Dunia ini dilanda oleh ketakutan sejak empat ratus tahun lamanya. Ketakutan akan Tujuh Kunci yang menghancurkan dunia ini dan menyebabkan berbagai penderitaan, huru-hara jeritan keputusasaan selayaknya berada di neraka. Pejuang lahir dan gugur menghadapi mereka, sejarah empat ratus tahun yang stagnan tanpa ada kemajuan dan hanya ada kemunduran. Ada kala waktu damai di mana Tujuh Kunci tidak membuat masalah namun ketika mereka bergerak tiada satu tempat yang memiliki kehidupan.
Tujuh Kunci Pleiades, setiap kali muncul mereka menyebut diri demikian. Tidak ada siapapun yang tahu makna dari ucapan mereka. Manusia mencoba berbicara dengan mereka untuk mengetahui maknanya dan menghalalkan segala cara untuk melawan Tujuh Kunci. Berkali-kali mencoba dan berkali-kali gagal dalam prosesnya.
Dewi dunia ini membantu manusia dengan menurunkan senjata dan berkah, tetapi hasilnya tetap saja kekalahan total. Sampai seorang peramal menyampaikan bahwa di masa depan akan ada seorang anak yang lahir dengan takdir besar di pundaknya. Pertanda kelahirannya akan membuat alam ini bergetar sebagai bentuk perayaan kelahiran dari seorang penyelamat.
"Kelak akan lahir seorang anak yang akan menentukan nasib dunia ini. Kelak dia akan menjadi orang yang memutarbalikkan dunia!"
Empat ratus tahun telah berlalu sejak ramalan itu menggema, sampai kini manusia tidak pernah berhenti berharap. Namun ramalan itu kian lama menjadi sirna karena Tujuh Kunci memulai kehancuran secara perlahan.
Langit bergetar dan petir menyambar berbagai tempat, badai yang bergandeng tangan menghempaskan segalanya dan laut mulai mengamuk. Di waktu yang kacau tersebut teriakan wanita terdengar, tak lama diikuti tangisan seorang bayi yang lahir ke dunia.
"Anak ini ... Anak kita akan menjadi pejuang kuat. Dia terlahir untuk menjadi pembebas!"
"Ya. Itu pasti. Karena dia anak kita."
Tak lama kemudian Tujuh Kunci memulai serangannya secara aktif seolah sedang melakukan pencarian. Pertarungan besar terjadi dan keluarga itu terus hidup dalam pelarian. Selama 5 tahun melarikan diri, merasakan kedamaian yang sangat singkat namun begitu berharga bersama keluarga kecil mereka.
"Pasukanku, hancurkan segalanya, jangan lepaskan siapapun!" Perintah dari orang berpenampilan mengerikan membuat para Iblis dan monster menyerang sebuah desa yang terbakar oleh api membara.
Teriakkan dan jeritan tangis menggema. Di tengah kehancuran tersebut, seorang pria berdiri gagah berani menghadapi pria lainnya yang memerintahkan kehancuran.
"Ferdinand Argonaut. Seorang pejuang, pembunuh naga, dan kriminal yang dicari. Tindakanmu selama ini sangat menarik, tetapi tidak kuduga kamu terikat kuat dengan benang takdir." Bibirnya tersenyum dan wajah menyeramkan dengan bagian pipi membusuk terlihat menikmati peristiwa mengerikan di depannya.
"Meski aku berakhir di sini, perjalanannya tidak akan berakhir. Kejayaanmu akan berakhir di masa depan, Kunci Kebanggaan!" Ferdinand tanpa gentar atau takut menghunuskan pedangnya.
"Kukuku, kalian manusia hanya monyet rendahan. Baik di masa lalu, masa kini, dan masa depan. Cerita tentang kalian mampu diringkas menjadi sebuah kata ... Pecundang. Kalian para pecundang yang memiliki banyak mimpi dan harapan meski nyatanya tak berusaha mencapai apa-apa."
"Harapan manusia tidak akan pernah berakhir. Karena adanya harapan itu, manusia masih terus berjuang. Kamu yang tidak memiliki jalinan batin atau merasakan cinta tidak akan memahami kami manusia."
"Seperti kalian yang tidak memahami babi, memangnya aku harus memahami kalian manusia yang rendahan? Namaku, Hanzo Utakata Asterope. Salah satu dari Tujuh Kunci Pleiades, Kunci Kebanggaan. Makhluk paling kuat yang membuat Dewa-dewi ketakutan."
"Kebanggaan diri itu akan segera berakhir. Persiapkanlah dirimu!"
Pertarungan diantara mereka mulai terjadi. Kota yang hancur dan jatuh dalam neraka penuh dengan ledakan kuat. Rumah melayang di udara dan terhempas, mayat berserakan dan terbakar. Iblis mengamuk dengan senang hati, monster menggila dan membunuh tanpa sisa.
Di luar kota yang hancur, dua wanita dan seorang anak laki-laki berusia lima tahun berlari menuju ke dalam hutan. Mereka menjauh dan menyelamatkan diri dari bencana yang tengah terjadi. Sampai salah satu berhenti, wanita yang menggunakan tudung kelabu dan menggendong seorang anak laki-laki.
