Chereads / Siren Soul. / Chapter 2 - Goodbye.

Chapter 2 - Goodbye.

SELAMA lima tahun, gadis cantik bernama Kelly tersebut, selalu menghabiskan waktunya di rumah maupun di perpustakaan lautan. Dia hanya membaca. Memojokkan diri dengan rambut cokelat terurainya yang selalu menutupi mata bulat dan indah. Sendiri dan sepi. Jika temannya ingin bertemu, Elen Kelly selalu menjadi pagar diantara mereka. 

'Belum lima tahun hukuman cucuku' kalimat tersebut sering menggelitik telinga para temannya. Akhirnya, teman-teman Kelly berakhir pergi. Dan gadis itu, berhasil mendesah bosan.

"Apakah kamu tidak membaca buku?" tanya Elen. Sambil memasang anting kerang di telinganya. 

"Apakah nenek tidak merasa berat, memasang benda itu di daun telinga layu?" jawab ketus gadis itu. Dengan wajah datar dan rambut acaknya.

"Apakah kamu sudah sangat gila, karena tidak mau menyisir saja rambutmu?" jawab neneknya yang tidak mau kalah.

"Benar. Aku sudah gila. Karena nenek selalu mengurungku di sini," teriak gadis itu, rambutnya semakin teracak dan mengapung.

"Bukankah dua hari lagi kamu bebas? Bagaimana kamu lupa," jawab neneknya tenang.

"Hah? Benarkah dua hari lagi?" jerit gadis itu, tanda senang tak karuan. "Kalau begitu, aku akan bergegas ke perpustakan," kata gadis itu sambil membawa buku yang akan dikembalikan ke perpustakaan. "Ah, aku akan membaca dua buku hari ini," sambungnya.

"Ck, aku sudah lama tidak melihat gadis itu membinarkan matanya," ucap Elen yang memutar bola matanya. 

Kelly mulai merapikan rambut panjangnya. Dia merasa sangat berantakan selama lima tahun. Berenang. Lalu memutar-mutar tubuhnya. Pusing? Tidak. Dia terlalu muda untuk merasakan pusing. Gadis itu berenang dalam keadaan hati yang berbunga dan perasaan mengembang. Seolah bunga yang mekar ingin meledak di dadanya. 

Kelly sampai di depan gedung megah selautan. Tidak biasanya. Dia yang selalu langsung masuk dengan penampilan yang berantakan. Kini, dia tampil dengan rapi. Menghirup dalam-dalam nafasnya.

'Bagaimana aku tidak sadar. Bahwa, tempat ini sangat indah' batin gadis itu.

"Kelly, tidak masuk?" ajak laki-laki tua dengan jenggot yang hitam dan ekor yang berkilau hijau.

"Ah, iya," ucap gadis itu dan menganggukan kepalanya.

"Hari ini, kamu terlihat berbeda. Apakah ada yang membuatmu senang?" tanya Leon-penjaga perpustakaan tersebut.

"Dua hari lagi aku bebas," jawab gadis itu sambil memilah buku baru yang akan dibacanya.

"Kalau begitu, kamu pasti tidak akan berkunjung ke sini lagi?" balas Leon dengan menopang dagunya.

"Sesekali. Aku akan bermain di sini sesekali," jawabnya yang sedari tadi sibuk memilah buku dan menyempatkan menoleh ke arah Leon.

"Benarkah? Aku merasa kamu tidak akan menemuiku lagi," sanggah Leon. Dia mulai memperbaiki duduknya. Dengan tangan yang menyilang dan masuk. 

"Jangan marah. Anda sudah cukup tua," canda gadis itu. Dia terkadang seperti itu. Selalu bercanda terhadap teman dan orang tua. 

"Kelly, bagaimana jika kamu benar-benar tidak bisa bertemu denganku lagi?" tanya Leon dengan menopang dagunya lagi. Posisi seperti itu nyaman untuknya.

"Kenapa menanyakan hal itu terus menerus? Apakah Anda akan mati?" tanya enteng gadis itu.

"Hahaha. Kamu memang selalu terus terang jika berbicara," tawa Leon yang di ikuti dengan mutiara putih dari sudut matanya. Menggulutuk lepas. 

Pria tersebut, menyembunyikan kepalanya di balik meja. Kedua tangannya seakan melindungi seluruh bulatan kepalanya. Tidak memberikan celah sedikitpun. Mengisyaratkan. Agar tidak ada yang berani mengintip hal memalukan baginya. Isakan tangis terus terdengar diseluruh penjuru perpustakaan ini. Tidak ada suara kertas yang di sentuh. Tidak ada suara apapun selain dirinya yang menangis. 

Sementara gadis itu, mematung dengan buku di tangan kanan nya. Buku yang terlihat menganga. Sama seperti gadis itu sekarang. Dia mematung dengan mulut terbuka. Menatap sendu yang kini di hadapannya. 

