"Begitu, ya," kata Maisha cepat.
Peter yang sedang mengemas tasnya itu, tampak menawan bagi Maisha. Maisha terdiam kaku melihat wajah tampan Peter. Peter selalu menawan baginya. Selalu memiliki sisi yang tidak terpikirkan oleh Maisha, dia benar-benar penuh kejutan. Wajah tampan seperti pahatan Tuhan paling sempurna. Bibir merah yang sehat dilihatnya dengan mata tanpa berkedip. Maisha, dia menghampiri Peter untuk menempelkan bibirnya kepada Peter.
Tangannya bergerak menahan tangan kiri Peter. Sedikit lagi, Maisha bisa menabrak bibirnya. Namun, Peter lebih cepat menolaknya.
"A-apa yang kamu lakukan?" tanya Peter. Dia saat ini sangat terkejut. Maisha tidak seperti biasanya.
"Kenapa? Kamu malu? Kita bisa melakukannya, Peter," jawab Maisha enteng. Gadis itu menatap Peter dengan wajah datarnya.
Peter menggelengkan kepalanya. Dia tidak suka Maisha bersikap seperti ini. "Ayo, naik. Kita pulang," kata Peter sigap. Peter mengalihkan pembicaraan.
Kini, mereka pun berangkat pulang menggunakan sepeda, mereka sengaja memboloskan diri untuk lesnya. Peter dan Maisha sudah tahu resiko karena bolos ini. Terlebih, Maisha, dia pasrah. Tapi, Peter adalah segalanya baginya.
***
Sementara itu, gadis anggun dan menakutkan, sedang berenang ke sana kemari. Di dalam kolam besar itu, dia tampak pengap. Dia tidak sendiri, dia ditemani beberapa ilmuan yang memegang kertas tebal dengan bolpoin. Lima orang ilmuwan itu tampak memencar dan mengelilingi gadis yang memiliki ekor tersebut. Mereka melihat reaksi sekecil apapun makhluk itu. Lalu, mereka dengan segera mencatatnya.
Penemuan ini, bagaikan tangga emas yang menimpa mereka. Tidak sedikit dari mereka yang bahkan mengesampingkan waktu tidurnya, hanya karena ingin melihat reaksi baru makhluk itu.
Namun, makhluk tersebut tidak selalu menunjukan reaksi yang menarik perhatian para ilmuwan. Cukup lama dan tidak begitu pasti para ilmuwan tahu makhluk itu lebih dalam. Hingga salah satu ilmuwan memiliki ide cemerlang di tengah kebosanan.
Clup!
Batu dengan ukuran yang tidak besar, Elbar alungkan.
"Kraaaaasshhhh!" Suara pertama yang mereka dengar.
Mereka tampak senang dengan sesuatu yang baru ini. Bahkan yang sedang tertidur pun seketika bangun.
"Hah! Suara apa itu?" tanya Jay, rekan Elbar. Jay tampak berdiri kaget dengan nyawa yang belum terkumpul baik.
"Itu suaranya, Jay," jawab Elbar. Elbar dengan segera mencatat dalam keadaan mata yang tetap menatap makhluk laut itu.
"Wah! Hebat sekali! Hey, Ron! Kamu tidak lupa merekamnya, 'kan?" kata Jessly, dia juga rekan Elbar. Sifatnya yang ambisius, ceria dan teliti. Jessly lebih penasaran lebih dari siapapun faktanya.
"Aku mendapatkannya," jawab Ron, yang merekam raungan makhluk itu.
Mereka pun melihat video yang terekam tersebut. Tak sedikit teriakan senang mereka raungkan. Tapi, tidak dengan Elbar. Dia malah mengerutkan kening heran. Menatap makhluk di dalam air yang membalas tatapannya.
Mata makhluk yang tadinya normal seperti manusia, berubah menjadi warna putih. Elbar melihatnya dengan jelas makhluk itu semacam mengganti pupil matanya. Sepersekian detik, makhluk itu melakukannya.
Elbar yang berpikir dia akan melakukannya lama, dia pun memanggil rekannya. "Hey, Ron! Cepat kesini!" panggil Elbar cepat. Dia jelas ingin memberi tahu dan menyuruhnya merekam perubahan terbaru dari makhluk itu.
Namun sayang, saat Elbar mengalihkan pandangannya sedikit, makhluk itu dengan cepat berenang membalik arah.
"Ada apa?" tanya Ron cepat.
Elbar melihatnya. "Lihat dia! Rekam cepat, Ron," suruh Elbar. Dia tampak menggerakan bahu Elbar cepat.
"Apa? Apa yang harus aku rekam? Apakah dia melakukan sesuatu?" tanya Ron.
Elbar melihat kembali makhluk itu yang sudah kembali dengan mata semula. "Aish! Sialan! Kamu sih, Ron, telat!" kata Elbar yang tampak menyalahkan Ron saat itu.
"Apa yang telat? Apa yang kamu katakan?" tanya Jessly. Wanita dewasa dengan rambut yang diikat itu, menghampiri Elbar.
