Chereads / Tujuh Kunci Pleiades / Chapter 2 - Kunci Kebanggaan

Chapter 2 - Kunci Kebanggaan

Menatap kepergian adik perempuan dan anaknya sampai tak lagi terlihat, Marin bergegas pergi. Sepanjang jalan dia menemukan mayat, mayat, dan mayat. Ada mayat wanita, ada juga pria, manula dan anak kecil tidak terlewatkan. Marin melihat mayat anak kecil yang utuh, dia membawanya dan menyembunyikan wajahnya dengan kain lalu berlari ke arah yang berlawanan dari Violet dan Arcadia.

Gema dari benturan sihir dan pedang terdengar dari tengah kota, pertarungan Ferdinand dengan Kunci Kebanggaan masih berlangsung selama beberapa saat sebelum semuanya menjadi hening.

"Wanita itu di sana! Tangkap dan bunuh wanita itu serta anaknya!" Seorang Iblis berteriak dan memerintahkan anak buahnya.

Monster Goblin hingga Ogre mengejar Marin dengan ganas dan air liur yang mengalir dari mulut mereka. Dorongan kuat untuk membunuh dan menyantap buruan tak lagi tertahankan.

Marin terus berlari dari kejaran monster dan Iblis, sihir dan anak panah mengejarnya tanpa henti. Beberapa mendarat di punggungnya, dia menjerit tetapi tidak menghentikan langkahnya. Jalannya mulai terhuyung-huyung, memanfaatkan pepohonan untuk mempersulit para pengejarnya. Tak lama, sihir besar menghancurkan jalan di depannya, pelariannya diblokir.

"Kalian suami istri yang sangat menyusahkan." Hanzo muncul dari udara, di tangannya terdapat tubuh seorang pria yang perutnya memiliki lubang dan dilemparkan ke Marin.

"Sayang!"

"M-Marin ... Mengapa kamu ada di sini? Sudah kubilang ... Larilah bersama putra kita."

Pria itu adalah Ferdinand, suami tercinta Marin. Pria yang seorang kriminal, pemburu naga dan pejuang hebat. Di depannya kini mengalami kondisi sekarat dan hendak menuju alam selanjutnya. Pria yang kuat itu dikalahkan dengan mudah oleh Hanzo, hal itu membuktikan kekuatan besarnya. Cukup kuat sampai-sampai nyaris mustahil membunuhnya.

"Kamu melakukannya dengan baik manusia, datang ke sini sebagai umpan." Hanzo memainkan jarinya dan menarik anak yang ada di pelukan Marin.

Jelas bahwa anak itu adalah mayat yang tidak diketahui, Hanzo menghancurkannya berkeping-keping tanpa pernah menyentuhnya. Tatapannya beralih kepada pasangan suami istri yang berpelukan di akhir hidupnya.

"Di mana ... Putra kita?"

"Tenang saja. Dia pasti akan selamat." Memeluk Ferdinand, Marin menangis sedu dengan senyuman di bibir, "Sangat disayangkan, kita tak bisa bersamanya ketika dia tumbuh."

"Tak apa ... Selama dia selamat ... Aku senang."

Mereka puas dengan hanya keselamatan putranya, bahkan ketika nyawa diujung tanduk tidak ada penyesalan atau rasa takut akan kematian. Sejak awal mereka sadar bahwa kematian pasti akan datang. Yang hidup akan mati, dan yang mati pernah hidup.

Dunia ini tercipta oleh siklus menyedihkan di mana yang bernyawa akan binasa. Awal pasti akan menjumpai akhir. Dan tatkala semua siklus terus berputar-putar, prahara ini takkan pernah berakhir. Sistem di mana kehidupan akan lahir dan kehidupan akan mati tidak akan pernah bisa diputuskan.

"Ini menggelikan. Hanya untuk melindungi seorang bocah kalian mengorbankan banyak nyawa."

Hanzo mendarat dan menatap pasangan suami-istri tersebut tanpa emosi khusus, malah tatapannya terkesan menatap sesuatu yang menjijikan juga rendahan. Tatapan yang seolah-olah menganggap semua kehidupan kecuali dirinya adalah sesuatu yang kotor.

"Hahaha ... Dan hanya untuk seorang bocah ... Kamu mengejar kami ... Selama lima tahun." Ferdinand tertawa kecil namun tindakannya membuatnya memuntahkan darah.

"Kamu takkan pernah bisa melakukan apapun lagi. Ini akhir bagimu." Marin berkata dengan senyum kemenangan meski air mata menghiasi.

Pertaruhan mereka akan memiliki arti besar untuk masa depan. Kemenangan dari taruhan yang mereka buat adalah dengan keselamatan nyawa Arcadia. Tak masalah banyak orang mati, tak masalah seberapapun besarnya kehancuran, dan tidak masalah seberapa besar dosa mereka untuk hal ini. Selama Arcadia selamat, kemenangan dari pertaruhan ini sudah dijamin. Sisanya hanya akan bergantung pada arus takdir yang terus berjalan.

"Sepertinya kalian salah paham. Aku tidak mengejar karena takut atau khawatir tetapi karena bosan."

