PETER membantu Kelly yang terkapar lemas saat ini. Dia menyelimuti Kelly dengan lembut. Hanna dan Robert juga ada di sana. Mereka, sama khawatirnya.
"Peter, bagaimana ini bisa terjadi?" tanya Hanna takut.
"Maafkan aku, Bi. Aku tidak seharusnya mengajak dia bermain ke tempat lain. Aku pikir, dia kelelahan , Bi. Dia menjadi seperti itu saat memasuki area pemandian air panas," jelasnya merasa bersalah.
Peter tidak tahu, jika Kelly se lemah ini.
"Lain kali, aku akan ajak dia menggunakan bus, bukan sepedaku lagi. Angin saat ini sedang hebat, mungkin Kelly masuk angin," jawabnya kembali.
"Tidak. Jangan ajak Kelly bermain lebih jauh dari sini dulu. Aku tidak mengijinkannya," tegas Hanna.
Tentu saja, hal itu membuat Peter terkejut. Pasalnya, Hanna tidak pernah se serius ini padanya. 'Aku pikir, Bibi sangat marah padaku,' batinnya lagi-lagi merasa bersalah.
Glutuk!
Suara kotak berisi kalung milik Kelly jatuh ke lantai. Hanna mengambilnya. "Apa ini?" tanya dia dengan serius.
"Ah, i-itu kalung pemberianku. Aku pikir Kelly akan menyukainya saat memakai itu," jawabnya sedikit terbata. Peter masih takut dengan sikap Hanna saat ini padanya.
"Hah! Hari ini aku cukup lelah, Peter. Maaf, ya. Aku tidak sengaja membentakmu barusan. Aku ingin kamu membiarkan Kelly istirahat dulu. Kamu, pulanglah dan kembali besok pagi untuk sarapan di sini," jawabnya dengan nada lemah dan terlihat banyak pikiran.
"Ba-baik, Bi. Bibi tidak perlu minta maaf. Ini semua salahku," jawabnya.
Peter beranjak pulang. Namun, saat dia sudah mau melangkahkan kaki nya pergi. Tangannya ditahan oleh Hanna. "Peter, maafkan aku sekali lagi. Tolong makan ini bersama ayahmu, ya. Dan menurutlah pada ayahmu," kata Hanna, memberi satu toples makanan.
Peter mengangguk pelan. "Iya, terima kasih. Aku pamit dulu, ya, Bi," pamitnya dengan pandangan penuh arti, hal itu di jawab oleh kedipan mata Hanna mengisyaratkan setuju.
Saat Peter berjalan pulang dengan pandangan menunduk, dia bertemu dengan seorang gadis.
"Mau menunduk seperti itu terus? Jangan salahkan aku jika aku menabrakmu tadi," kata Maisha yang tiba-tiba berada di hadapannya dengan sepeda milik Peter.
Peter menatapnya. "Maisha, sejak kapan kamu di sini?" tanya Peter dengan lesu.
"Sejak Putri Duyung berubah menjadi buih lautan," bisiknya membuat Peter merinding.
"Hah, malah bercanda," jawab Peter menundukan kembali kepalanya.
"Hey, sejak kapan kamu lemas seperti ini? Ada yang terjadi?" tanya Maisha. Menatap dalam sahabatnya itu.
"Maisha, mau bolos les, tidak?" tawaran Peter sungguh menyesatkan.
Maisha menyilangkan tangan. "Tidak. Aku sudah habis oleh ayahku waktu itu. Itu, menyakitkan," jawab Maisha menolak tawarannya.
"Hah? Dia melakukan itu lagi? Apa dia menamparmu lagi?" tanya Peter dengan penuh kekhwatiran.
"Tidak, Peter. Aku hanya di marahi biasa saja, kok. Seperti ... ayahmu padamu, lah. Ya. Seperti itu," jawabnya bohong. Jelas-jelas waktu itu dia mendapatkan hukuman lebih parah.
"Bohong. Kamu memaksa tersenyum, tapi itu bohong, 'kan?" tanya Peter meyakinkan isi hatinya.
Maisha menundukan kepalanya. Memaksa nafas di hirup dalam-dalam dan dikeluarkan. "Benar. Yang kamu pikirkan memang benar, Peter. Tapi, aku harus bertahan hidup atau aku akan mati lebih cepat," jawabnya dingin.
"Maisha! Ayo, lapor polisi saja!" usul Peter pada sahabatnya itu. Peter jelas merasa sakit hati juga.
"Jika kita lapor polisi, kita yang akan masuk jeruji, bodoh!" jawabnya tanpa ekspresi kembali. Maisha melajukan sepeda milik Peter.
"Hey, tunggu! Tunggu aku! Baiklah, Maisha! Aku akan pergi bersamamu! Tapi, bukuku!" teriaknya yang membuat Maisha berputar balik.
"Aish, dasar wanita ini suka merajuk. Tunggu, ya," jawabnya.
Sembari menunggu Peter mengambil bukunya, Maisha mencuri-curi pandang pada rumah di samping rumah Peter tersebut. "Wangi ikan bakar. Jadi lapar," ucapnya sambil memegangi perut yang sudah di tahan tadi. Maisha memang tidak makan apapun karena marah pada orang tuanya, termasuk ayahnya.
