"Kenapa kamu pergi begitu saja? Padahal, aku mau mengajakmu bermain dengannya tadi," kata Peter yang berusaha membantu Maisha mengangkat sepeda birunya.
Pertanyaan tersebut bagaikan angin lewat. Maisha tidak menjawabnya dengan satu kata pun. Peter yang heran, sedang memikirkan hal apa yang membuatnya marah. Sampai dia mulai mengingat kesalahannya.
Peter menepuk jidatnya keras dengan mata tertutup dan mengerut. Lalu—mengumpat.
"Kenapa baru menyadarinya?" tanya Maisha kepada Peter yang menepuk jidat, tanda dia menyadari kesalahannya.
Peter menarik lengan gadis itu, Maisha melototkan matanya dan menyembunyikan wajahnya pelan. Pipi merah muda itu bersinar saat Peter menariknya.
"Aku lupa, Maisha. Sekarang harusnya aku les. Wah, ayo, Maisha! Bisa dimarahi ayah aku, nih," kata Peter yang panik dan tak karuan. Laki-laki itu berusaha mengambil alih sepeda milik sahabatnya, merebut paksa dengan tangan kanannya. Peter, beberapa kali mengatur nafasnya dalam. Pasalnya, dia sangat jauh berlari dari ujung ke tempat tersebut.
Mendengar pengakuan Peter. Maisha memutar bola matanya cepat. Entah kenapa, gadis itu merasa kesal dengan jawabannya. Walaupun, tidak sepenuhnya salah. Maisha hanya melihat singin sahabatnya itu.
"Kenapa hanya melihat saja? Ayo, kita pergi. Belum terlalu telat," ajaknya. Peter masih tidak merasa bersalah pada Maisha, dia hanya tahu kesalahannya karena lupa menjemput Maisha untuk berangkat les bersama.
Maisha pun duduk di jok belakang. Tepatnya, yang tidak memiliki busa, hanya besi yang di ukir senyaman mungkin bagi yang ingin duduk di sana. Tubuh Maisha tang ramping tidak membuatnya kesulitan. Maisha, mulai memegangi pinggang Peter dan menyandarkan kepalanya di punggung lebar sahabatnya. Dengan bibir yang sedikit maju dan mata yang tajam. Tidak ada keimutan padanya, dia lebih mirip manusia yang akan memangsa saat itu juga.
Di tengah keheningan, angin tetap menyentuh jahil Maisha, seakan-akan memberi kode kepada nya untuk menceritakan apa yang terjadi. Angin yang tak berbentuk pun tahu jika gadis itu sedang memendam sesuatu.
Hingga pikiran Maisha selaras dengan hatinya. "Peter, kamu benar-benar tidak merasa bersalah?" tanya gadis itu yang mulai melonggarkan ikatan tangan dipinggang Peter.
Hal itu, ditahan Peter, Peter membuatnya mengeratkan kembali lengan Maisha di pinggangnya. "Kenapa dilepas, Maisha? Mau jatuh, ya?" kata Peter. Dia mengangkat simpul bibirnya sempurna.
Gadis yang dibuatnya seperti itu,membuat suasana semakin meriah. Hati Maisha bagaikan bunga yang baru saja mekar. "Mmm. Kamu tahu tidak kenapa aku marah tadi?" tanya Maisha. Kepalanya mengarah kepada pipi samping milik Peter, mempermudah Peter melihatnya.
"Jangan terlalu dekat," jawabnya sembari menggisik hidung yang tidak keluar sedikitpun. "Kamu marah karena tidak aku jemput les, 'kan?" sambung Peter dengan percaya diri.
Maisha melonggarkan kembali eratannya. "Bukan itu," kata Maisha yang mulai melepas tangannya dan mulai menghadap lurus tanpa berpegangan kemanapun.
Peter mulai mengerutkan keningnya perlahan. "Maisha, kamu kenapa, sih? Aku ada salah yang lain, ya?" tanya Peter. Dia memang benar-benar bingung saat ini.
"Kamu tidak sadar atau pura-pura tidak sadar? Aku sakit hati lho," jawabnya kecut. Jawaban yang membuat semuanya tampak dingin dan hampir membekukan Peter saat itu. Peter berniat berhenti.
Hal itu disadari Maisha. "Jangan berhenti. Terus maju. Kita akan telat jika kamu berhenti," kata Maisha tegas.
Peter tidak tahu harus apa. Dia ingin mendengarnya lebih lama dalam keadaan tenang. Namun, Maisha malah menyuruhnya mengayuh dan sepertinya, dia tidak akan menjawab satu pertanyaan dari Peter.
Setelah menghabiskan waktu di kesunyian tadi, mereka kini turun bersama. Tanpa suara, tanpa pertanyaan apapun.
