Chereads / TIRTA NIRWANA / Chapter 4 - 3 | KITA SEMUA ADALAH IBLIS

Chapter 4 - 3 | KITA SEMUA ADALAH IBLIS

Api yang disemburkan oleh salah satu naga ini tidak terlalu panas meskipun yang bisa aku lihat sekarang adalah putih. Di dekatku pemuda berbadan tegap berteriak kesakitan. Aku mengedipkan mata dengan cepat, berusaha melihat keadaan. Pemuda itu berteriak kian keras di antara kepak sayap-sayap naga.

Aku berusaha membiasakan pandanganku setelah silau dari cahaya api, terlihat rambut pemuda itu terbakar. Entah kenapa api yang berkobar di kepalanya tak kunjung padam dengan angin sekencang kepakan sayap naga-naga ini. Aku melemparkan pakaian ke kepalanya. Berusaha meredam api sebelum menjalar ke badannya.

Naga-naga ini terus menyerang, bergantian sehingga aku bingung hendak mengurus naga yang mana terlebih dahulu atau menyelamatkan pemuda ini. Salah satu naga datang, kepalanya berusaha menabrak ke tubuhku. Aku berhasil melompat dan mendarat di atasnya untuk kemudian mengangkat pedang. Menebas lehernya. Kepalanya putus, menggelinding di tanah. Tubuhnya jatuh dari ketinggian dengan cairan hijau berserakan dimana-mana. Aku melompat sebelum tubuh naga itu terpental, sayangnya tidak mendarat dengan baik sehingga tubuhku ikut terpental.

Satu naga telah mati. Perlahan tubuh, kepala, dan darah hijaunya menguap lalu menghilang. Aku tercekat. Tidak ada yang tersisa dari naga-naga ini.

Aku tidak bisa menikmati keterkejutan mengetahui naga-naga ini mati, lalu menguap tanpa ada sisa satupun termasuk tulang-tulangnya berubah menjadi asap. Naga lainnya juga ikut menyerangku. Kali ini dua ekor naga menyerangku dengan serempak. Satu dari arah depan dan satu lagi dari arah kiriku. Mereka sama-sama menyemburkan apinya. Aku berhasil menaiki naga yang datang dari depan. Naga lainnya yang sedang terbang di atas melihatku lalu juga ikut menyemburkan api. Aku kembali melompat ke tanah. Api mengenai naga lainnya yang juga ikut menyemburkan api karena kesakitan.

Pandanganku teralihkan dari naga ke arah pemuda itu. Kobaran api di atas kepalanya sudah padam. Bajuku masih melekat untuk menutupi rambutnya yang tampak hangus. Dia berlari menuju desa yang sudah terbakar dengan tiga ekor naga mengejarnya. Api menyembur dari belakang pemuda itu. Dia berlari dengan teriakan yang penuh ketakutan.

Aku berusaha mengejarnya, tapi ada naga yang juga menghalangi jalanku untuk menuju ke tempat pemuda itu. Dua ekor naga yang tidak berhasil mengejarku kemali datang dengan membawa empat ekor naga lainnya. Jilatan api berusaha menjangkauku yang sedang melompat di antara naga-naga. Tidak ada kesempatan untuk mengangkat pedang lalu melayangkan tebasan ke salah satu naga ini. Mereka terlalu banyak dan naga-naga ini akan melindungi rekannya jika salah satu di antara mereka sedang terancam.

Aku berhasil melompat lalu mendarat di atas puing-puing rumah. Naga-naga ini masih mengejarku. Salah satu dari naga yang paling depan melayangkan ekornya dan mengenai tumpukan kayu yang sudah menjadi arang. Aku berhasil berdiri di atasnya, mengangkat pedang lalu menebas lehernya. Aku juga ikut terjatuh tapi kali ini berhasil mendarat dengan baik. Naga-naga lain yang melihat rekannya mati dan berubah menjadi uap kian beringas. Meskipun dua ekor nag telah berhasil aku bunuh keberadaan mereka seperti tidak ada habisnya.

Pemuda itu masih tampak berlari dikejar naga dan jaraknya tidak jauh dariku. Dalam asap naga yang mati, aku berlari menuju pemuda itu. Memotong kayu-kayu yang tidak habis dilalap api, berusaha mengecoh naga-naga ini mengenai keberadaanku.

"Tolong aku!" Tubuh tegapnya meringkuk di bawah reruntuhan rumah. Naga yang mengejarnya masih terbang di atas.

Aku menariknya keluar. Melihat keadaannya. Tangan, kaki, dan kepala. Masih utuh. Hanya tubuhnya luka-luka dan rambut yang terbakar tidak sempurna.

"Aku masih sanggup untuk berlari. Tapi terlalu susah untuk pergi ke tempat orang-orang desa pergi. Naga-naga ini terus mengikutiku."

Tunggu sebentar di sini!