Perkataan yang cukup membingungkan dan memancing keterkejutan. Melakukan pengejaran besar selama bertahun-tahun, tak terhitung seberapa banyak nyawa yang melayang dan tanah yang hancur dalam prosesnya, tidak peduli bagaimana orang melihatnya, pengejaran itu jelas didorong oleh hal besar.

Tetapi baik Ferdinand atau Marin salah paham akan satu hal. Di hadapan mereka, sosok yang mengejar mereka selama lima tahun tanpa kenal lelah adalah anomali di dunia ini. Apakah anomali sepertinya mampu bertindak sesuai dengan akal sehat?

"Selama empat ratus tahun ini ada begitu banyak manusia dungu yang terjalin erat dengan takdir. Hanya karena terhubung dengan takdir, apa yang patut disombongkan, mengapa harus dikhawatirkan, kenapa pula aku harus takut. Manusia dasarnya adalah makhluk lemah. Kalian selalu membuang kebanggaan dan menjilat diantara orang kuat dan orang berkuasa. Harta, tahta, bahkan kuasa. Makhluk menjijikkan seperti kalian hanya berputar-putar diantara hal tersebut. Enak, sungguh enak melihat kalian karena aku bisa melihat sisi menjijikkan itu. Aneh, sungguh aneh karena kalian memiliki kebanggaan diri atas hal yang tidak benar-benar pernah kalian miliki. Tak tahan, sungguh tak tahan melihat kalian bertingkah seperti penguasa hanya karena berada di puncak rantai makanan diantara makhluk lemah lainnya."

Di matanya segala makhluk adalah noda kotor dan menjijikkan. Akal sehat takkan mampu menjelaskan atau menduga tindakan dari Tujuh Kunci sepertinya. Orang yang berada di puncak kekuatan takkan pernah merasa khawatir kepada orang yang bahkan tidak mencapai puncak.

"Tak peduli seberapa besar takdir mencintai anak itu. Dia tetaplah manusia, tetap seorang bocah. Apa yang perlu aku takutkan? Orang sekuat diriku, jika serius mengejarnya takkan butuh waktu lama. Aku bisa menghancurkannya tanpa harus bersusah payah. Hanya jika kulakukan maka kesenangannya berakhir, dia takkan menjadi menderita jika begitu keadaannya. Bodoh, sungguh bodoh karena kalian memiliki pemikiran bodoh dan tolol, hahaha!"

"Kamu ... Makhluk yang kejam!"

Mereka harus ingat satu hal, jika Tujuh Kunci bukan makhluk yang kejam maka selama empat ratus tahun mereka tak akan menjadi musuh besar yang ada di dunia ini. Karena mereka kejam mereka diburu, dan karena mereka kejam dunia ini mengutuk keberadaan mereka.

Memangsa atau dimangsa. Di dunia ini yang kuat akan memangsa yang lemah, dan yang kuat akan menginjak-injak dengan sikap penguasa mutlak. Tujuh Kunci berada di puncak kehidupan sejak empat ratus tahun lalu sampai detik ini. Mereka adalah pemangsa yang tidak memiliki pemangsa, karena mereka berada di atas segalanya.

"Nikmat, sungguh nikmat untuk menyaksikannya makhluk bodoh berjuang keras hanya untuk balas dendam. Membiarkannya sekarat, bangkit, sekarat, bangkit, sekarat lalu bangkit lagi dan mati. Bahkan jika dunia ini mendukungnya dia takkan mampu membunuhku karena aku yang terkuat."

Kunci Kebanggaan akan memiliki kebanggaan yang tidak tergoyahkan. Baik Ferdinand ataupun Marin tahu, makhluk di depannya adalah sosok paling tidak masuk akal di dunia ini. Sejak awal sudah kesalahan mencoba menggunakan akal sehat kepadanya.

"Suatu saat ... Di masa depan yang jauh—" Ferdinand berkata lalu terhenti karena rasa sakit namun Marin segera melanjutkannya.

"—akan muncul orang yang menghancurkan kebanggaanmu. Dengan kedua tangannya, dia akan memutar balikkan dunia!"

Tanpa kata-kata lain untuk diucapkan, pasangan tersebut saling memeluk dan mengabaikan makhluk di depannya. Mereka yakin akan jaminan kematian ini namun mereka lebih yakin bahwa hubungan yang didasari pada ikatan cinta dan keluarga tak akan pernah putus sekalipun mereka berada di alam yang berbeda. Mereka percaya pada masa depan bahwa Arcadia akan menciptakan perubahan. Tak masalah apakah dia anak yang diramalkan atau bukan, maka biarlah waktu yang membuktikan.

"Jangan ... Bersedih. Kita akan menyaksikan ... Arcadia, bersama-sama." Air mata mulai jatuh, Ferdinand mendekatkan diri dan mencium lembut istrinya.

Sampai akhir hayat Marin dan Ferdinand tidak menunjukkan penyesalan. Jika ada, itu hanya penyesalan karena tidak mampu membesarkan dan melihat Arcadia tumbuh, dan penyesalan lainnya adalah telah membiarkan Violet mengemban semuanya, dan Arcadia harus hidup tanpa cinta orang tuanya.

"Sampai akhir kalian menjijikkan."

Tanpa kata di waktu yang tak lagi bermakna, kegelapan keluar dari tangan Kunci Kebanggaan, Hanzo, dan menelan mereka ke dalam pelukan dingin kematian.