeja Rakha tinggi-tinggi. Bersamaan dengan itu ada Hendery dan Zuardi yang hendak menolong dari arah lain, namun Rakha memberi kode dengan tangannya bahwa dia tidak apa-apa. Jangan ikut campur. "Semua orang melihatmu, apa itu tidak akan jadi masalah Tristan?"
Tristan menarik napas panjang. Ia sadar bahwa orang-orang bahkan ada yang Tristan menoleh ke beberapa oknum yang turut memanfaatkan momen ini, untuk menjatuhkan ayahnya. "Hapus itu sekarang!"
Orang itu bergeming. Membuat Tristan mau tidak mau melepaskan cegatan atas kerah kemejanya Rakha. Dia terlihat lebih marah kepada orang itu, ketimbang masalah Hanna yang sempat Rakha singgung secara terang-terangan.
"Sudah kau hapus?" Tristan mendatangi orang itu dengan raut tidak ramah. Gesturnya jelas-jelas mencerminkan kalau ia merasa terintimidasi akan tindakan sepele tersebut. "Apa kau orang suruhannya, ayah? Apa kau berniat melaporkan agar aku semakin dijatuhkan?"
Semua mendadak diselimuti kegetiran. Orang-orang yang tadinya menari satu persatu berganti jadi mematung ke sumber suara. Tristan tampan, mencuri perhatian, kaya, barang mahal dan standar ketampanan yang ditetapkan manusia nyaris telah menempel semua dalam dirinya. Dia berteriak, "JAWAB AKU!"
"Calm down, man." Hendery akhirnya turun tangan.
Dia tidak tahu kalau pribadi bernama Tristan ini memiliki temperamen yang buruk. Rakha kembali duduk menikmati minuman, sementara Magda menyimpan raut tanpa arti ketika melihat Tristan. "It's okay, to not be okay Tristan."
"Am well. Kenapa lo ngomong seakan gue ini kenapa-kenapa?" sahut Tristan, kembali ke tempatnya semula. Sejenak Magda bungkam. Dia tahu kalau ia salah karena telah berkata begitu, pada pria yang jelas emosinya sedang tersulut. Dia meraih ponselnya dan terdengarlah nada sambung. "Halo, Mark. Lo di mana?"
"Apa itu, Tris?!" sahut Hanna tiba-tiba.
Tristan mengerutkan keningnya, kembali melihat layar ponsel guna memastikan apakah ia salah menelepon atau tidak. Akan tetapi nama yang muncul di dalam layar adalah nomornya Mark. "Halo, kamu sedang apa dengan Mark?"
Tristan merasakan kepalanya semakin pening. Sebenarnya apa yang terjadi? Bukankah tadi sore Mark bilang sedang punya jadwal pribadi di kota. Apakah jadwal pribadi itu untuk menemui, Hanna? Tidak mungkin.
"Tidak sedang apa-apa. Dia hanya mengantarkanku pulang, tadi Edwin tidak sempat menjemput," jawab Hanna dengan jujur. Tidak ada yang dikurangi maupun ditambahkan, semoga saja Tristan tidak marah akan fakta tersebut. "Kamu sendiri sedang di mana, kenapa berisik sekali?"
"Diggity," singkat Tristan. "Ya, sudah. Sekarang berikan lagi ponselnya pada Mark. Biarkan dia pulang, kau jangan terus menahannya."
"O-okay," Hanna pasrah. "Sama satu lagi, aku tidak menahan temanmu di rumahku. Teknisnya, kita hanya berada di depan gerbang Tristan."
"Terima kasih atas penjelasannya," kata Tristan. "Have a nice dream, Na. Semoga tidurmu nyenyak!" lanjutnya.
Hanna tersenyum begitu lembut, ia menyerahkan ponsel itu ke Mark. Hanna tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi pada hari esok, ketika ia sudah secinta ini kepada Tristan. "Mark, aku ikut.
"Aku harus pergi ke suatu tempat, Hanna."
"Iya, menemui Tristan bukan?" Hanna memaksa. Mark refleks menarik napas panjang, tidak seharusnya alur cerita hari ini jadi begini. Buat apa Mark mati-matian memeluk perempuan itu, menyembunyikan keburukan Tristan jika pada akhirnya...
"Mark, aku memaksa untuk ikut!" bujuk Hanna lagi.
"Tapi, aku tidak bisa—" Mark membulatkan mata.
Hanna telah duduk lagi di kursi penumpang di sampingnya secepat kilat. Mark lagi-lagi tersenyum. Gadis ini memang berbeda. Dia kukuh dengan pendiriannya, seperti pertama kali Tristan menemukan dia di belakang gedung rektor. "Gantilah pakaianmu yang lebih nyaman."
"Okey, aku akan bersiap dalam sepuluh menit!" Hanna bersemangat masuk ke dalam rumah, memakai dress merah lengan panjang selutut, berenda serta stiletto heels berwarna nude.
Mereka pada akhirnya pergi.
***
Kembali lagi ke Diggity, suasana kembali berangsur normal. Rakha bertumpu kaki, menatap Magda dengan enteng. Gadis berpotongan rambut bob warna cyan itu, tampaknya menyimpan rasa tersendiri kepada Tristan. "Sekarang giliranmu, Magda. Truth or dare?"
"Truth," jawabnya.
"Apa kau mencintainya?" Rakha menoleh ke Tristan. Sejak saat itu, Magda memilih untuk tidak menjawab apa-apa. Dia menghindari pertanyaan yang Rakha layangkan, otomatis itu membuat Rakha bisa mengajukan tantangan. "Lu harus ngajak Tristan tidur bareng. Gimana? Menguntungkan banget kan buat lu?"
"Anugerah, buat dia. Musibah buat gue," ketus Tristan begitu saja. Ia merentangkan tangannya di sandaran sofa beberapa saat sebelum dibuat kaget dengan sosok yang kini datang bersama Mark. "Hanna?"
"Kau mengenalnya, Tris?" Magda menyahut tanpa beban. "Sepertinya, iya. Sebab dia datang bersama Mark. Let's have fun, girls. Truth or dare?"
Tristan di seberang sana getol memberi isyarat pada Hanna, agar menolak tawaran untuk bermain. Tapi inilah Hanna Claire yang baru, semakin dia dilarang, semakin tertantang pula untuk melakukan dengan menjawab, "Truth."
"Tempat paling ekstrem bagimu, ketika bercinta ialah di..." Magda bertanya kegirangan.
Dilihat dari gaya berpakaian Hanna yang necis, tertutup, muka polosnya yang hanya diberi sapuan liptint dan alas bedak tipis-tipis, pasti Hanna ini adalah tipikal gadis rumahan yang hanya keluar jika ada urusan. Tristan tersenyum miring ketika Magda bertanya lagi, "Jangan-jangan kau masih virgin?"