Arcadia mengayunkan kakinya depan-belakang dan dengan diam menatapnya. Dia menunggu Violet untuk kembali karena dia mungkin langsung mulai bekerja. Tak perlu baginya berkeliaran dan menjadi anak nakal, lebih dari apapun Arcadia tak ingin dibenci Violet. Ketakutan terbesar yang dia miliki saat ini adalah kehilangan satu-satunya orang paling berharga.
Grwrrr ...
Perutnya mulai mengerang, meski sebelumnya sudah makan saat memasuki kota namun itu jumlah sedikit yang tak bisa memberikan kepuasan kepada perutnya. Dia memegangnya dan meyakinkan diri untuk bersabar.
"Andai Ibu masih ada ... Aku tidak akan kelaparan."
Dia tidak pernah merasa benar-benar kelaparan ataupun kesepian seperti sekarang ini. Selalu ada Ayah dan Ibunya di rumah, bahkan ketika Ayahnya tak ada, Ibunya dan Violet masih ada bersamanya. Tak sekalipun Arcadia pernah berpikir dirinya kesepian kala itu, dia memiliki orang-orang yang disayangi bersamanya.
Namun sekarang mereka tiada, jika bukan karena makhluk yang mengejar keluarganya, Arcadia takkan kehilangan kedua orang tuanya. Dia sungguh ingin tahu, apa sebenarnya makhluk itu, siapa dan dari mana asal-usulnya.
"Ayah, Ibu ..." Arcadia mulai menangis, dia berusaha menghentikan tangis dan menyeka air mata yang mengalir.
Kring, kring.
Bell yang diletakkan di tepi pintu berbunyi dan seseorang masuk ke kedai. Arcadia bersusah payah berhenti menangis dan ketika air mata berhenti, dia menoleh, terkejut dengan penampilan orang yang masuk ke kedai.
Seorang pria muda yang mungkin seumuran dengan Violet. Rambut putihnya begitu terang dan cerah, sangat berbeda dengan rambut orang-orang yang memutih karena umur. Rambut yang dia miliki terlihat begitu segar dan indah. Wajahnya terlihat tampan dan lembut, untuk beberapa alasan Arcadia merasa orang itu sedikit seram.
Selain itu yang membuatnya penasaran adalah bagaimana orang itu bisa berjalan dengan mata yang terus tertutup. Mungkin dia tunanetra, bisa juga tidak namun yang jelas pria itu hebat karena bisa berjalan dengan santai seakan-akan bisa melihat dengan jelas meski matanya tertutup.
'Pendeta?'
Dengan pakaian serba putih yang sedikit kebesaran, siapapun yang melihatnya akan menilai orang itu sebagai pendeta atau orang suci. Penampilannya jelas mencolok, ada juga kemungkinan dia seorang Bangsawan namun karena dia tidak memiliki pengawal maka kemungkinan itu bisa diurungkan.
Pria itu duduk dengan santai di samping Arcadia, dia menoleh ke sana-kemari seolah mencari sesuatu. Pertanyaan kembali muncul di kepala Arcadia apakah orang itu memang bisa melihat meski menutup matanya.
"Tuan, jika mencari pemilik toko, kamu harus menunggu sebentar. Pemilik sedang menunjukkan Bibi Violet pekerjaan yang akan dia lakukan."
Entah dia bisa melihat atau tidak, Arcadia tak menghiraukannya dan memberitahu keadaan tokonya. Saat ini hanya ada dia dan pria itu saja, pemilik sedang ada di lantai dua bersama Violet.
"Begitu, ya. Aku akan menunggunya kalau begitu. Terima kasih sudah memberitahuku." Pria itu berkata dengan lembut, suaranya sangat halus sampai membuat Arcadia terkesima.
"Ya! Omong-omong paman ..." Arcadia memperhatikan dua buah pedang yang ada di pinggang pria itu, "Apakah paman seorang petualang?"
Dua pedang yang berada di pinggangnya terlihat unik. Satu memiliki ulir emas berkepala naga, sarungnya terlihat mewah dan cantik dengan kristal merah biru yang menjadi hiasannya. Sementara pedang satunya terlihat biasa saja, hitam sepenuhnya dan lebih seperti tongkat besi.
"Mengapa kamu berpikir aku seorang petualang?" Pria itu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan, dia tersenyum dan menoleh ke Arcadia, seolah-olah tertarik melakukan percakapan kecil.
"Awalnya aku berpikir kalau paman seorang pendeta, tapi tidak mungkin pendeta membawa pedang. Pendeta menggunakan sihir dan penyihir biasanya tidak membawa pedang."
