Chereads / Tulang Rusukku adalah Tulang Punggungku / Chapter 2 - Bab 2 Labuhan Hati

Chapter 2 - Bab 2 Labuhan Hati

Kejutan malam itu membuat harapanku untuk mendekati Andrea telah pupus. Andrea tahu bahwa aku bekerja di sana, tapi dia malah sengaja mengajak laki-laki lain untuk pergi ke ke sana. Dia mencoba menghubungiku beberapa kali, tapi aku mengabaikannya. Namun, tiba-tiba dia menemuiku di ruang kelas setelah dosen selesai mengajar dan keluar ruangan. Aku tak bisa menghindar, jadi kuputuskan untuk tetap mendengarkan dia berbicara.

"Tino, malam itu Aku tidak ada maksud untuk membuat Kamu kecewa. Aku terpaksa menuruti cowok brengsek itu untuk datang ke tempatmu bekerja," ungkap Andrea.

"Terus kalaupun Kamu dipaksa memangnya kenapa? Kenapa harus tetap menurut? Sesulit itukah menolaknya? Semoga langgeng ya sama cowok Kamu. Sudah tenang saja, Aku tidak akan merusak hubungan kalian kok. Cukup tahu saja sekarang, ternyata Kamu adalah tukang PHP," tandasku.

"Sumpah, Aku itu sukanya sama Kamu. Dia itu hanya laki-laki yang dijodohkan orang tuaku, tidak lebih. Aku tidak ada perasaan apa-apa terhadapnya. Please, jangan tinggalkan Aku," pintanya.

"Terus Kamu ingin Aku bagaimana? Merebut Kamu dari dirinya? Memangnya Aku punya apa? Kamu tahu sendirikah kalau Aku ini miskin. Kuliah saja modal beasiswa dan harus bekerja paruh waktu untuk mencukupi kebutuhanku. Memangnya orang tuamu akan setuju?" tanyaku ingin melihat kesungguhannya.

"Ayo kita berjuang bersama. Aku yakin mama dan papaku pasti akan setuju," ajak Andrea.

Setelah Andrea menjelaskan tentang hubungannya dengan laki-laki yang bersamanya malam itu, aku yakin bahwa dia tidak memiliki perasaan apa pun untuknya. Jadi, kami memutuskan untuk tetap menjalin hubungan tanpa sepengetahuan orang tuanya alias backstreet. Semua berjalan lancar, hingga hari wisuda tiba.

Mama dan papa Andrea datang ke acara wisuda, begitu pun dengan keluargaku, bapak, ibu, Nina dan Lila. Bapak dan ibuku sudah datang lebih awal dan berada di dalam ruangan, sementara mama dan papa Andrea baru saja datang. Andrea memanggilku untuk kemudian diperkenalkan kepada orang tuanya. Papanya terlihat ketus dan acuh padaku, begitu pun dengan sikap mamanya yang tidak jauh berbeda. Bukannya diajak foto bersama, aku malah diminta untuk mengambil foto mereka. Sakit hati sih, tapi apa boleh buat. Semua sudah aku prediksi sejak awal bahwa aku tidak akan diterima di keluarga Andrea dengan mudah.

Setelah acara wisuda selesai, para wisudawan berfoto bersama dan saling merayakan kelulusannya. Saling mengucapkan selamat, bahkan salam perpisahan sudah dilakukan. Aku harus segera meninggalkan gedung acara, karena besok sudah harus mulai bekerja di ibukota. Atas predikat lulusan terbaik, aku bisa diterima di salah satu perusahaan swasta terbesar yang ada di Jakarta. Andrea sudah tahu soal itu dan kami berjanji bahwa meskipun jarak memisahkan, tapi kami akan selalu menjaga hati.

Hari itu aku hanya pamit seperlunya dengan Andrea, pun dengan kedua orang tuanya. Toh mereka tak menganggapku ada. Meskipun sikap mereka sangat dingin terhadapku, tapi tekadku bulat untuk meminang anak mereka. Akan kutunjukkan kepada mereka bahwa aku akan menjadi orang besar dan kaya, sehingga membuat mereka merelakan anaknya kunikahi. Hanya butuh waktu untuk membuktikannya.