Dia menghampiri pria itu. Melihat tidak ada ruang untuk melihat wajahnya yang dia lindungi. Kelly hanya mampu memeluk erat punggung pria itu. Sesekali mengusap pelan punggungnya. Namun, pria itu malah lebih mengeraskan suaranya. Butiran mutiara putih yang bersih memenuhi ruangan ini. Dan satu mutiara hitam jatuh tanpa perintah dari gadis itu. Mutiaranya bergabung dengan mutiara milik Leon. Terlihat perbedaan di sana.  Terlihat satu mutiara milik Kelly tampak merusak keindahannya. Sampai satu kalimat keluar dari mulut pria itu.

"Kenapa kamu menahannya?" tanya Leon dengan isak tangisnya yang belum berhenti. Pria itu membalas pelukan gadis itu. 

"Menangislah, Kelly. Penuhilah punggungku dengan mutiara indahmu. Aku senang dengan warna mutiaramu. Aku menyukainya," lirih pria itu. Dengan tangan yang mengusap kepala gadis itu. 

Malam itu. Dua suara tangisan saling memadu indah. Bagaikan nyanyian di sebuah panggung. Tangisan mereka terdengar merdu dan tulus. Mereka semacam membuang beban bersama.

"Menangislah. Menangislah lebih kencang. Peluk aku lebih erat," mohon gadis itu. Dia pun tidak berhenti membanjiri ruangan tersebut.

"Terima kasih. Anakku," ucap pria itu yang semakin melemah. Deru nafasnya tidak terdengar lagi. Apalagi isakannya. 

"Pak Leon, kenapa Anda berhenti? Jangan biarkan aku menangis sendiri. Tolong. Bangunlah," perintah gadis itu. Tubuh dia mulai bergetar. Jeritan gadis itu semakin menjadi. 

Tubuh pria tersebut semakin berat. Kedua tangannya yang tadi memeluk erat gadis itu. Kini, melepas dengan sendirinya. Mata sembab yang menutup. Dan sedikit senyum yang terukir di sudut bibirnya. Gadis itu, mulai memeluknya kembali. 

"Pak Leon, angkatlah wajahmu. Tegakkan badanmu. Bukankah Anda selalu memerintahku seperti itu? Kenapa Anda tidak mendengarkanku juga? Aku mohon. Bangunlah. Peluk aku lagi. Aku mohon. Huhuhu. Kenapa Anda selemah ini? Tolong! Jangan tinggalkan aku sendiri. Pak Leon, bangunlah. Jangan bercanda seperti ini," teriak gadis itu. Dengan rasa harap walaupun sedikit.  

Bagaimana gadis itu tidak sakit hati. Selama lima tahun. Pria itu lah yang mengajarkan banyak hal. Bahkan menghibur gadis itu. Ketika banyak kesedihan yang ditanggung gadis itu, Leon lah yang sukarela meminta bebannya setengah bahkan semuanya. Ketika Kelly tidak mau tidur di rumahnya, karena bertengkar dengan neneknya. Di sanalah gadis tersebut tidur. Dengan selimut hangat dan dongeng yang selalu Leon ceritakan. Leon adalah pria yang sabar. Dia tampak menyayangi gadis pembangkang tersebut. Walaupun, perkataan gadis tersebut tampak menyayat hati. Leon tidak pernah terluka sedikitpun. Dia malah tertawa dan mengacak pelan kepala gadis tersebut. 

Kejadian ini, membuat Kelly terkejut. Pria itu tidak pernah menangis di hadapannya. Apalagi sampai terisak-isak. Sekali menangis, dia sekaligus meninggalkan gadis itu. 

"Kejam," celetuk gadis itu dengan tatapan yang kosong. "Ini adalah perbuatan Anda paling kejam," sambung gadis itu dengan tangisan yang menyusul. Gadis tersebut benar-benar tidak berhenti menangisi yang di hadapannya. 

"Kelly!" panggil seorang wanita sangat tua. Dia adalah neneknya. 

"Nenek, Pak Leon sudah tidak ada nek, dia sudah tidak mau bersamaku lagi. Nenek, aku harus apa?" peluk gadis itu dengan tangisan yang semakin menggema. 

"Tenang cucuku, kamu masih memiliki aku di sini. Ikhlaskanlah gadis kecilku," ucap nenek Kelly yang sedari tadi menjatuhkan mutiaranya. Menyembunyikan teriakan yang mengobrak abrik dadanya. 

"Dia sangat baik nek, bagaimana kami berpisah seperti ini? Bukankah ini sangat kejam?" ucap gadis itu dengan suara yang serak. Suaranya hampir habis.

"Ayahmu sudah melakukan yang terbaik rupanya," celetuk nenek tersebut.

"Ayah? Maksudmu? Pria ini?" tanya gadis itu dengan suara yang bergetar.