Aku tidak tahu apakah dia memahami gerakan tanganku atau tidak. Dia masih diam di dekat reruntuhan tempat aku menemukannya. Pandanganku terpaku pada satu naga di dekatku yang datang menyerang. Aku mempersiapkan kuda-kuda dan meloncat ketika kepalanya datang untuk menyeruduk. Tubuhnya meliuk di udara, ketika sudah sedikit lurus, pedang menebas lehernya. Tubuhnya jatuh. Aku langsung berlari ke tempat pemuda itu. menggenggam tangannya dengan erat. Entah dia siap atau tidak, aku mengajaknya berlari di atas tubuh naga yang mulai menguap.

Beberapa kali aku sempat jatuh karena dia tidak terbiasa berlari di tempat yang licin dan tidak datar. Aku berusaha secepat mungkin berlari mengingat masih banyak naga terbang di atas.

Ketika berada di kepala naga, kaki pemuda itu tersandung di lubang hidung naga. Kami sama-sama terjatuh dan seekor naga langsung mengejar kami. Aku berhasil menarik pemuda itu yang sedang bertertiak ketakutan supaya tidak dimakan oleh naga. Gigi naga itu melewati tubuh bagian bawahnya. Pemuda itu berteriak dengan sangat keras. Raungan kesakitan terdengar memilukan.

Kaki kirinya putus dimakan oleh naga itu. Dia menangis sejadinya.

Aku tidak memiliki kain lagi untuk menutupi lukanya. Darah mengucur deras dari bekas gigitan naga yang tidak rapi. Sebisa mungkin aku menggendong tubuh besarnya supaya tidak jadi santapan naga. Aku berusaha berlari secepat mungkin menuju lentera-lentera yang berada di atas bukit. Memasuki hutan, aku menerabas pepohonan. Satu dua kali tubuhku terhuyung, tersandung tunggul. Pemuda yang aku gendong masih terisak.

Orang-orang menyambut aku dengan tidak ramah, tatapannya begitu tajam. Seolah apa yang aku lakukan sedari tadi adalah sebuah kesalahan.

"Kau lebih baik membiarkannya mati dimakan naga. Nasibnya akan lebih baik jika begitu daripada terus hidup. Dia tidak akan bisa mengembalikan anakku yang telah mati." Seorang perempuan berambut panjang dengan penutup kepala berdiri di depan pemuda itu. Pakaiannya berupa terusan berwarna biru gelap berkibar.

"Bagaimana caranya supaya kau mengembalikkan anakku yang mati? BAGAIMANA?!" Tubuh perempuan itu terduduk. Tergugu dalam isak tangis. Bahunya berguncang hebat. Beberapa perempuan lainnya berusaha menenangkan.

"Oh Maria, kenapa nasibmu begitu menyedihkan. Bapak yang tidak tahu asal usul rimbanya. Hidup melarat, berpangku pada orang-orang yang mengasihani. Dan sekarang kau mencintai orang bodoh. Hidupmu begitu menderita. Ini semua bermuara pada laki-laki biadab itu. Laki-laki iblis. Dan kau juga mencintai laki-laki iblis. Semua laki-laki iblis. Hanya bisa berucap cinta tapi takut mati dengan cinta. Kalau kau tidak pengecut, Maria masih ada di sini. Kalau dia tidak peduli dengan kau, Maria masih bisa aku peluk dengan hangat. Hanya karena kau, anakku dimakan naga di depan mataku sendiri. KAU TAHU ITU HAH? IBLIS?!"

Pandanganku tidak lepas dari desa yang luluh lantak karena api. Naga-naga masih terbang di atasnya. Ibu dari teman pemuda itu masih mengeluarkan sumpah serapahnya. Iblis? Dia menunjuk sesama manusia sebagai iblis. Aku tidak tahu bagaimana caranya dia memandang seseorang. Tidak bisa asal menyebut manusia sebagai iblis. Tidak akan sama. Tidak akan sederajat.

Ketika aku pergi kembali ke desa untuk mengalahkan naga-naga itu, semburan api muncul dari atas. Seokar naga muncul. Pepohonan di sekitar langsung terbakar. Merambat dengan cepat ke pohon lainnya. Semua orang berteriak ketakutan. Peri-peri kembali menangis. Perempuan yang memarahi pemuda itu sedari tadi terlonjak kaget. Dia berlari ketakutan ke hutan lebih dalam bersama lainnya.

Tolong bawa mereka semua ke tempat yang aman. Aku akan menghentikan naga ini.

Saudagar paham dengan melihat gerakan tanganku. Dia dengan sigap mengamankan orang-orang termasuk mengikatkan kain pada luka pemuda itu. Aku mendongak, melihat pergerakan naga. Ketika dia datang aku melompat ke dahan yang terbakar. Berputar. Memegang pedang dengan erat untuk kemudian menebas lehernya. Bunyi naga jatuh terdengar keras. Perlahan tubuhnya menguap. Asap ada dimana-mana.

Aku langsung berlari kembali menuju desa. Mengangkat pedang. Berusaha memancing naga-naga itu untuk mendekat. Menunggu mereka semua untuk mendekat lalu melakukan pembantaian.