Arcadia sering melihat petualang berlalu-lalang di kota tempatnya tinggal sebelumya. Mereka menggunakan berbagai senjata seperti pisau, tombak, dan pedang salah satunya. Sementara ada juga yang menggunakan tongkat kecil, Arcadia pernah bertemu seorang pendeta yang berpetualang dan tahu bahwa pendeta tak menggunakan senjata apapun. Pendeta menggunakan kekuatannya dengan berdoa kepada Dewi.
"Kamu cukup pintar sebagai anak kecil. Namun sayangnya, aku bukan seorang petualang ataupun bangsawan. Aku hanya seorang pria tua yang mengembara ke berbagai tempat untuk menyia-nyiakan waktu panjang yang kumiliki." Dia memalingkan wajah dan menatap langit-langit, wajahnya terlihat sedikit kesepian.
"Pria tua? Tapi paman masih begitu muda, bahkan mungkin seumuran dengan Bibi Violet."
"Itu mungkin benar namun mungkin juga tidak." Pria itu memberikan jawaban yang ambigu, Arcadia yang masih mudah tentu tidak memahaminya, "Apa kamu hanya berdua dengan Bibimu saja, di mana kedua orang tuamu?" Pria itu mengalihkan topik pembicaraannya.
Arcadia menundukkan kepalanya, untuk saat ini pembahasan tentang orang tua masih sangat sensitif untuknya. Selama ini dia berhasil menahan emosi yang ingin menangis dan rasa sakit di dadanya, tetapi dengan pemicu kecil akan mampu meluapkan emosi yang tertahan.
"Bibi Violet adalah semua yang aku miliki."
Saat Arcadia mengatakannya, pria itu terdiam dan menyisakan suasana tidak enak dalam kesunyian yang tanpa makna. Arcadia juga tidak membangkitkan obrolan sampai pria itu mengucapkan kalimat.
"Melihat kondisimu sedemikian rupa, tanpa pakaian dan sedikit luka ... Kamu pastinya orang yang selamat dari kota Sunrise yang hancur kemarin malam."
Arcadia tertegun sedikit karena pria itu mampu menebaknya dengan benar. Kenyataan bahwa pria itu tahu Arcadia tidak menggunakan pakaian sudah cukup menjelaskan bahwa pria itu bisa melihat.
"... Ya, orang tuaku tewas di sana." Arcadia berkata dengan sedih, dia berusaha tetap tegar dengan tidak menangis.
"Aku turut berbelasungkawa. Kunci Kebanggaan, salah satu dari Tujuh Kunci Pleiades yang menyerang tempatmu semalam, tampaknya dia sengaja melepaskanmu dan Bibimu itu."
Mengingat sejarah, Kunci Kebanggaan adalah orang keji yang akan membiarkan beberapa selamat agar mereka membalas dendam kepadanya. Setiap kali ada orang yang berusaha balas dendam, dia akan membiarkannya sekarat dan melepaskannya dengan kondisi menyedihkan. Hobi yang buruk dimiliki oleh makhluk terburuk.
"Apa paman tahu sesuatu tentang Tujuh Kunci?"
Arcadia sudah penasaran tentang mereka sejak saat kemarin malam. Dia tahu bahwa ada makhluk jahat di dunia ini namun tidak pernah terbayangkan kejahatannya sangat luas dengan melakukan pembantaian masal.
"Bisa dibilang, mereka adalah makhluk jahat yang bersenang-senang dengan membunuh dan menghancurkan. Hal itu sudah terjadi sejak empat ratus tahun lamanya."
Empat ratus tahun bukanlah waktu singkat yang bisa dilalui oleh umur manusia. Di waktu yang panjang itu, Tujuh Kunci Pleiades membuat kekacauan tanpa ada satu orangpun yang mengalahkannya.
"Tidak ada yang tahu mengapa mereka menyebut diri sebagai Tujuh Kunci Pleiades. Entah itu kunci, atau Pleiades, misteri tentang mereka tak ada jawabannya."
Mereka mungkin memiliki sejarah panjang lebih dari yang diketahui umat manusia. Bahkan tak ada yang tahu tepat kapan persisnya mereka lahir, manusia hanya tahu ketika Tujuh Kunci membuat kekacauan besar. Terbuat dari apa mereka, atau untuk apa keberadaan mereka. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak pernah terjawab sampai kini.
"Mereka adalah makhluk yang terlahir untuk berbuat jahat. Mempertanyakan alasan mengapa mereka melakukannya tentu tidak berguna."
Orang yang lahir untuk satu tujuan tidak akan membutuhkan alasan apapun karena hanya akan bisa berjalan di satu jalan. Meski ada banyak pilihan, karena sudah ditentukan jalannya maka banyaknya pilihan tidak lagi berguna. Seperti halnya seorang bangsawan terlahir untuk menjadi bangsawan, dan keluarga kerajaan terlahir untuk menjadi Raja.
