Aku juga langsung mengeluarkan pedang dari sarangnya. Mempersiapkan kuda-kuda sebelum laki-laki itu melancarkan serangannya. Peri-peri menahanku, berbisik jika dia tidak bermaksud jahat. Tapi pedang yang mengarah kepadaku tidak berkata seperti itu.
"Jadi kau yang membunuh semua naga-naga di sini?"
Aku mengangguk. Masih menatap tajam ke arahnya.
"Seberapa banyak?"
Tanganku membentuk isyarat dua puluh.
"Kau mengalahkannya sendirian?"
Aku mengangguk. Ada rasa takjub terpancar dari wajahnya.
"Maukah kau merahasiakan kejadian malam ini dan mengatas namakan saya Panglima Sutar sebagai penyelamat dari desa ini?" Kini dia membentuk sebuah senyuman yang dibuat-buat. Bukan sebuah senyuman tulus. Berharap aku akan menuruti perintahnya.
"Apa yang kau mau? Harta? Bahan makanan? Kami membawanya di empat kuda itu." Dia menunjuk kuda-kuda yang berada di belakang barisan.
Saudagar langsung datang, berdiri di sampingku. "Apa untungnya kau yang mengambil alih semua ini?"
Panglima Sutar menatap rendah ke arah saudagar. "Saya tidak berbicara selain kepada Pendekar ini."
"Aku akan menjadi juru bicaranya. Dia tidak bisa berbicara. Kau akan kesusahan berbicara dengannya. Kau tidak akan paham dengan gerakan tangannya."
`Tidak ada waktu untuk mengurusnya.`
Panglima Sutar menatapku seolah tidak percaya. Kedua matanya melihatku dari atas ke bawah, lalu berhenti di kedua tanganku yang sedang memberi isyarat ke saudagar. Lelaki tambun itu berdiri menantang orang yang memakai zirah di seluruh badannya itu.
"Aku tidak bisa melepas kau begitu saja. Lihatlah dia sudah kelelahan dengan pertarungan ini. Kau dengan seenaknya mengatakan kalau kau yang menyelamatkan orang-orang di sini." Saudagar menunjuk batang hidung Panglima Sutar. Pedangnya masih mengarah kepadaku.
"Apa yang kau inginkan? Saudagar seperti kau bukankah tertarik pada emas?" Laki-laki dengan jubah yang kebesaran itu menunjuk empat kudanya.
"Aku bukanlah saudagar seperti itu. Aku sama sekali tidak tertarik dengan emas yang kau sebut itu. Jangan berharap bisa menyuapku dengan benda-benda duniawi."
"Lalu apa yang kau inginkan?"
"Pergi dari sini. Kalian Para Penguasa tidak berhak berada di sini. Kau seharusnya berterima kasih kepada pemuda ini yang sudah menyelamatkan desa ini, bukan memintanya untuk mengakui menyelamatkan desa ini. Lagipun kau hanya mengenakan jubah panglima tanpa tahu apa makna dari jubah yang kau pakai itu sendiri."
Panglima Sutar menurunkan pedangnya, kemudian menatap tajam ke arah saudagar. Genggaman tangannya kian erat. Giginya bergemeletuk, terdengar keras. Lelaki itu dipermainkan oleh seorang saudagar yang tidak jelas asal usulnya.
`Jangan terlalu lama berbicara dengannya. Tidak ada gunanya, kita juga bukan pahlawan. Lebih baik pergi dari sini.`
"Meskipun pemuda ini tidak bisa berbicara, dia masih punya harga diri. Tidak seperti kau, Para Penguasa hanya bisa menerima dari apa yang dilakukan rakyatnya. Lalu mengakui kalau semua perbuatan rakyat adalah buah pikir Penguasa. Dimana letak isi kepala dan hati nurani mereka sebagai manusia?
"Lalu apa untungnya pula kau datang kemari sekarang. Desa ini diserang naga saat tengah malam, bukan pagi. Kalau kau memang peduli dengan rakyat, harusnya kau datang kemari lebih awal. Membantu mereka mengatasi permasalahan melawan naga-naga yang datang entah dari mana. Bukan datang untuk melakukan hal yang sering dilakukan orang-orang pengecut seperti kau."
Aku menatap saudgar. Tidak percaya atas apa yang dikatakannya. Terlalu kejam, tapi apa yang dikatakannya ke Panglima Sutar adalah kebenaran. Dia memang tidak ada gunanya berada di sini sekarang selain hanya menggertak seperti anjing yang menggonggong. Tapi tidak ada gunanya juga saudagar bersilat lidah dengan bawahan Para Penguasa itu. Lelaki tambun itu hanya memperlama perjalanan. Padahal untuk tiba di Kampar, tidak akan sampai tengah hari.