"Kita bicarakan semuanya saat pulang les," ucap Peter yang berjalan sendirian ke dalam kelasnya. Meninggalkan sahabatnya yang selalu berubah ekspresi dan perlakuannya itu.
Maisha tidak menjawabnya ataupun menganggukan kepalanya. Dia hanya mengikuti Peter dengan penuh amarah di dadanya.
"Hai, Peter. Kenapa kali ini kamu telat?" ucap salah satu temannya yang memiliki kelas yang sama dengan Peter.
Sedangkan wanita es itu, hanya duduk di kursi yang jauh dengan Peter. "Dasar wanita rubah," gumamnya sarkas.
Gumaman Maisha, terdengar wanita yang menggoda Peter tadi. Dia langsung menghampiri Maisha. Tangan lentik wanita tadi langsung meraup dan menarik keras rambut Maisha.
"Aaaaaa! Apa-apaan kamu, Ola?" tanya Maisha kepadanya.
"Kamu yang ada apa? Kamu pikir aku tidak dengar? Kamu bilang aku rubah?! Kalau begitu, apa bedanya dengan kamu?" kata Ola dengan volume yang tinggi.
"Apa? Kamu yang rubah."
"Kamu rubah."
Kegaduhan yang mereka perbuat dihempas perkataan menyakitkan Peter. "Maisha! Ola! Berhenti, terlebih kamu, Maisha, aku muak!" ucapnya sarkas.
Mendengar hal itu, Maisha tidak berhenti mematung dengan tetesan air mata yang terus berjatuhan. Tanpa melihat Peter yang mengais tasnya untuk pulang. Dia bahkan tidak mengajak Maisha. Tatapan orang-orang kepadanya, membuat gadis itu membuat hal yang sama, dia mengambil tasnya dan mengejar sahabat nya itu.
"Peter!" panggilnya dengan berteriak.
Peter menoleh lalu memberi isyarat dengan tangannya, agar masuk kembali. Maisha tidak menggubrisnya, dia tetap berlari dan ... memeluk Peter dari belakang.
"Peter, kenapa kamu meninggalkanku? Kamu membuatku malu di depan banyak orang! Kamu memang pria jahat!" kata Maisha yang berderaian air mata.
Peter mengerutkan kening dengan kedua jarinya. "Maisha, kapan kamu sadar?" tanya Peter saat itu yang muak.
"Pantaskah kamu bilang seperti itu padaku? Kamu lupa atas semua yang aku lakukan dulu?" tanya Maisha dengan nada yang kadang, membuat Peter mengelus dadanya sabar.
Peter mengendus nafasnya dalam. Dia membuka tas nya perlahan, dan munculah kotak berwarna hijau tua, kotak indah itu diberikan kepada gadis dihadapannya. "Selamat ulang tahun, gadis cantik," ucap Peter dengan senyum yang dipaksa. Dia harus tersenyum walaupun masih kesal.
"Hah? Kamu ingat? Aku pikir kamu lupa. Aaaaa!! Terima kasih, Peter. Kamu memang yang terbaik. Jangan jahat lagi, ya," katanya girang. Mengusap air matanya pelan.
"Pakailah. Jangan sampai kamu kedinginan. Kali ini, ayo kita membolos," ajaknya.
"Ah, iya boleh. Kita mau kemana?" tanya Maisha senang. Dia mulai menaiki sepeda tadi dengan jaket biru yang dia pakai.
"Kemana saja. Tempat yang kamu mau. Ngomong-ngomong, sweater itu cantik, bagus dipakai olehmu. Tadinya aku tidak yakin karena tidak bisa memilih baju untuk perempuan," kata Peter. Dia terus mengayuh sepedanya.
"Aku menyukainya, Peter. Kamu hebat memilih pakaian. Akan aku pakai setiap hari," jawabnya. Maisha tidak sadar dari tadi mengelus-ngelus sweaternya itu.
"Bau, Maisha. Dasar bodoh," umpatnya dengan bercanda.
"Hehe. Terima kasih, ya, Peter. Aku menyayangimu," jawabnya.
"Aku juga menyayangimu, Maisha. Jadilah gadis yang baik, ya. Dan jangan sering merajuk," kata Peter dengan nada menyindir.
"Ih, tadi kamu yang salah, 'kan?" kata Maisha.
"Memangnya aku salah apa lagi, Maisha?" tanya Peter yang masih penasaran.
"Gadis itu," jawabnya singkat.
"Gadis?" tanya Peter heran. Hingga teringat apa yang Maisha maksud. "Oh, Kelly. Dia hanya anak teman ayahku, Maisha," jawabnya datar.
"Tapi, kamu tadi terlihat romantis, Peter " katanya heran.
"Tidak kok, aku hanya kasihan dia sendiri. Sudah, ya, jangan membicarakannya lagi," jawabnya yang membuat Maisha kesal kembali.