Tubuhku meliuk di antara puing-puing rumah. Berputar. Bergerak cepat. Sesekali menghindar dari semburan api. Ketika salah satu naga datang mendekat, aku melompat. Berusaha mengincar lehernya untuk kemudian ditebas. Bagian atas dengan badan naga itu terpisah. Darah hijau keluar dengan sangat deras lalu itu semua berubah menjadi uap.
Naga itu masih tersisa sepuluh ekor.
Aku menyeka keringat. Menatap naga-naga itu satu per satu. Mempersiapkan kuda-kuda, mengatur napas, dan mengenggam pedang erat. Menunggu kedatangan mereka.
Ketika mereka menyemburkan api, aku memotong lehernya. Tubuhnya jatuh ke tanah dengan keras. Membuat pijakanku sedikit bergetar. Pada saat naga mati itu menguap, aku berlari di antara asap untuk kemudian menyerang seekor naga yang sedang lengah. Satu naga lagi tumbang.
Aku melakukan pada semua naga ini ketika ada kesempatan. Saat kesempatan untuk membunuh naga itu ada, aku melakukannya dengan cepat. Sangat cepat. Dalam sekali serangan atau membuat kesempatan lain untuk menyerang kembali. Tidak ada serangan kedua. Naga-naga itu selalu berkumpul sehingga sangat susah untuk membunuh mereka.
Ada dalam satu waktu aku berusaha memecah kumpulan mereka. Aku berlari dari ujung untuk memancing dua tiga ekor naga. Lalu berlari di antara reruntuhan rumah hingga ke ujung satunya, berharap bisa memancing perhatian naga seperti tadi. Tapi itu tidak bisa. Naga-naga itu tetap bergerombolan menuju tempat pertamaku dan kini mereka mengejarku dengan berkumpul juga.
Sayangnya hal itu gagal. Mereka tidak tercerai berai seperti yang aku duga. Mereka tidak akan meninggalkan satu naga pun meskipun sedang bersama. Mungkin mereka tahu jika aku masih ada di sini untuk membunuh mereka semua.
Aku berusaha mengatur napas lagi. Tinggal delapan ekor naga lagi. Tapi mereka sangat liar. Bahkan tadi ada satu ekor naga berusaha menyerang orang-orang yang kabur. Beruntung aku sempat menebas lehernya sebelum naga itu menyemburkan apinya. Orang-orang itu sangat ketakutan. Peri-peri yang berada di sana menangkupkan tangan. Mengucapkan beberapa kata.
"Semoga mereka diampuni Para Penguasa. Rip."
Dengan naga yang tersisa delapan ekor aku berusaha mengalahkan mereka dengan tenaga yang tersisa. Aku tidak tahu sudah berapa lama melawan naga-naga ini. Apakah aku akan bertempur sampai mati?
***
Ketika semburat kuning mulai muncul di ufuk timur, beberapa cahaya lentera mulai meredup bahkan satu dua sudah padam. Pertanda pagi akan datang. Saat itu naga yang aku hadapi tinggal satu ekor. Padahal aku yakin sudah membunuh kedua puluh naga yang muncul di tempat ini. Entah bagaimana satu ekor naga muncul. Apakah dia datang dari tempat lain?
Aku tidak tahu.
Naga terakhir ini gerakannya lambat dan semburan apinya tidak terlalu banyak seperti naga-naga lainnya yang sudah aku bunuh. Ukurannya memang besar tapi naga ini lamban. Sangat lamban. Saat naga itu datang aku bisa melihat kesedihan di matanya. Bukan keganasan. Apakah dia sedih lantaran naga-naga lainnya sudah mati atau ada hal lain yang dipikirkannya? Apakah naga bisa berpikir mengenai perasaan?
Aku tidak tahu.
Leher naga itu putus dengan sekali tebasan. Tubuhnya jatuh, tanah bergetar, lalu semuanya menguap. Di balik asap itu aku muncul, berjalan ke arah bukit tempat orang-orang itu berlindung dari serangan naga. Peri-peri itu tampak bahagia dengan berakhirnya pertarungan melawan naga. Makhluk kecil bercahaya itu mengelilingiku. Ada dua puluh satu peri. Mereka semua sangat kecil dan rapuh. Seperti nyamuk. Ingin rasanya aku menepuknya seperti menepuk nyamuk tapi urung. Kebahagian dan kesenangan terpancar dari sana.