Arcadia hanya termenung saat mendengarkan kisahnya. Dia tidak percaya bahwa Dewi menciptakan makhluk yang lahir untuk melakukan itu. Tangannya mengepal dengan kuat, Arcadia tidak bisa menerimamu kenyataan bahwa orang tuanya tewas untuk alasan yang sangat remeh.
"Aku sudah terlalu lama di sini. Sepertinya membutuhkan waktu lebih lama untuk pemilik kembali." Pria itu kembali menengadah ke langit-langit seolah memperhatikan sesuatu dari balik kayu tersebut.
Arcadia ikut menengadah dan mendengar suara sesuatu yang sedikit berdecit, dia tidak tahu apa itu namun tidak juga peduli. Pria itu mulai bangkit dan berjalan menuju keluar, di tengah jalan dia berhenti dan mengatakan:
"Aku akan memberikanmu peringatan kecil, bocah."
"Peringatan?" Arcadia sedikit memiringkan kepalanya dan menggumamkan kata itu.
"Kamu lebih dari apa yang kamu bayangkan namun kurang dari apa yang dibayangkan orang. Tetaplah berhati-hati karena baik itu takdir ataupun bahaya, keduanya sangat mencintaimu."
Selesai mengatakan itu, angin kencang berembus dari jendela, Arcadia menutup matanya selama beberapa detik dan begitu membuka kembali, pria itu sudah menghilang dari toko seolah tidak pernah ada.
Arcadia hanya menggaruk kepalanya dengan bingung, ada banyak hal yang tidak dia mengerti di dunia ini dan tindakan pria itu adalah salah satunya.
"Apa Bibi masih lama? Ini sudah lebih dari tiga puluh menit."
Dia tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan namun rasanya melelahkan jika harus menunggu lebih lama lagi. Arcadia mulai merasakan sakit di bokongnya karena telah menunggu sangat lama, sampai kini, hampir satu jam sudah berlalu. Ketika dia mulai berpikir untuk naik ke lantai dua, seseorang turun dari tangga.
"Maaf membuatmu menunggu lama, Arcadia."
"Bibi!"
Arcadia melompat dan menghampiri Violet, dia menemukan keanehan karena penampilannya berbeda. Sebelumnya Violet terlihat rapih mulai dari pakaian hingga rambutnya namun sekarang semuanya berantakan. Cara berjalannya juga semakin aneh, dia bersandar pada dinding dan kakinya gemetar seolah tidak kuat berdiri. Selain itu, ada aroma yang tidak dia kenal dan beberapa memar kemerahan di tubuh Violet.
"Apa yang terjadi, Bibi? Pekerjaan apa yang membuatmu sedemikian rupa?"
"Bukan apa-apa. Bibi hanya sedikit ceroboh, kamu tidak perlu khawatir." Violet menunjukkan senyuman, dia mengambil sesuatu dari sakunya dan menunjukkan kepada Arcadia dengan senyuman lebar, "Lihat ini, Bibi mendapatkan banyak uang dengan cepat. Kita bisa makan banyak!"
Arcadia merasa bersemangat melihat enam keping perak yang ada di tangan Violet. Dia sedikit banyaknya memahami nilai uang karena mendiang Ayahnya selalu mengajarkan betapa pentingnya memahami nilai mata uang.
Di dunia ini ada tiga jenis uang berupa perunggu, perak, dan emas. Perhitungannya tidak sulit sehingga bahkan anak kecil seperti Arcadia memahaminya dengan begitu mudah.
seratus keping perunggu akan senilai dengan satu keping perak, sementara seribu keping perak, akan senilai dengan satu keping emas. Mengenai koin emas sendiri tampaknya ada beberapa jenis lainnya namun yang Arcadia ingat hanya ada emas kecil dan besar. Nilai dari satu keping emas besar adalah sepuluh ribu keping emas kecil. Itu bukan jumlah yang bisa dibayangkan oleh rakyat jelata seperti Arcadia.
Violet beristirahat selama beberapa waktu di kedai, pemilik kedai itu juga tidak bermasalah. Dia justru menambahkan kata berupa, "Aku akan menjadi pelanggan saat kamu kesulitan mencari pelanggan lain. Jangan sungkan karena asetmu luar biasa."
Arcadia melihat bahwa Violet sedikit gemetar dan wajahnya suram, dia tidak tahu pekerjaan apa yang dijalani oleh Bibinya itu namun karena dia tidak mengizinkan Arcadia mengetahuinya maka dia tidak menggalinya lebih lanjut.