Mereka berdua masih berseteru. Panglima itu tidak lagi berbicara denganku. Bahkan anak buah dari Panglima Sutar sudah berdiri di dekat laki-laki yang memakai zirah itu. salah satu di antara mereka sedang menahan tangan Panglima yang sedang memegang pedang. Membawa Panglima mereka untuk merapat ke arah pasukan berkudanya. Wajah Panglima itu begitu masam. Entah apa yang dikatakan oleh saudagar kepadanya sehingga pedang yang di tangannya ingin memenggal kepala saudagar.
"Tidak bisakah kita mengambil keputusan yang terbaik untuk sekarang ini?" Panglima berkata sambil pedang masih terarah ke saudagar yang berdiri dengan santai, seperti tidak terjadi apa-apa. Atau dia sudah sering berada di situasi seperti ini. Panglima itu masih di tamengi oleh anak buahnya yang sibuk melerai dua orang itu.
"Keputusan terbaik? Tidak bisakah kau mengerti dari kata-kata yang kau ucap dari mulutmu sendiri? Dimana letak terbaiknya? Kau mengambil keuntungan dari apa yang tidak pernah kau perbuat. Kau boleh melakukan kegiatan pecundangmu ke orang lain, tapi jangan kepada dia. Tidak bisakah kau meniru dia. Sikapnya tidak ada apa-apanya dibandingkan kau yang sudah bergelar Panglima. Apa benar kau adalah Panglima Para Penguasa? Atau kau mendapatkan gelar itu dari hal yang, kau tahulah maksudku apa."
Panglima sekuat tenaga melepaskan diri dari pegangan anak buahnya. Dia naik pitam. Tidak peduli jika ada yang jatuh sampai-sampai membuat salah satu kuda terkejut untuk kemudian kaki depan kuda menghantam dada anak buahnya yang sedang tersungkur. Teriakan kesakitan terdengar keras bersahutan dengan suara kuda. Laki-laki itu terpental dan mendarat dengan darah banyak keluar dari mulutnya. Teman-temannya berusaha menolong laki-laki yang sedang memegang dadanya dengan erat. Napasnya tersengal. Suara teriakan ketakutan kian terdengar.
Panglima Sutar tidak peduli apa yang terjadi di belakangnya. Dia tidak peduli. Langkah kakinya cepat menuju saudagar. Tangan kanannya mengenggam pedang dengan sangat erat. Pandangannya tajam menatap saudagar. Harga dirinya sebagai seorang Panglima sangat dipermainkan oleh saudagar. Wajahnya berkata demikian. Tapi aku tidak bisa melihat dia menyerang saudagar. Ini tidak dibenarkan. Ini mesti diselesaikan dengan cepat. Terlalu lama berada di tempat ini tidak baik. Orang-orang yang melihat berteriak ketakutan.
Sebelum pedang panjang Panglima Sutar berada di leher saudagar, aku menangkis serangannya. Dia sedikit terkejut dengan kehadiranku yang tiba-tiba. Dia mundur selangkah. Membuat kuda-kuda.
"Kau mestinya menjaga mulutmu itu, rakyat jelata. Tidak ada sopan santunnya kau ke Para Penguasa. Kalau kau berani, berdiri di depanku. Jangan berlindung di balik punggung orang lain."
Aku menatap Panglima Sutar. Kau berhadapan denganku.
"Baiklah, aku tahu siapa yang pengecut sekarang."
Panglima Sutar berlari ke arah belakangku. Dia masih saja mengincar saudagar. Dia tidak menghiraukanku sedikitpun. Saudagar berusaha mengelak dari serangan yang diberikan oleh laki-laki berzirah. Tidak ada senjata atau benda yang dipegang saudagar untuk memberikan perlawanan untuk Panglima itu. Sambil berlari, aku berusaha mengincar pedang yang sedang berayun mengarah ke perut saudagar. Laki-laki itu sedikit hilang keseimbangan, untuk kemudian dia masih bisa berdiri, mempersiapkan kuda-kuda lagi.
Dia kembali berlari mengejar saudagar. Aku mengejarnya sambil menunggu kesempatan untuk melancarkan serangan. Saudagar tersudut. Tidak ada jalan di depannya selain tumpukan kayu yang sudah hitam. Panglima Sutar tersenyum penuh kemenangan lalu mengagkat pedang. Kembali mengincar kepala saudagar. Sebelum pedang itu benar-benar memenggal kepala saudagar, suara besi beradu terdengar nyaring. Besi panjang itu telepas dari genggaman Panglima. Pemilik pedang itu kian terkejut dengan apa yang terjadi. Tubuhnya yang kehilangan keseimbangan terjatuh di tumpukan kayu.
Kini pedang yang aku genggam mengarah ke lehernya dengan tubuh tak berdaya.
Sudah jelas kemenangan berada di pihak siapa.