El Thariq tidak terpengaruh dengan teriakan Rachel. Alih-alih menjawab, laki-laki itu terus memandang gadis itu dengan tenang. Seolah kekesalan yang terlihat di wajah Rachel adalah sesuatu yang pantas untuk dinikmati.
Melihat pertanyaannya tak kunjung dijawab, Rachel mendekat.
Gadis itu duduk berjarak sejangkauan tangan dari tempat di mana El Thariq berbaring.
"Jawablah!" seru Rachel dengan menahan geram.
El Thariq tersenyum menyeringai.
"Aku sudah menjawabnya. Aku memilih menjawab itu karena terpapar virus cinta. Perkara Kamu percaya atau tidak, itu diluar wewenangku," jawab El Thariq dengan enteng.
"Ka-"
Rachel membatalkan ucapannya. Lalu, menggantikannya dengan helaan napas panjang.
"Tahanlah sedikit emosi, Rachel!" saran gadis itu pada diri sendiri.
"El," ucap gadis itu dengan nada rendah.
El Thariq menyembunyikan senyum bahagianya.
"Ini pertama kali aku mendengarmu memanggil namaku. Dan itu terasa sangat menyenangkan, teruslah memanggilku seperti itu," pinta El lirih.
Rachel menahan kegeraman dengan mendesah lelah.
"Dengar!" sambung Rachel mengabaikan kegeramannya.
"Bayangkan jika Kamu menikahi Mia. Kamu akan memiliki pernikahan yang sesungguhnya, pernikahan bahagia luar dalam. Em ... tidak seperti ini," ujar Rachel sambil menunjuk ke arah mereka berdua.
"Begini, Mia akan sangat mencintaimu, em ... maksudku, dengan semua yang Kamu miliki, dengan looks mu yang ... menurut Jessi dan wanita-wanita yang mengenalmu keren banget. Jadi, bayangkan! Betapa bahagianya hidupmu yang bakalan hidup dengan cinta yang berlimpah dari Mia," bujuk Rachel dengan penuh penekanan.
El Thariq tersenyum.
Laki-laki itu tak melepaskan pandangan matanya dari wajah cantik Rachel yang sedang bersemangat membujuknya.
"Hem, tanpa gadis yang Kamu sebutkan pun, pernikahan ini bisa menjadi pernikahan yang indah, itu ... jika Kamu mau," balas El Thariq dengan tenang.
Tapi, dalam ketenangannya terdengar suara sedih yang disamarkan.
Pfuh! Bola mata Rachel bergerak ke atas. Telapak tangannya mengusap kening.
"Bagaimana Kamu ingin menjadikan pernikahan ini bahagia? Pernikahan ini seperti kapal kertas yang sedang berlayar di atas air. Sebentar saja, pasti hancur," ucap Rachel lirih.
El Thariq langsung memejamkan mata mendengar itu. Sesuatu seperti sedang menggeser hatinya. Bukan karena sesuatu yang terkandung dalam ucapan gadis itu, tapi ucapan gadis itu mengundang sebuah wajah hadir dalam benaknya, wajah Madam Golda.
"Oleh Karena itu, apapun alasan nggak masuk akal untuk pernikahan ini, tolong hentikan! Kamu masih bisa membatalkannya," bujuk Rachel mencoba mempengaruhi laki-laki yang masih berbaring miring dengan mata terpejam itu.
"Tak ada yang bisa menghentikan pernikahan ini, Rachel," gumam El Thariq lirih.
Rachel mendesah lelah.
"Aku bener-benar nggak mengerti!" keluh Rachel kesal.
"El, Kamu menikahi manusia, bukan robot. Aku memiliki kehidupan sendiri. Kalau menurut ucapan Amana aku tidak diperkenankan pergi dari sini, lalu gimana dengan kehidupanku? Aku juga masih harus kuliah, apa dengan pernikahan sepihak ini semua harus berhenti?" protes Rachel kesal, wajahnya kembali bersungut-sungut.
"Kamu bisa cuti sejenak. Semua sudah diurus. Perintah tetap berada di rumah ini hanya sementara, jadi bersabarlah!" jawab El Thariq, kelopak matanya terbuka dan bayangan Rachel kembali mengisi mata.
"Sudah diurus? Maksudnya?" tanya Rachel dengan bingung.
"Orang-orangku sudah mengurus cutinya, tenang saja," jawab El Thariq dengan enteng dan datar seolah itu bukanlah masalah.
Rachel membelalakkan mata.
"Kok bisa semua diurus tanpa kutahu? Aku yang kuliah, bukan Kamu!" teriak Rachel kencang.
Wajah gadis itu memerah.