"Ada apa Kak Marin? Mereka akan mengejar kita, tidak ada waktu untuk berisitirahat!" Wanita dengan rambut ungu terengah-engah dan dengan panik menuntut tuk bergegas.
"Maaf Violet, ada hal lain yang harus kulakukan." Wanita bertudung, Marin, menurunkan anak yang selama ini digendong dan berada di pelukannya.
"Ibu, aku takut. Apa semua orang baik-baik saja? Bagaimana dengan Ayah?" Bocah itu yang menangis bertanya, tubuhnya gemetar dan ketakutan.
"Semuanya baik-baik saja, Arcadia. Ayah sedang membantu warga menyalakan kembang api. Ibu akan menyusul Ayah, kamu pergilah bersama Bibi Violet, ya." Marin berusaha yang terbaik menahan air mata dan memeluknya dengan erat untuk terakhir kali. Tatapannya beralih ke wanita yang adalah adiknya.
"Tolong jaga dia, Violet. Aku mohon."
"Tidak, Kak, aku tidak mau itu!" Violet menangis sedu dan tidak terima dengan hal ini.
"Kumohon, ini permintaan terakhir dari Kakakmu. Jaga Arcadia. Kelak dia akan mengakhiri dunia yang kejam ini. Pengorbananku hannyalah hal kecil untuk dunia ini."
Di dunia yang keji ini kematian dan kehilangan adalah bagian paling menyakitkan dari hidup. Kematian bisa terjadi kapan saja namun dia tidak bisa menerima perpisahan menyedihkan seperti ini. Mereka baru saja merasakan kebahagiaan yang amat singkat meski hidup dalam pelarian, dan harus menderita lagi.
Menatap mata yang berkali-kali diarahkan kepadanya sejak sangat lama, dan mata yang sama di mana dia tak pernah mampu menolaknya, Violet tak memiliki pilihan lain dan harus kalah oleh tatapan tersebut. Mungkin ini akan jadi kali terakhir dia kalah oleh tatapan tersebut.
"Baiklah ... Aku akan menjaga Arcadia dengan hidupku." Violet menelan pahit kenyataan. Hidup tentunya penuh perpisahan, tetapi dia tidak menerima perpisahan seperti ini.
"Terima kasih, Violet. Mulai dari sekarang pergilah bersama Bibi Violet, kamu harus mematuhi perkataannya baik-baik, Arcadia." Marin mengambil sesuatu dari kantungnya dan memakaikannya kepada Arcadia, "Ibu akan pergi menemui Ayah. Lalu, gunakanlah kalung ini bersamamu, jangan sampai menghilangkannya karena ini hadiah dari Ayah dan Ibu."
Kalung dengan tali hitam dan batu hijau. Batu kristal dengan warna hijau memancarkan cahaya sebagai ucapan perpisahan kepada sang pemilik, dan ucapan selamat datang ke pemilik baru.
"Tidak Ibu, aku tidak mau. Biarkan aku tetap bersamamu Ibu!" Arcadia menangis dan memeluk Marin sekali lagi.
Marin memeluknya balik dan menangis sedu, dia tak ingin berpisah dengannya. Harapannya adalah membesarkan Arcadia, menyaksikannya tumbuh dan bahagia di dunia yang hancur ini. Tetapi untuknya yang terjalin benang takdir, keinginan itu tidak bisa tercapai.
"Ibu juga ingin tetap bersamamu! Namun Ibu tidak bisa melakukannya. Karena itu, pergilah!" Marin menyerahkan Arcadia kepada Violet yang menangis dan langsung menarik Arcadia ke genggamannya.
Tatapannya berpindah ke Violet sekarang, tatapan yang sudah menolongnya berkali-kali. Dia memeluk adik semata wayang yang akan menjaga harta berharganya mulai sekarang.
"Dengar ini, Violet. Kelak akan ada seorang pria yang datang menemuimu. Dia yang akan membimbing Arcadia menuju jalan yang harus ditempuh. Saat waktunya tiba, percayakan kepadanya."
"Baik ... Aku menyayangimu, Kak, selamat tinggal!" Violet memeluk Marin dan melepaskannya, dia memeluk Arcadia dan mulai berlari menuju hutan. Sepanjang jalan yang dia lalui menyisakan kristal air mata yang bertebaran sepanjang jalannya.
"Tidak, Ibu! Lepaskan aku Bibi, aku ingin bersama Ibu dan Ayah!"
"Tidak boleh! Apapun yang terjadi, kamu harus tetap hidup, ini keinginan terakhir Kak Violet dan Kak Ferdinand!"
Arcadia memberontak dengan kuat dan menyebabkan Violet kesulitan. Namun hal tersebut berlangsung singkat karena Violet memukul tengkuk Arcadia untuk membuatnya tidak sadarkan diri.
"Pergilah Arcadia, Ibu sangat menyayangimu. Setidaknya kamu harus selamat."