Arcadia dan Violet melanjutkan perjalanan dan membeli pakaian untuk Arcadia, mereka lalu mencari penginapan dan makan karena perut yang merasa lapar.
Biaya untuk menginap dua hari penuh senilai satu keping perak, sementara makanan murah untuk dua orang bernilai lima puluh keping perunggu untuk makan siang dan malam. Biaya yang dikeluarkan setiap harinya akan sulit karena Violet butuh uang yang lebih banyak. Mau tidak mau dia menyesal menarik tarif murah seharga enam keping perak, karena sesungguhnya mungkin dia mampu mematok harga berkali-kali lipat lebih tinggi.
Namun dia tidak bisa memiliki penyesalan karena apapun itu tak akan ada yang berubah meski dia mengumpat dan menyesal. Prioritas utama saat ini adalah menjaga agar Arcadia mampu hidup dengan damai karena dia membutuhkannya. Dunia membutuhkannya.
'Menjual diriku dan menjadi mainan adalah harga yang kecil untuk dibayarkan. Beban yang akan dimiliki Arcadia, jauh lebih besar dari ini.'
Violet tidak melupakan apa yang dikatakan kakak iparnya. Tentang seorang anak akan memberikan kontribusi besar untuk mengubah dunia ini dan Arcadia mungkin adalah anak yang dimaksud. Namun apakah Arcadia anak dalam ramalan atau bukan, tidak ada yang bisa menentukannya.
Bisa saja ada orang lain yang dimaksud, tetapi Violet tak masalah seperti apa Arcadia di masa depan. Menjaganya untuk tetap hidup dan tersenyum adalah prioritas utama.
Saat ini malam hari, karena satu penginapan murah hanya menyediakan satu tempat tidur, Violet harus berbagi kasur dengan Arcadia. Keduanya tak keberatan, bahkan Arcadia sekarang tidur dengan nyenyak di pelukannya.
"Kamu anak yang manis namun sayang dicintai masalah." Violet mengelus kepalanya dengan lembut, air mata mengalir melalui pipinya.
Melihat wajahnya yang masih muda, sudah semestinya dia menjalani hidup menyenangkan penuh senyuman sebagai anak kecil. Namun semua itu dihancurkan oleh Kunci Kebanggaan.
'Hari-hari damai di mana Arcadia bisa bersenang-senang sesuai dengan umurnya, apakah hari-hari itu bisa kembali?'
Bisa kembali atau tidaknya, Violet ingin membuat hari itu menjadi nyata. Mimpi terbesar yang saat ini ingin dia gapai adalah membahagiakan Arcadia. Tidak hanya sekedar menjalani amanat kakak perempuannya, tetapi tindakannya ini sungguh-sungguh berasal dari lubuk hati terdalam.
Dia benar-benar ingin melihat Arcadia menjalani hari damai dan bahagia. Meskipun dunia memanggil namanya dan meminta bantuan, Violet hanya akan tutup telinga dan membiarkan Arcadia mengambil jalan yang ingin dia pilih.
'Kakak bilang, suatu saat akan ada pria yang datang dan membimbing Arcadia. Ketika waktunya tiba, akan kuserahkan pilihannya padamu tanpa mendorongmu untuk pergi.'
Manusia bebas menentukan takdirnya sendiri tanpa terkecuali Arcadia. Violet tidak akan memaksakan kehendaknya, mungkin tindakan ini terlihat egois namun dia yakin kakak ipar dan kakak perempuannya akan memaafkannya. Ini semua untuk kebahagiaan Arcadia.
"Jangan tinggalkan aku sendirian ... Bibi."
Arcadia mengigau dan memeluk Violet, dia terlihat sedikit menangis. Entah apa yang dia mimpikan.
Violet menyeka air matanya dan tersenyum penuh kasih sayang, "Aku berjanji tidak akan meninggalkanmu, bila ada itu akan jadi kamu meninggalkanku. Pilihlah jalanmu sendiri, jika itu membuatmu bahagia, Bibi tidak masalah sama sekali."
Violet memberikan kecupan di keningnya. Dia memutuskan untuk menghalalkan segala cara untuk membeli kebahagiaan Arcadia. Sekalipun dirinya menjual diri dan menjadi mainan pria, Violet akan sukarela menjalaninya.
Hal semacam itu adalah biaya yang murah untuk membeli kebahagiaan Arcadia.
Di siang harinya Violet dan Arcadia berkeliling kota, mereka mencari pekerjaan lain karena Violet tak putus harapan untuk melakukan pekerjaan lain namun karena tidak kunjung mendapatkannya, dia yakin perkataan pemilik kedai sebelumnya benar. Tidak peduli ke mana dia melangkah, pada akhirnya apa yang bisa dia lakukan hanya menjual tubuh.
Ekonomi kota ini sedang kritis dan tentunya meminimalkan pengeluaran adalah jalan yang diambil kota serta penduduknya. Baik pedagang atau pembeli membatasi anggaran mereka.
Mereka mencapai tengah kota, di mana terdapat air mancur cantik di tengah-tengah dengan patung ikan melompat yang mengeluarkan air dari mulutnya. Jalanan yang teraspal dengan baik dan suasana menyegarkan membuat tengah kota ini terlihat tentram. Selagi terpesona dengan suasana kota, sebuah bola meluncur dan berhenti tepat di depan kaki Arcadia.
Arcadia sontak mengambilnya dan menemukan anak-anak berlari menghampirinya.
"Hey, lemparkan bola itu kemari!"
"Jika mau kamu boleh bermain bersama kami!"
"Ya, ayo bergabunglah!"
"Semakin ramai semakin menyenangkan!"
"S-silahkan."