Elbar mengacak rambutnya frustasi. "Aish! Dia menunjukan reaksi baru. Seharusnya di rekam dengan cepat. Aku takut, kalian tidak percaya," jawabnya. Elbar merasa kesal saat ini.
"Jadi?" tanya Jessly yang ingin mendengar intinya.
"Aku melihat dia bisa membuat pupilnya berubah warna. Lebih tepatnya, mirip pintu geser. Aku rasa, dia memiliki pupil lain di balik kelopak matanya," papar Elbar kepada Jessly.
Jessly menaikan alisnya sebelah
"Aku tahu ini tidak mungkin. Tapi, aku melihatnya sendiri. Kalian tidak bisa menghakimi sesuatu mustahil saat ini. Buktinya, dia ada di dunia pun kalian percaya, 'kan?" kata Elbar menjelaskan kembali.
Jessly menghembuskan nafasnya pelan. "Hmm. Baik, aku percaya padamu, Elbar. Jadi, haruskah kita lempar dia batu lagi?" tanya Jessly lagi. Dia tampak memegang batu kecil yang siap dilemparkan.
Elbar menahannya. "Tidak! Jangan dilempar!" kata Elbar. Dia menatap makhluk itu intens. "Kita lakukan cara lain," sambungnya.
Jessly menyipitkan matanya. "Kamu mulai kasihan padanya?" tanya Jessly dengan senyum sebelah yang dia angkat.
"Kamu berpikiran begitu? Sayang sekali, kamu salah besar! Justru, aku ingin membiusnya saat ini. Aku perlu melihat pupil cadangan miliknya. Bagaimana?" kata Elbar percaya diri.
"Aku tidak setuju!" bantah Jessly. Wanita itu berdiri tegak dengan kedua tangan yang dimasukan pelan. Menghadap Elbar yang sedang berjongkok.
"Sejak kapan aku butuh persetujuanmu?" kata Elbar. Dia tampak memandang remeh Jessly. Hal itu membuat rekan wanita satu-satunya kesal.
"Tidak, Elbar! Itu berbahaya," kata Jessly marah.
Elbar tidak mendengarkan semua rekannya di sana. Dia tetap berjalan menghampiri makhluk itu. Jari jemari Elbar yang di tekan secara bersamaan, terdengar nyaring dan membuat makhluk itu sedikit memundurkan tubuhnya.
"Elbar, dengarkan aku. Kita tidak tahu jika kamu akan habis dibunuh olehnya," ucap Jessly tegas. Rekannya itu berusaha membujuk Elbar yang dikenal keras kepala. Mata Jessly bergetar tak karuan.
"Benar, Elbar. Kita tidak tahu apa yang akan dia lakukan padamu," sambung rekan lainnya.
Beberapa ilmuwan tampak memegang pundak besar Elbar. Menahan diri untuk rasa penasaran yang terlalu cepat. "Jika kamu mati, kita tidak bisa mendapatkan apa-apa untuk melanjutkan misi ini. Tolong, sadarlah kali ini," kata Ron. Wajahnya tampak keras.
"Kamu tidak bercanda, 'kan, Elbar? Aku tahu kamu sangat ingin tahu, tapi aku pikir dia bukan makhluk yang jinak. Ikut bersamaku," kata Jessly tegas. Dia berusa menarik lengan Elbar paksa. Karena jika tidak seperti itu, Elbar hanya akan nekat dan dekat dengan kehancuran.
"Jika mau, kita harus menyuruh beberapa Polisi kesini. Ini bukan tugas kita untuk sembarangan menyentuh apalagi masuk ke dalam kolam itu. Pergi dari sini, akan aku hubungi polisi yang bekerja sama dengan kita kemarin," kata Jessly cepat. Jessly tampak mengangkat ponsel berwarna biru itu, ke telinga sebelah kirinya.
"Halo?" sapa Jessly.
Grep!
Ponsel Jessly tiba-tiba di rampas Elbar begitu saja. "Dengar, Jessly. Aku pikir kamu terlalu terburu-buru untuk menghubungi mereka. Ck, aku takut mereka akan menyakitinya!" ucap Elbar keras. Penekanan yang dilontarkan Elbar padanya, membuat mata Jessly menggenang tak karuan.
"Hah, aku ingin marah sekarang," ungkap Jessly kesal.
Elbar tampak tidak menghiraukan perkataan Jessly. Dia hanya terus berjalan mendekati makhluk setengah manusia dan setengah ikan itu.
Club!
Kraash!
Suara Elbar yang menganclumkan diri tanpa pengaman. Dan erangan makhluk itu, membuat semua rekan yang ada di sana panik. Mereka saling melempar jerit. Tidak ada yang diam. Bahkan, yang sedang fokus merekam pun ikut berlari menolong Elbar.
Kraash!
"Tidak! Elbar! Ron, bantu dia! Makhluk itu seperti akan menggigitnya," teriak Jessly. Dia sudah tahu apa yang akan terjadi kepada temannya itu. Namun, Elbar begitu mengesalkan karena tidak mau mendengarkannya.