Langit senja berwarna jingga dan matahari yang berada di puncaknya merendah sebagai tanda untuk berjumpa di hari esok. Perlahan langit malam menyapa langit biru yang menyenangkan. Jika siang hari membawa keceriaan maka malam membawa kedamaian.
"Sampai jumpa lagi, Arcadia!"
"Dadah!"
"K-kita akan bertemu lagi b-besok."
Arcadia menatap teman-teman baru yang berjalan pulang bersama orang tua mereka. Ada perasaan rindu di mana dia dijemput oleh Ibunya saat sedang bermain, itu adalah masa-masa yang takkan pernah bisa kembali lagi.
"Ya, terima kasih telah mengajakku bermain!" Dia melambaikan tangannya, tatapannya tertuju kepada orang tua dan anaknya yang saling bergandengan tangan.
Arcadia merasakan kesepian di dadanya, dia tidak tahu kata apa yang tepat untuk menjelaskannya namun dadanya sesak secara artifisial. Tangannya ingin menggenggam tangan lain yang berisi kehangatan namun saat ini Arcadia hanya menggenggam udara.
Perutnya mulai berbunyi dan dia duduk di kursi yang tak jauh dari air mancur selagi menunggu kehadiran Bibinya yang pergi bekerja. Menopang kepalanya dengan kedua tangan yang singgah di paha, Arcadia menatap diam air mancur dan orang-orang yang menuju rumahnya secara bergantian.
"Bibi Violet masih lama, ya?" gumam Arcadia yang menyiratkan rasa kesepian. Arcadia merindukan Violet setelah melihat teman-temannya yang pulang bersama orang tuanya.
Dia tidak merasa sedih, tidak ingin menganggap dirinya sendirian. Arcadia masih mempunyai Violet, selama ada Bibinya dia masih punya tempat untuk pulang.
Arcadia mendengar langkah kaki yang tampaknya mendekat ke arahnya. Ada harapan bahwa langkah tersebut berasal dari orang yang ditunggu, dia dengan antusias menoleh dan sedikit kecewa telah berharap.
"Hmm, bukankah kamu paman yang ada di kedai kemarin?"
Pria dengan rambut putih, dua pedang di pinggangnya dan pakaian serba putih ditambah tudung di kepalanya. Pakaian yang mirip dengan pendeta namun juga sedikit berbeda di bagian bawah.
"Keberuntunganmu sangat besar karena telah bertemu denganku dua kali," pria itu tersenyum dan duduk di sebelahnya, "Apa yang kamu lakukan, hari akan gelap dan sebaiknya kamu pulang."
"Aku sedang menunggu Bibi pulang kerja," wajahnya tampak kesepian dan bosan namun Arcadia berusaha tidak menunjukkan emosi itu lagi, "Paman sendiri apa tidak pulang? Keluargamu mungkin mencarimu."
"Keluarga, ya. Berkah terindah dari kehidupan yang bernama
keluarga telah lama menghilang dari hidupku. Saat ini aku hanya seorang pengembara tua yang sebatang kara dan tidak menetap di satu tempat."
"Ah, maafkan aku. Aku tidak tahu itu." Arcadia merasa bersalah karena membahas sesuatu yang seharusnya tidak disentuh.
"Tidak masalah. Lagipula aku tidak lagi mengingat seperti apa wajah mereka." Dia menengadah ke langit, suaranya terdengar sedikit kesepian dan ada luka yang tidak dapat dilukiskan oleh kata-kata belaka.
Arcadia masih penasaran dengan pria itu karena dia benar-benar mampu melihat meski matanya tertutup. Entah bagaimana caranya namun tampaknya pria itu memiliki kekuatan yang membuatnya mampu melihat dengan mata tertutup.
"Omong-omong, kamu memiliki benda yang menarik, ya." Pria itu menatap sesuatu yang ada di dadanya dengan tertarik.
Untuk pertama kalinya Arcadia melihat mata pria itu yang memiliki keunikan. Bola mata kirinya berwarna kemerahan dengan iris mata yang terlihat tajam, sementara mata kanannya berwarna biru terang sehingga Arcadia mampu melihat pantulan dirinya.
Arcadia pernah mendengar tentang ini dari Ayahnya, bahwa ada orang-orang khusus yang memiliki warna mata berbeda. Pengidapnya hanya orang-orang tertentu yang memiliki hal spesial dan membedakan dirinya dengan orang lain.
Konon hanya orang kuat terpilih yang memiliki dua warna mata berbeda.