El memejamkan salah satu matanya untuk menahan lengkingan suara Rachel yang masuk ke saluran dengarnya.
"Aku biasa mengurus semuanya, Sayang," ucap El Thariq lembut.
Laki-laki itu mengabaikan kemarahan Rachel.
"Sumpah! Ini benar-benar menyebalkan!" tambah Rachel dengan suara keras.
Gadis itu beranjak berdiri, hendak berbalik dan membiarkan El di Ranjang itu.
"Agh!"
Rachel menjerit ketika tangan El Thariq menarik pinggangnya. Laki-laki itu tak membiarkan gadis itu lepas dari jangkauanya.
"Yak!" seru El dengan senyum lebar.
Laki-laki itu berhasil membuat Rachel berbaring di sampingnya.
"Hihh!!" seru Rachel sambil memukul lengan El.
El mengunci Rachel dengan memeluknya.
"Woi! El!" teriak Rachel kencang.
Tapi, El mengabaikannya. Laki-laki itu beringsut ke atas, kepalanya mencari bantal sambil tak melepaskan pelukannya.
"Istirahatlah! Hari ini pasti melelahkan untukmu," gumam El lirih, kemudian memejamkan mata.
"Gimana mau istirahat kalau tanganmu begini," keluh Rachel kesal sambil berusaha melepaskan pelukan itu.
El Thariq bergeming.
Rachel terus berusaha bergerak, tapi akhirnya menyerah.
Gadis itu mencubit-cubit pipi El, lalu memencet-mencet hidung mancung laki-laki itu. El tak terpengaruh, malah beberapa saat kemudian laki-laki itu memperlihatkan tanda-tanda orang yang telah jatuh terlelap. Wajahnya tenang dan napasnya teratur.
"Hihh!" seru Rachel kesal sambil memukul-mukul lengan El.
Gadis itu akhirnya menyerah total, memandang wajah tampan El dengan sebal, lalu membalikkan badan.
Apa yang terjadi hari itu sedikit banyak menguras energi dan pikiran Rachel, hingga tubuhnya menuntut untuk istirahat. Beberapa menit kemudian, Rachel terseret dalam alam tidurnya. Napasnya teratur, gadis itu meringkuk sementara lengan El masih berada di pinggangnya.
Kelopak mata El Thariq terbuka. Bibirnya tersenyum menyeringai.
Laki-laki itu sedikit mengangkat bagian atas tubuhnya untuk melihat wajah Rachel yang tertidur nyenyak.
Dengan pelan-pelan, El membalikkan tubuh Rachel dan merapatkan kepala gadis itu ke bahunya.
"Aku tahu, aku lebih gila dari Milano," ucapnya dalam hati. Pandangn matanya menerawang ke langit-langit kamar.
Apa yang dilakukan Milano tadi siang membayang. El menarik napas panjang.
"Sepertinya aku sudah melakukan langkah-langkah untuk berjaga-jaga, tapi aku mengetahui Madam Golda dengan baik. Aku harus tetap waspada," batinnya sedikit tegang.
El mencium puncak kepala Rachel dengan lembut.
"Bahkan aromanya saja bisa membuatku setenang ini," batinnya berbicara.
"Agh!" Desah lelah lirih meluncur dari mulut El ketika apa yang disampaikan Dreana kembali terngiang di telinganya.
"Haruskah aku menjagamu sampai seperti itu?" Tanya El dalam hati ketika saran dokter Dre seolah sedang diputar ulang.
El menghela napas dalam, tangannya mempererat pelukannya. Kemudian, laki-laki itu memejamkan mata hingga beberapa saat kemudian ia menyusul Rachel ke alam mimpi.
Waktu berdetak dengan cepat.
Rachel membuka mata matanya dan melihat tirai jendela sudah dibuka. Tangannya meraba permukaan kasur di sampingnya dan dengan lega ia mengembuskan napas panjang.
"Si Brengsek itu telah pergi," batin Rachel senang.
Masih dalam kondisi terjerat ngantuk, Rachel melebarkan kelopak matanya untuk mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.
"Heh!" serunya tertahan.
Sejenak ia terkejut, tapi dahinya kemudian mengernyit. Dengan pikirannya ia me-screening seluruh tubuhnya.
"Semalam ... nggak terjadi apa-apa 'kan?" benaknya mulai bertanya.
Rachel merasa tak menemukan kejanggalan di tubuhnya ketika melakukan proses pengecekan dengan pikiran. Ia juga tidak menemukan hal yang aneh ketika mencoba memutar ulang rekaman kejadian tadi malam sebelum ia terlelap.
"Wah! Beneran ya?" serunya tertahan.