Chereads / Tujuh Kunci Pleiades / Chapter 3 - Tak Ingin Sendirian

Chapter 3 - Tak Ingin Sendirian

Di malam yang sunyi dan dingin, langit tampak merah berkat kota yang terbakar oleh jago merah yang menelan segalanya ke dalam api pemusnahan. Air mata terus menetes, telapak kaki yang telanjang bersimbah darah menginjak duri dan menabrak batu. Kuku yang menabrak batu copot dan patah, rasa sakit menusuk seperti jarum. Tak kenal lelah, kaki-kaki lemah tersebut terus mengambil langkah menjauh dari malapetaka di belakang.

"Kakak ipar, kak Violet ... Aku bersumpah, akan melindungi Arcadia!"

Kalimat yang Violet gunakan untuk menguatkan diri dan hatinya untuk menciptakan pilar tegak agar dirinya tak runtuh oleh prahara yang akan dia hadapi di masa kini hingga masa depan. Terus mengulanginya lagi dan lagi, kalimat yang menjadi belenggu bagi dirinya untuk tidak menyerah.

Amanah yang harus dia laksanakan sampai mati dan akan terus menyeret dirinya dan mencegahnya menjauh dari roda takdir yang terus berputar. Anak yang ada dalam pelukannya adalah roda gigi penting yang akan membantu memutar takdir empat ratus tahun stagnan.

Napas kembang-kempis dengan mata lebam yang mengalirkan air mata keluar, mulut kering menyiksanya dan menuntut untuk membasahi, kaki-kakinya menjerit memintanya untuk berhenti. Batasnya akan tiba tetapi dia menolak untuk berhenti sampai keamanan terjamin. Sekalipun harus melangkah hingga ke ujung dunia, langkahnya takkan coba untuk berhenti.

"Aku bersumpah akan melindungimu, Arcadia."

Kembali menguatkan dirinya dengan kata-kata. Lagi dan lagi, melakukannya berkali-kali entah sampai kapan kepuasan diri akan tercapai. Mungkin takkan tercapai, tapi setidaknya telah berusaha. Usaha yang baik akan menghasilkan hasil yang baik, bahkan jika tanpa hasil, ada makna dari perjuangannya. Tak selamanya usaha akan memberikan hasil namun usaha akan memberikan pengalaman dan keteguhan hati.

"Aku bersumpah akan melindungimu ..."

Perjuangan itu tidak ada yang tidak menyakitkan. Bahkan orang yang tidak lagi memiliki siapapun akan mampu untuk tetap berjuang tanpa lelah dengan cara mendoktrin diri sendiri dengan kata-kata yang akan membantunya untuk tidak berhenti.

"Aku bersumpah, akan melindungi ..."

Kepalanya mulai terasa sakit dan pandangan berkunang-kunang menuntut kesadaran untuk pergi. Keringnya tenggorokan membuatnya tersiksa, bahkan sekedar bernapas sudah sangat menyiksa.

"Aku bersumpah, akan ..."

Kata-kata yang diucapkan Violet semakin tidak jelas dengan suara yang lebih seperti berbisik. Tenaga telah benar-benar meninggalkan tubuhnya yang sakit seolah dihantam ratusan jarum, terus menjerit dan menuntut untuk berhenti. Dia terjatuh namun memilih untuk bangkit lagi, langkahnya melambat namun tetap berusaha mengambil langkah.

Langkah yang dia ambil akan menjadi langkah untuk menuju lebih dekat ke masa depan yang cerah. Semakin banyak langkah yang dia ambil maka akan semakin dekat dengan masa depan yang diidam-idamkan dan dirindukan selama ini.

"Aku bersumpah ..."

Wajahnya yang cantik dipenuhi lumpur, mata biru tersebut melayu tetapi masih tersirat tekad yang kuat, rambut ungunya berantakan dan memiliki beberapa daun tersangkut, kimono yang dia kenakan compang-camping karena tersangkut oleh tanaman runcing, bibir seksi yang kering membuka dan menutup untuk bernapas.