"Menarik? Ah, kalung ini adalah pemberian Ibuku. Hadiah perpisahan darinya." Arcadia mengeluarkan kalungnya dan menatapnya selagi tersenyum sedih.
Pria itu sama sekali tidak terpengaruh dengan reaksi Arcadia dan tidak kehilangan minatnya sama sekali. Menyipitkan mata indahnya pria itu segera menemukan sesuatu dan sedikit tertegun namun dia dengan mudah kembali seperti biasa.
"Ada apa paman?" tanya Arcadia ketika melihat wajah pria itu.
"Tidak ada, sama sekali tidak ada." Pria itu dengan acuh tak acuh bersandar dan menatap ke arah lain, "Apakah wanita cantik di sana adalah Bibimu?"
Arcadia menoleh, dia gembira dan berlari menuju Violet lalu memeluk pinggangnya dengan senang, "Bibi!"
"Maaf membuatmu menunggu, Arcadia." Violet mengelus kepalanya dan tersenyum, dia segera menatap pria yang bersama dengan Arcadia.
"Tidak, paman ini menemaniku. Dia ..." Arcadia terhenti dan ingat bahwa dia sama sekali tidak mengenalnya, "Oh iya, paman siapa, ya?"
Pria itu beranjak bangun dan berdiri tepat di depan Violet juga Arcadia, "Hanya Pertapa. Cukup kenali aku dengan seorang Pertapa yang kesepian. Pertapa Rigel."
"Rigel ... Nama yang bagus." gumam Arcadia saat pertama kali mendengarnya.
"Terima kasih karena telah menemani keponakanku. Aku Violet, Bibinya sekaligus walinya." Violet mengabaikan reaksi Arcadia dan menundukkan kepalanya dengan hormat.
Pria yang menyebut diri Pertapa Rigel memandang Violet dengan pandangan tertarik, matanya mengamati Violet dari kaki dan wajah sebelum mendekati Violet dan mengendus-endus baunya. Violet terkejut oleh tindakannya, pipinya terlihat memerah seperti tomat.
"A-apa ada yang salah?" tanyanya ketika mengambil sedikit jarak.
"Tidak ada, maaf atas sikap kurang sopan ini. Tata caramu meminta maaf sangat asing di kerajaan ini, tampaknya kamu berasal dari Kerajaan Sakura, atau mungkin kamu mempelajari budaya sana." Pertapa Rigel menjauhkan diri dan menatap Violet dengan tertarik, "Sepertinya kedua kakimu terlihat lemas, Nona. Lebih baik beristirahat dan jangan memaksakan diri."
Arcadia hanya menyaksikan percakapan diantara mereka, dia tidak tahu apa yang dimaksud Pertapa Rigel namun kata-katanya membuat Violet tertunduk dan menggigit bibirnya dengan pahit.
"Kalau begitu aku akan undur diri. Sampai jumpa." Tanpa menunggu lebih lama Pertapa Rigel mulai berjalan.
"Ya! Sampai jumpa, Pertapa!" Arcadia melambaikan tangannya dengan riang.
Di jalan ketika melalui Violet, Pertapa Rigel sedikit berhenti dan mengatakan sesuatu yang tidak dipahami oleh Arcadia.
"Sebelum pergi aku ingin memberikan kalian berdua peringatan kecil, terutama untukmu, bocah."
Perkataannya menarik minat Arcadia dan Violet. Tiada satu dari keduanya mengenal Pertapa Rigel secara mendalam. Violet sendiri menyimpan kecurigaan dan rasa keingintahuan dari pria itu, karena bagaimanapun penampilan dan kehadirannya tidak biasa.
'Pertapa Rigel ini ... Membawa angin tidak sejuk di sekitarnya. Lebih dari kakak ipar.'
Violet yakin Pertapa Rigel orang yang kuat dan karena itu dia tidak ingin membuat masalah apapun dengannya.
"Tragedi akan terus berjalan selayaknya arus takdir yang mengalir bagai sungai. Perjalananmu belumlah berakhir, belum juga dimulai. Ketika waktunya tiba kamu harus memikirkan baik-baik apa yang akan kamu lakukan." Pertapa Rigel berbalik dan angin kencang segera menerpa.
Violet dan Arcadia memejamkan matanya karena angin tersebut, ketika membuka matanya Pertapa Rigel telah menghilang seakan tidak pernah ada. Arcadia tidak memahami apa maksudnya namun dia pikir sesuatu akan terjadi tidak lama lagi dan Pertapa Rigel memintanya untuk bersiap atas segala kemungkinan.