"Lebih baik kalian pergi saja. Aku sedang tidak ingin membunuh," kata Li Yong dengan nada datar.
Saat ini, dia sedang merasa gembira karena mempunyai 'sahabat' baru. Karena alasan tersebut, maka dirinya tidak mau melakukan pertarungan.
Walaupun memang kawanan perampok itu menginginkan Ang Ma, tetapi kalau mereka mau menuruti perkataannya, niscaya Li Yong akan benar-benar membiarkan mereka semua pergi.
Tapi benarkah kawanan perampok itu mau pergi dengan tangan kosong?
"Tapi kami ingin membunuh," jawab pemimpin mereka.
"Siapa yang ingin kalian bunuh?"
"Siapa lagi kalau bukan dirimu?" bentaknya sambil mencabut golok tajam yang tersoren di pinggangnya.
Selesai berkata demikian, dia langsung menyuruh tujuh orang anak buahnya untuk melakukan hal yang sama pula.
Delapan batang golok tajam sudah teracung di tengah udara. Batang golok mendadak lebih mengkilap ketika terkena tempaan sinar matahari senja. Pada saat seperti itu, seolah-olah ketajamannya menjadi berlipat ganda.
Li Yong menatap dingin kepada delapan perampok tersebut. Pemuda itu sudah tahu bahwa mereka pasti akan melakukan tindakan semacam ini.
Menghadapi perampok di jalanan hutan seperti saat ini, mendadak dirinya teringat akan peristiwa yang terjadi sepuluh tahun silam.
Peristiwa itu paling menyedihkan. Paling tragis. Tapi peristiwa itu pula yang paling melekat dalam benaknya.
"Baik. Kalau kalian memaksa. Jangan salahkan aku jika tidak ada yang bisa selamat," katanya dengan nada angkuh.
Li Yong segera melompat turun dari kudanya. Pemuda itu menyuruh Ang Ma ke pinggir dan kembali membiarkannya merumput. Sedangkan dia sendiri, saat ini telah berdiri di hadapan delapan orang perampok tersebut.
"Silahkan maju semua," tantang Li Yong tetap dengan sikap tenang dan dingin.
Pemimpin perampok mendengus kesal. Dia kemudian menyuruh tujuh anak buahnya untuk menyerang secara bersamaan. Termasuk pula dengan dia sendiri.
Wutt!!!
Delapan bayangan orang melompat ke depan secara serempak. Delapan batang golok segera diayunkan ke depan. Tanpa tanggung-tanggung, mereka langsung mengincar titik penting di tubuh manusia.
Walaupun kecepatan serangan mereka tidak seperti kilat menyambar, tapi rasanya hal itu saja sudah cukup untuk mencabut nyawa seorang manusia.
Sayangnya, Li Yong tidak termasuk ke dalam jenis manusia yang dimaksud.
Manusia juga ada jenis-jenisnya. Ada jenis manusia yang mudah dibunuh. Ada pula jenis manusia yang sulit dibunuh.
Dan tentu saja pemuda itu masuk ke dalam jenis yang kedua.
Oleh karena itulah, walaupun walaupun serangan kawanan perampok itu berbahaya, tapi bagi Li Yong, hal itu bukan apa-apa. Dengan gerakan sederhana saja, pemuda tersebut sudah mampu menghindari semua serangan lawannya dengan mulus.
Serangan pertama gagal!
Pemimpin perampok semakin marah. Dia berpekik nyaring lalu segera mengeluarkan seluruh kemampuannya. Tujuh anak buahnya tidak mau kalah. Melihat ketuanya mengerahkan seluruh kekuatan, maka mereka langsung mengikutinya saat itu juga.
Delapan batang golok menyerang dengan berbagai gaya. Ada yang menusuk. Ada pula yang menebas.
Bayangan orang-orang itu terus menggulung Li Yong dari segala penjuru. Jurus-jurus golol sudah dilayangkan. Sambaran angin tajam terasa merobek kulit.
Mereka yakin, usahanya yang sekarang pasti akan membuahkan hasil. Apalagi, usaha itu sudah sangat maksimal.
Wushh!!! Wutt!!!
Li Yong mulai melakukan tindakan. Kedua tangannya dikibaskan secepat kilat. Gerakannya seperti orang yang sedang menyibak air.
Kecepatan gerakan itu sulit dibayangkan. Dibandingkan dengan jurus lawan, mungkin kecepatannya masih terpaut sangat jauh.