Terdapat sebuah gua kecil tidak jauh di depan, dia berpikir sudah lari cukup jauh sehingga akan aman untuk beristirahat selama satu malam di sana. Terus melangkah dengan tenaga yang benar-benar hilang tersebut, tak kenal menyerah, setidaknya dia harus mencapai gua itu sebagai garis akhir di babak pertama dari pelarian tanpa akhir.

"Aku ..."

Wanita bernama Violet bukanlah wanita yang akan menyerah oleh rintangan kecil. Sejak hidup menumpang bersama kakak perempuannya yang hidup dalam pelarian bersama kakak iparnya, Violet terbiasa melalui rintangan yang besar. Hanya sekedar berlari adalah rintangan kecil dari rintangan besar yang pernah dia lalui.

"Sedikit ... Lagi ..."

Hanya beberapa langkah lagi, butuh sedikit langkah lagi dia akan mencapai garis akhir. Memaksa diri sampai titik darah penghabisan, dia mencapai garis akhir, meletakkan Arcadia dengan lembut lalu kehilangan kesadarannya.

Kelelahan fisik yang bertumpuk disertai rasa sakit di tubuhnya akan membuatnya menderita. Beban mental dari kehilangan kakak perempuan yang dia sayangi dan kakak ipar yang sudah menjadi anggota keluarganya sudah cukup memberikan luka dalam di hatinya. Namun dia sadar lebih dari apapun, soal hati yang tersakiti, Arcadia akan memiliki kerusakan terburuk.

Pagi menyingsing dan menghapus kegelapan serta dinginnya malam hari. Tersigap Violet membuka matanya dan dengan panik bangun, kekhawatiran akan pengejar mencapai mereka menyelimuti dirinya namun kekhawatiran itu tidak diperlukan. Dia menarik napas lega tetapi rasa sakit di sekujur tubuh menyerangnya tanpa ampun.

Violet berlari tanpa henti dan tanpa peduli dengan luka yang dia terima, dengan adrenalin yang tinggi dia tak bisa merasakan sakit. Dikarenakan adrenalin tersebut telah menghilang menjadi penyebab dia baru merasakan sakit.

Melihat kakinya, terdapat kain kecil yang membalut lukanya, ikatan dan perawatannya buruk namun lebih baik daripada tidak sama sekali. Violet kemudian menyadari bahwa kain itu berasal dari baju yang digunakan Arcadia. Lantas dia mencari keberadaan bocah itu namun tidak menemukannya di manapun.

"Arcadia!" Violet memanggil namanya beberapa kali tetapi tidak ada balasan.

Dari luar gua hingga depan gua, Violet menemukan jejak tetesan air. Tak ada hujan atau basah di sekitar gua, jadi tanah yang basah itu jelas tak alami.

"Aku harus hati-hati."

Violet menemukan Arcadia yang berjalan hati-hati dengan sesuatu di tangannya. Dia tersenyum lembut karena bersyukur tidak ada apapun yang menimpa bocah itu, dia telah berhasil menjaga amanat yang diberikan kakak perempuannya. Violet berusaha yang terbaik untuk mengeluarkan suaranya tanpa memasukkan perasaan sedih dan tersiksa. Bibir dan tenggorokannya terasa sangat kering dan begitu menyiksanya.

"Apa yang kamu lakukan, Arcadia?"

Mendapati panggilan itu dengan cepat Arcadia mendongak, menangis dan melompat ke pelukan Violet. Dia mengabaikan sesuatu di tangannya yang coba dia pertahankan.

"Bibi Violet! Syukurlah kamu baik-baik saja!"

Violet menyambut pelukan tersebut dengan lembut, dia memeluk Arcadia kecil dengan erat dan simpati serta rasa kasih sayang yang besar.

"Ya ... Aku juga bersyukur kamu baik saja."

Lebih dari apapun Violet amat berterima kasih kepada siapapun itu karena keselamatan Arcadia. Tak sepatutnya bocah itu datang di tempat pertama untuk mengkhawatirkannya, tetapi perasaan itu cukup meringankan beban di hati Violet.

"Omong-omong, dari mana saja kamu?" Melepaskan pelukannya, Violet menatap Arcadia dengan senyuman.