"Terima kasih telah menolong kami. Terima kasih. Kau adalah pendekar kami."
Sesaaat mereka mengucapkan kata pendekar tubuhku dikungkung cahaya keemasan. Berpendar-pendar untuk kemudian semua cahaya itu berkumpul ke pedang yang sedang aku genggam. Senjata tajam itu masih sama seperti sebelumnya, panjang, lurus, dan kokoh. Tapi dibagian gagangnya terdapat ukiran sulur berwarna emas. Berkilauan, cahayanya mengalahkan cahaya lentera. Dan tunggu….
Pedangku yang berlumuran darah hijau sudah bersih tanpa aku cuci seperti biasa.
Peri-peri itu masih mengucapkan terima kasih. Orang-orang desa mulai mendekatiku. Berjabat tangan bahkan ada yang memelukku lantaran kian senang. Mereka semua mengucapkan terima kasih sudah menolong dari serangan naga. Termasuk perempuan yang membentak pemuda itu. Dia bahkan menangis tersedu. Mengingat anaknya yang mati dimakan naga. Salah satu gadis remaja memberikanku pakaian baru. Kemeja berwarna biru gelap, celana hitam, lengkap dengan jubah hitam.
Aku mencari keberadaan pemuda yang diselamatkan tadi. Dia sudah tertidur setelah kakinya yang putus diobati oleh saudagar. Setelah apa yang dialaminya malam ini dia sangat kelelahan. Malam yang panjang.
Ketika semburat kuning dari ufuk timur mulai besar, kami semua turun dari bukit. Kembali ke desa yang sudah hangus terbakar. Tidak ada jejak naga-naga yang aku bunuh. Orang-orang desa menuju rumah masing-masing yang sudah rata dengan tanah. Berharap masih ada barang-barang yang bisa dipergunakan lagi. Peri-peri ini masih terus mengikutiku.
Suara derap langkah kuda terdengar dari balik pepohonan lain. Makin lama suaranya kian keras. Bebrapa cahaya lentera muncul dibalik pohon. Ada banyak langkah kuda yang datang ke desa ini. Orang-orang yang sedang membongkar puing-puing rumah urung. Mereka semua berkumpul. Bisik-bisik terdengar mempertanyakan siapa yang datang. Apakah mereka rekanku dengan saudgar? Ini jelas bukan, karena kami pergi dari Tambuo dua orang. Tidak ada mengajak siapapun untuk pergi ke Kampar atau desa ini.
Apakah mereka ingin menyerang desa ini?
Aku mempersiapkan kuda-kuda, melihat lentera yang bergerak yang bergerak kemari aku tidak tahu seberapa banyak orang yang akan muncul di balik kegelapan. Peri-peri yang ada di sampingku sangat tenang melihat ke depan. Tidak ada merasa cemas atau takut. Aku yakin jika peri-peri ini bisa berbicara dengan pohon-pohon, jadi mereka sudah tahu orang seperti apa yang datang ke sini. Tapi siapa?
Pertanyaan itu terjawab ketika derap langkah kuda berhenti di depan semua orang-orang desa. Suara kuda memenuhi langit fajar. Ada sekitar empat puluh ekor kuda. Empat di antaranya hanya membawa karung-karung dipunggungnya. Orang yang paling depan dari pasukan berkuda itu turun memegang lentera. Tubuhnya besar, tinggi tampak jelas dari lentera. Perawakannya kurang berwibawa tapi lengan dan tungkainya besar. Bisa dikatakan dia adalah ahli berpedang.
"Tempat ini akan berada di bawah naungan Penguasa!"
Maklumat itu membuat orang-orang terkejut. Mereka berbisik satu sama lain. Dari apa yang mereka ucapkan aku tahu jika Penguasa tidak ada hubungannya dengan tempat ini sudah sejak lama. Bahkan tempat ini bisa dikatakan tidak lagi terjamah oleh dunia luar.
"Bukankah tempat ini diserang oleh naga? Siapa yang mengalahkannya?"
Semua orang menatap ke arahku yang masih bersama peri-peri ini. Laki-laki yang merupakan pemimpin pasukan itu berjalan ke arahku. Sepatu dan pakaian besinya bergemerincing. Jubah yang kebesaran dari badannya berkibar. Cahaya matahari datang menyinari tempatku dan laki-laki berdiri tepat di depanku.
Dia mengeluarkan pedang dari sarungnya dan segera mengarahkannya ke leherku.