Trangg!!! Trangg!!! Trangg!!!
Dentingan nyaring terdengar secara beruntun sebanyak delapan kali. Hanya delapan kali. Tidak kurang dan tidak lebih.
Pada saat dentingan itu terdengar, percikan api ikut membumbung tinggi ke tengah udara.
Delapan batang golok kawanan perampok itu ternyata sudah dibuat kutung menjadi dua bagian.
Mereka terperangah saat itu juga. Semua serangan langsung berhenti. Gerakannya juga tidak dilanjutkan.
Entah gerakan atau jurus apa yang telah digunakan oleh pemuda tersebut. Namun yang pasti, hal itu telah membuat mereka terkejut setengah mati.
Dan sebelum delapan perampok itu mengambil tindakan yang lebih jauh, tahu-tahu delapan titik hitam melesat sangat cepat ke arahnya.
Slebb!!!
Delapan titik hitam sampai ke sasaran secara bersamaan. Satu per satu dari delapan perampok langsung jatuh, ambruk ke tanah. Tidak ada darah. Tidak ada teriakan.
Yang ada hanyalah kematian!
Ya, delapan perampok tadi memang sudah mati. Mati oleh jarum hitam milik pemuda bernama Li Yong itu.
Semuanya terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Mungkin sama singkatnya dengan penampakan sambaran kilat di tengah hujan deras.
Li Yong berjalan kembali ke arah Ang Ma. Dia berniat untuk kembali melanjutkan perjalanannya.
Tetapi, baru saja dirinya akan naik ke punggung sahabatnya itu, mendadak dari belakang sana terdengar ada orang yang bertepuk tangan.
"Hebat, hebat," kata orang tersebut sambil terus bertepuk tangan tanpa henti.
Li Yong membatalkan niatnya yang ingin naik punggung kuda. Pemuda itu menoleh ke belakang. Di depan sana, terlihat olehnya ada seorang pria tua berumur sekitar lima puluh tahun sedang berjalan ke arahnya.
Wajahnya sedikit keriput. Rambutnya yang panjang dan sudah berwarna putih itu digelung ke atas. Pria tua tersebut mengenakan pakaian warna abu-abu lusuh.
Entah siapakah dia. Sebab Li Yong baru bertemu dengan pria tua itu.
Pria tua tersebut terus berjalan mendekat. Dia berhenti setelah jaraknya terpaut sekitar lima langkah.
"Benar-benar ilmu yang tinggi dan jarang terlihat di dunia persilatan," kata orang tua itu melanjutkan bicaranya kembali.
"Siapa kau?" tanya Li Yong tidak menghiraukan pujian yang dilontarkan olehnya.
"Hahaha, tenanglah sobat muda. Perkenalkan, namaku Cin Shi," jawab orang tua itu.
"Cin Shi?" tanya Li Yong menegaskan.
"Ya, Cin Shi. Si Pertapa Dari Gunung Barat," jawabnya memberitahukan julukan.
"Aku tidak mengenalmu. Aku pun tidak mempunyai urusan denganmu. Jadi, mohon maaf aku harus pamit dengan segera. Sebab masih ada urusan yang harus aku selesaikan," ujar Li Yong tanpa basa-basi.
Habis bicara demikian, dia kembali membalikkan tubuhnya lalu segera naik ke punggung kuda.
Tapi, lagi-lagi niat itu gagal ketika Cin Shi si Pertapa Dari Gunung Barat kembali mencegahnya.
"Tunggu sebentar sobat muda. Aku masih ingin bicara denganmu,"
Li Yong melirik ke arahnya sekejap. Sebenarnya pemuda itu mulai kesal kepada orang tua tersebut. Hanya saja selaku yang lebih muda, mau tak mau dia harus menghargainya.
"Silahkan bicara dengan segera," ujar Li Yong dengan dingin.
"Baik. Beberapa waktu lalu, benarlah kau telah membunuh Enam Ahli Senjata dari Perguruan Beruang Putih?" tanyanya sambil memandang penuh selidik.
"Ya, benar," jawabnya dengan cepat.
Dia tidak perlu berpikir maupun mengingat-ingat lagi. Sebab pikiran dan ingatannya jauh lebih tajam daripada manusia pada umumnya. Setiap kejadian yang telah dilewatinya, dia pasti mengingat dengan sempurna.
"Bagus. Kalau begitu, sekarang juga kau harus ikut denganku," ucap Cin Shi kemudian.
"Aku tidak bisa ikut,"