Arcadia hanya terdiam dan menatap mereka, Violet menyadari Arcadia ingin bermain bersama mereka. Namun anak ini memang memiliki sikap lebih dewasa dari seharusnya, mungkin karena kejadian sebelumnya membuat Arcadia tidak ingin berpisah dengannya.
Jika seperti ini terus, kelak di masa depan Arcadia akan terbelenggu dan tidak mampu jauh dari sisinya. Violet perlu menghindari situasi semacam itu.
"Arcadia, kamu bermainlah bersamaan mereka. Bibi ada pekerjaan dan akan membosankan bagimu untuk menunggu." Violet mengelus lembut kepala Arcadia.
Arcadia menengadah, raut wajahnya tampak khawatir, "Apa tidak apa-apa? Bibi tidak akan pergi selamanya, kan?"
"Bibi janji akan kembali secepat mungkin. Kamu tunggulah di sini dan jangan nakal. Bermainlah yang rukun bersama anak-anak lainnya."
"Terima kasih, Bibi!" Arcadia tersenyum cerah dan berlari menghampiri anak-anak lainnya.
Violet tersenyum hangat saat melihat Arcadia mulai bermain. Dia tak membuang waktu dan pergi ke suatu tempat. Violet menghindari tempat ini sebelumnya karena ada Arcadia namun karena dia sendiri sekarang, Violet memberanikan dirinya untuk datang. Sebuah tempat khusus di mana para wanita menjual tubuhnya, rumah bordil.
"Permisi. Bisakah aku mendapat sebuah pekerjaan?"
Wanita yang berdiri di depan yang tampaknya adalah penerima tamu terlihat terkejut saat Violet menanyakan pekerjaan.
"Eh. Kamu yakin tak salah tempat melamar pekerjaan di sini? Ini rumah prostitusi, tidak ada pekerjaan normal yang mungkin kamu cari." Dia terlihat meragukan bahwa Violet benar-benar melamar di sini, sangat langka bahwa gadis cantik sepertinya melamar menjadi pelacur.
"... Saya yakin tidak salah. Mohon berikan saya pekerjaan." Violet sekali lagi memohon dan kali ini dia membungkukkan kepala, hal ini dia pelajari dari kakak iparnya. Membungkuk saat membuat permohonan adalah hal yang khas di kerajaan sakura.
"Kalau begitu baiklah. Mohon ikut aku untuk menemui Mifune-sama."
"... Ya."
Violet mengangguk dengan sedikit enggan. Pekerjaan yang tidak diinginkan olehnya sama sekali namun harus dia lakukan jika tidak ingin membuat Arcadia kesulitan untuk hidup.
Mereka tiba di sebuah ruangan dengan lampu yang redup. Violet diminta duduk dengan lututnya dan menghadap bayangan seorang pria yang berada di balik dinding shoji. Dari bayangan yang terpancar pria itu tampak kurus dan memiliki gaya rambut unik yang kerap disebut chonmage.
"Kamu yakin ingin melamar pekerjaan di sini?" Suara lembut seraya bertanya untuk kepastian.
"Ya, Tuan. Saya ingin melamar pekerjaan di sini."
Dinding Shoji di geser dan orang yang dipanggil Mifune-sama keluar namun Violet tak mampu melihat jelas wajahnya karena gelap. Mifune berjalan mendekat dan berdiri tepat di hadapan Violet dalam diam.
"Kamu menggunakan Kimono yang mana tidak seharusnya ada di kerajaan ini. Apa kamu berasal dari Kerajaan Sakura?"
Kerajaan Saphire tidak memiliki pakaian seunik ini karena perbedaan budaya yang sangat mencolok, bahkan tempat hiburan seperti rumah bordil bukanlah sesuatu yang benar-benar dimiliki Kerajaan Saphire, melainkan Kerajaan Sakura.
"Tidak, Tuan. Saya mendapatkan pakaian juga sedikit pengetahuan budaya Kerajaan Sakura dari mendiang kakak ipar saya. Beliau telah mengelilingi banyak tempat dan rupanya Kerajaan Sakura adalah tempat kesukaannya. Pakaian ini juga hadiah dari beliau."
Mifune tampak puas dengan jawaban Violet dan tersenyum, dia kemudian berjalan mundur ke tengah ruangan dan duduk sila.
"Kamu memiliki wajah yang cantik dan anggun. Meski tidak berasal dari Kerajaan Sakura, kamu memiliki kecantikan yang bahkan melebihi wanita kelahiran sana. Aku bisa menjadikanmu Oiran. Kamu akan memiliki penghasilan besar ketimbang pelacur biasa namun ada beberapa hal yang kamu perlukan seperti pendidikan untuk acara-acara tertentu. Apa kamu bersedia melakukannya?"
Violet tidak yakin dengan Oiran namun sepertinya ada tingkatan tertentu bahkan diantara para pelacur di rumah bordil ini. Meski pekerjaannya tidak pernah diinginkan Violet namun karena bayaran besar dia tidak bisa menolak. Sekali lagi akan dia katakan dengan tegas bahwa semua ini untuk Arcadia.
"Saya bersedia, Tuan."
Mifune mengangguk puas dan melipat kipasnya, "Kalau begitu pertama-tama, lepas pakaianmu dan hibur aku. Kamu harus berinisiatif karena Oiran harus bersikap demikian."
Violet melebarkan matanya, gemetar dan menggigit bibirnya. Dia seharusnya tidak lagi terkejut dengan hal ini namun tetap saja sulit untuk terbiasa. Perlahan dia melepaskan pakaiannya dan berdiri, kemudian mendekati Mifune.
"... Baik, Tuan." Violet melepaskan Yukata yang digunakan Mifune dan mulai melakukan hal-hal yang membuatnya lebih ingin memilih mati.