Setelah Peter menghabiskan waktu beberapa menit untuk mencari bukunya, anak itu pun menghampiri Maisha yang menatap rumah Bibi Hanna.
"Kamu seperti orang kelaparan. Mau makan dulu?" tanya Peter yang tiba-tiba berada di samping gadis itu. Mengejutkan sekali sampai tubuh Maisha tersetrum sepersekian detik.
"Tidak. Aku sudah makan di rumah," jawabnya dengan balasan anggukan Peter.
Kini, gadis itu yang melajukan kendaraan berosa dua tersebut.
"Maisha," panggil Peter yang sedang mengertakan tangannya di jok besi belakang.
"Apa?" jawabnya dingin.
"Kamu punya supir, kenapa tidak berangkat dengan supirmu saja?" tanya Peter sambil menyipitkan mata karena angin yang menyapu matanya tersebut.
"Supirku harus mengantar ayahku," jawabnya seperti itu saja.
Peter menganggukan kepalanya tanda mengerti. Namun setelah itu, dia masih ingin menanyakan lagi. "Eh? Benarkah? Tapi waktu itu aku pernah mendengarmu, bahwa kamu akan diberikan supir pribadi. Ah, kamu bohong, ya? Kenapa malah menggunakan sepedaku, sih? Kan, enak jika kita naik mobilmu bersama," jawabnya sambil membayangkan dirinya di dalam mobil mewah milik keluarganya.
Perlu diketahui, bahwa Peter bukanlah dari kalangan bawah. Bisa dibilang, ekonomi keluarganya cukup, tapi tidak se kaya keluarga Maisha.
Bisnis ayahnya sangat banyak. Berbagai jenis di berbagai negara. Hal itu lah, yang membuat uang mengalir deras dari segala penjuru kepada keluarganya. Namun, hal itu tidak cukup membahagiakan anak semata wayangnya-Maisha. Gadis cantik dan dingin itu, terbiasa dengan tekanan yang diberikan keluarganya untuk selalu sempurna, karena dia lah yang akan mewarisi kekayaan ayahnya.
"Sebenarnya, untuk aku mengikuti berbagai les, aku mengajukan syarat pada ayah untuk tidak mengantar jemputku saat sekolah atau pergi belajar. Aku bilang bahwa aku ingin mandiri dengan kemana-mana sendiri. Nyatanya, aku hanya mendapatkan kebebasan. Termasuk, bisa bebas bermain denganmu, Peter. Maka dari itu, jangan mengajakku pada jalan yang sesat, karena ayahku mempercayaimu anak yang baik-baik dan juga pintar," jelasnya sambil tidak berhenti mengayuh sepeda dengan pelan.
"Ah, ternyata hidup orang kaya sulit juga, ya," jawabnya sambil melihat ombak yang menari indah di atas mereka.
"Tapi ibuku pernah bilang, hidup seperti ini lebih baik walaupun akan berakhir mati sekalipun. Karena setidaknya, kamu tidak akan mati dalam kemiskinan. Sakitnya menjadi dua kali," kata Maisha sambil mengangkat sudut bibir sedikit.
"Benarkah?" tanya Peter dengan serius. "Ibumu berkata seperti itu?" sambungnya.
"Peter, ibuku bukan dari kalangan orang kaya, sebelum menikah dengan ayahku. Kakek dan nenek, dulu tidak setuju ayah menikah dengan ibu. Kamu tahu apa alasannya?" tanya Maisha sambil mendekatkan kepalanya pada sahabatnya itu.
Peter menaikan alisnya, tanda penasaran.
"Karena ibu dari keluarga miskin," jawabnya sambil memajukan kembali kepala dan tubuhnya.
"La-lalu? Bagaimana mereka bisa menikah?" tanya Peter lebih penasaran kali ini.
"Karena ayah berusaha keras membuktikan bahwa ibu, adalah orang yang hebat walaupun hidup dengan orang tua yang tidak mampu. Ibuku sangat cerdas dan pekerja keras. Sehingga, jika ibu diberikan fasilitas seperti ayah, aku yakin, ibu akan lebih hebat dari ayah yang sekarang. Pernikahan mereka baru di setujui, saat ibu menyelesaikan beberapa proyek besar dan masalah di perusahaan dengan tenang dan cepat. Karena hal itulah, ne ek dan kakek mulai mengaguminya," jelasnya kembali.
"Kalau begitu, perusahaan ayahmu," kata Peter yang tidak melanjutkan perkataannya.
"Benar. Puluhan perusahaan besar, adalah idenya. Dia juga sering ikut menyelesaikan permasalahan jika sudah sulit ditangani para karyawan bahkan ayah sendiri," jawabnya. "Tapi ibu tetap bilang, bahwa terlahir dari keluarga kaya sangat amat menguntungkan dari pada memiliki kecerdasan dan bakat saja. Namun, jika hanya menjadi orang kaya dari orang tua tanpa memiliki kemampuan, tetap saja melakukan," sambungnya.
"Ah, mendiang ibuku juga pernah mengatakan yang serupa. Itu ... semacam bahan bertahan hidup, ya," kata Peter.