Chapter 10 - Game

"Aku memutuskan untuk tidak menjawab," kata Hanna.

Magda kemudian menuang minuman ke dalam Gelas Bordeaux (untuk anggur merah yang kuat seperti Cabernet dan Merlot), lantas disodorkan kepada Hanna. Mark yang duduk bersebelahan dengan gadis itu, sempat mengusap lengan atas Hanna untuk sekedar menawarkan, "Biar aku yang minum."

"Nggak. Nanti kalau kamu sama Tris, sama-sama mabuk siapa yang mau bawa mobil? Salah satu dari kita harus tetap ada yang sadar bukan?" Hanna mencerocos.

Ia tidak keberatan sama sekali untuk menikmati malam ini dengan mengguyur tenggorokannya dengan cairan pekat nan memabukkan tersebut. Tolong dicatat berkat momen ini, sekarang Hendery, Kevin dan Zuardi berhasil dibuat menganga.

Apakah Hanna yang ini, sama dengan Hanna yang intern di Departemen Penerbitan mereka? Wow.

Hanna meminumnya dalam sekali tegukan. Tristan hanya memutarkan bola mata ketika melihat gadisnya itu, Magda kemudian bersandar lagi di dada Tristan. Permainan itu harus terus berlanjut, bukan? Maka kali ini dia tidak mau kalah terhadap wanita yang tengah bergelayut manja pada Tristan.

"For you," jeda Hanna. "Siapa nama wanita yang tadi?"

"Magda. Truth or dare?" Rakha yang bertanya.

Magda cuek. "Truth..."

"Okey, Magda. Jawab dengan jujur. Apa kau itu jalang?" Hanna melipat tangan di depan dada. Dilihatnya Tristan yang menyeringai entah karena apa. Hanya ada dua kemungkinannya untuk sekarang.

Pertama, karena Hanna dengan terang-terangan tengah menunjukkan rasa cemburunya kepada sang kekasih atau karena Tristan merasa bangga karena gadisnya yang dulu sering menangis di kamarnya itu, telah berani mengangkat dagu dengan angkuh untuk menjatuhkan siapapun yang mengusik ketenangannya.

"APA KATAMU?!"

Magda terlihat seperti akan bersiap menelan manusia hidup-hidup. Dia bangun dari duduk, berkacak pinggang disertai napasnya tidak beraturan. Hanna akhirnya mengulang, "Magda, apakah kau itu seorang jalang?!"

"Persetan, apa katamu brengsek?"

Hanna terkekeh. "Ah, selain jalang, ternyata kau itu merangkap sebagai wanita dungu juga. I see, I see."

Seketika, lima detik kemudian dua wanita itu saling jambak. Tidak ada yang melerai maupun menenangkan untuk beberapa menit lamanya, sampai ketika semuanya makin tidak terkendali, Tristan menggendong paksa Hanna yang makin membabi buta.

"Kenapa kau tidak membantunya, Kha?" Kevin penasaran. Rakha membalikan pertanyaan itu, "Lah, kau sendiri memangnya kenapa?"

"Apakah kau belum menyadarinya, Vin?" Hendery ikut berkoar. Dia melirik jam yang melingkar mewah di tangannya. Sudah jam sepuluh, artinya sebagai kepala keluarga yang baik dan bermartabat ia harus segera pergi dari tempat ini kalau tidak mau disuruh tidur di kebun binatang. "Gue pulang duluan ya, bro!"

"Nebeng dong, om!" Zuardi meminta tumpangan untuk pulang. Hendery yang memainkan kunci mobil itu sontak memasang wajah super sombong. Tatapannya tajam seperti ibu mertua jahat yang sering seliweran di film-film India. "Apaan nebeng? Kalau mau bareng, buruan!"

Mereka akhirnya pergi. Beberapa saat kemudian barulah Kevin paham, kalau Tristan itu adalah pacarnya Hanna. Terbukti dari bagaimana cowok itu men-treat Hanna dengan dingin namun sarat akan kasih sayang. Di bawah pengaruh alkohol juga, Hanna masih mengumpat banyak hal ketika di bawa ke lantai dua.

"Hey, babe calm down!" usul Tristan ketika Hanna masih berontak. Ia menuju salah satu kamar khusus, yang hanya bisa didatangi oleh Tristan saja di Diggity. Tristan mendorong pintu dengan kakinya sebelum melemparkan Hanna ke atas kasur, hingga wanita itu tertawa renyah. "Hanna..."

"Apa aku buat kesalahan lagi?" paraunya dengan mata tertutup. Rasanya dalam posisi begini, efek dari alkohol itu menyentak dengan mudah. Hanna merasa dijatuhkan ke hamparan kapas lembut, tidak bohong kali ini Hanna merasakan sedikit kantuk di antara pelupuk matanya. "Tris, answer me!"

"Tidak," singkatnya sembari menghampiri Hanna. Tempat tidur itu tampak memantul dengan lembut, ketika Tristan ikut bergabung di sana. Hanya saja, Hanna masih saja menyembunyikan wajahnya karena malu sendiri menyadari tingkahnya barusan. Tristan menyebut namanya lagi, "Hanna..."

Mau diakui atau tidak, Hanna pada dasarnya merasa sangat dicurangi beberapa hari terakhir ini oleh Tristan. Bayangkan saja, lelaki itu beralasan sibuk setiap waktu kepada Hanna. Tapi lihatlah apa yang terjadi malam ini?

Hanna menemukan Tristan-nya bersenang-senang dengan perempuan lain. Terbayang, betapa konyolnya dia di mata Mark. Hanna dengan percaya dirinya mengakukan diri bahwa Tristan sudah berubah karena dirinya. "Aku marah, lagi tidak mau bicara sama kamu, Tris."

"I am so, sorry..." Tristan mengangkat lengan Hanna yang digunakan untuk menutupi wajahnya tersebut. Hanna menatapnya dengan lewat mata indah itu, mata yang sama yang dua tahun ke belakang berhasil menjerat Tristan ke titik yang berbeda. "You look amazing as always, Na."

"Stop talking nonsense!" Hanna malas meladeni bualan Tristan. Ini memang bukan kesekian kalinya, Hanna mendapati Tristan dengan wanita lain. Namun untuk Magda, sepertinya dia sudah tidak bisa memberikan toleransi. "Kau bisa turun lagi, jika sudah bosan di sini."

"Kamu beneran jealous sama Magda?" Tatapan Tristan terlihat menyelidik.

Dipandangnya Hanna yang kepalanya mendarat di atas bantal, rambutnya agak berantakan lengkap dengan pipi yang bersemu sedikit merah karena minuman. Gadis itu sontak menggelengkan tanda penolakan. "Nggak, kok. Ngapain juga harus jealous sama jalang seperti dia."

"Good. Because you're only my private slut, Na." Tristan merunduk guna menjangkau wajah perempuan itu. Seperti biasa, semua selalu berantakan, cepat, terkesan buru-buru namun di sisi lain dia begitu menyukai Tristan yang dominan. "Can I close your eyes?

"Anything for you, Tristan..." Hanna mengizinkan. Maka dengan begitu, Tristan melonggarkan dasi yang melekat pada kerah kemeja dia. Dipanjangkanlah dasi warna navy itu untuk memblokir seluruh pandangan Hanna. Gelap. Semua benar-benar gelap. "Tristan?"

Permainan yang sebenarnya baru saja dimulai.