Arcadia menyeka air matanya dan membuat wajah yang kecewa pada diri sendiri, "Aku mencoba membawa air dengan tanganku karena Bibi terlihat haus. Namun aku selalu saja gagal meski sudah menutup celah tanganku menggunakan sisa pakaian."

Arcadia anak yang begitu baik dan memperhatikan kondisi orang lain namun sayang dia harus menderita seperti ini. Violet begitu sedih kepada bocah yang memikul beban berat di pundaknya. Jika ada satu cara untuk memindahkannya, dengan lapang dada dan siap Violet akan menggantikan Arcadia untuk memikul beban tersebut. Dia membelai lembut kepalanya dan tersenyum senang.

"Terima kasih banyak, Arcadia. Kamu sudah mencoba membantuku sudah membuatku senang."

Meski mengangguk, wajah Arcadia tak kunjung membaik. Dia seolah ingin mengatakan sesuatu, Violet memilih diam dan memberi waktu baginya untuk berbicara.

"Bibi Violet, apa benar bahwa Ayah dan Ibu ... Telah meninggal?"

Violet melebarkan matanya dan terkejut akan kata-kata tersebut. Dia tak ingin memberitahukan faktanya segera karena mungkin Arcadia akan mengalami gangguan pada mentalnya. Sebelum sempat bagi Violet mengatakan sesuatu, Arcadia terus berbicara.

"Malam aku bermimpi kalau Ayah dan Ibu pergi menjauh dariku, dan mengucapkan selamat tinggal. Mereka mengatakan akan pergi menuju ke tempat yang sangat jauh dan akan mengawasiku. Lalu saat aku bangun, Bibi juga mengigau dan menangis selagi meminta maaf kepada Ibu."

Ikatan antara orang tua dan anak adalah sesuatu yang tidak bisa dipahami secara teori atau dijelaskan secara lisan, ikatan tersebut hanya bisa dipahami dari merasakannya secara langsung. Saking kuatnya ikatan antara Arcadia dan orang tuanya, mungkin sebuah keajaiban tercipta dan membuat kesempatan di mana kedua orang tuanya mengucapkan selamat tinggal.

"Arcadia, kamu ..."

"Tenang saja Bibi! Aku ... Aku tahu, bahwa aku tidak sendirian. Ada kamu bersamaku. Jadi, tolong jangan tinggalkan aku sendirian!"

Air mulai mengalir dari mata hingga hidungnya. Violet merasakan perasaan kehilangan dan tak ingin kehilangan serta tak mau sendirian yang sama dengannya. Dia memeluk Arcadia dengan erat.

"Ya! Bibi janji tidak akan membiarkanmu sendirian, karena itulah kamu juga tidak boleh membiarkan Bibi sendirian!"

Manusia bukan makhluk yang bisa berdiri sendiri, manusia itu sesungguhnya sangat rapuh. Tetapi mereka menjadi sangat kuat ketika bergantung satu sama lain dan saling bergandengan tangan. Perbedaan terbesar antara manusia dengan makhluk hidup lainnya adalah mereka memiliki hati yang sangat rapuh dan tak bisa sendirian.

Mereka membutuhkan manusia lain untuk bertahan. Bahkan jika secara fisik mereka mampu untuk tidak bergantung kepada manusia lain, tetapi jika berurusan dengan hati, manusia tidak mampu mengatasinya sendirian. Terkadang dibutuhkan uluran tangan orang lain untuk mencairkan hati yang membeku.

Violet dan Arcadia segera menuju sungai yang ditemukan oleh Arcadia. Dia dengan lahap meminum air tanpa tergesa-gesa. Tenggorokan yang kering mulai hidup kembali begitu dinginnya air sungai. Mencuci muka dan membersihkan diri, mereka bergegas pergi untuk mencari kota atau pemukiman di sekitar.

Mereka harus berjalan perlahan karena kaki Violet yang terluka sedemikian rupa. Sangat disayangkan karena dia tidak seperti kakak iparnya yang mampu menggunakan sihir, Violet sepenuhnya hanya orang biasa yang tak memiliki bakat sihir.