Akhirnya aku meninggalkan kota Atlas yang selama ini menyimpan banyak kenangan dan kerinduan. "Andrea, tunggu Masmu ini pulang. Akan kubawakan sebongkah berlian dan Aku akan segera datang melamarmu," janjiku dalam hati.

Setelah setahun bekerja, aku memutuskan untuk meminang Andrea. Mendatangi rumah dan meminta restu kepada kedua orang tuanya. Kala itu, aku hanya seorang diri. Belum mau melibatkan kedua orang tuaku yang sudah tua dan sulit untuk melakukan perjalanan jauh. Jika sudah berhasil mengantongi restu orang tuanya, barulah akan kuajak bapak dan ibuku untuk meminta calon menantunya menikahi anak laki-lakinya ini.

***

Pertengkaran hebat terjadi malam itu. Aku tak menyangka papa Andrea akan semarah itu ketika aku mengutarakan niat untuk menjadikan anak perempuan satu-satunya, sebagai istriku. Aku masih belum berhasil meluluhkan hati mereka. Andrea kemudian berlari ke kamar dan menutup pintu keras-keras, "Brak ... huhuhu ...." Terdengar suara tangisannya. Karena melihat situasi sedang tidak kondusif, aku memutuskan untuk pamit meninggalkan rumah mereka.

Setelah malam itu, Andrea masih sering bertengkar dengan papanya. Sampai akhirnya tante Widuri, mama Andrea menghubungiku.

"Assalamualaikum, selamat malam. Apakah benar ini nomornya Nak Tino?" sapa tante Widuri yang sebelumnya aku tidak tahu bahwa si penelepon adalah beliau.

"Waalaikumsalam. Iya benar, mohon maaf dengan siapa Saya berbicara?" tanyaku.

"Ini Saya Widuri, mamanya Andrea," jawabnya.

"Oh, iya Tante. Bagaimana kabar, Tante dan Om? Semoga sehat selalu," jawabku.

"Alhamdulillah sehat, Nak. Cuma ya itu, malah Andrea yang sedang tidak sehat," ungkapnya.

"Andrea sakit apa, Tante? Sepertinya kemarin-kemarin dia masih baik-baik saja," jawabku pura-pura tidak tahu.

"Sejak malam Kamu ke rumah kami, Andrea jadi mogok makan. Kata bi Iyem, makanan yang diantar ke kamarnya pun tidak pernah disentuhnya. Masih utuh dan tetap pada posisi semula, di depan kamarnya tanpa dia mau membukakan pintu untuk kami. Tante khawatir kalau begini terus, Andrea bisa semakin sakit." Suara tante Widuri terdengar lirih penuh kecemasan.

"Lalu apa yang bisa Tino bantu, Tante? Kalaupun Tino ke rumah, apakah om Indra berkenan?" tanyaku mencoba memastikan.

"Urusan papanya, biar nanti Tante yang urus. Tante sudah bujuk om Indra kok untuk menerima kedatanganmu ke rumah kami lagi. Yang penting, bagi kami adalah kesehatan dan kebahagiaan Andrea, putri kami satu-satunya," ungkap tante Widuri.

"Baik Tante, untuk sementara waktu Saya akan menelepon Andrea dan membujuknya untuk mau makan. Kemudian, besok Sabtu Saya akan berkunjung ke rumah untuk menemui Andrea secara langsung. Tino juga tidak mau terjadi hal buruk pada Andrea," tandasku.

"Terima kasih ya, Nak Tino. Semoga setelah kedatanganmu, Andrea tidak mogok makan lagi dan mau keluar dari kamarnya," ungkap tante Widuri penuh harap.

***

Sesuai janjiku kepada tante Widuri, aku menghubungi Andrea. Memintanya untuk tidak lagi mogok makan dan tidak lagi mengurung diri di kamar. Namun, Andrea masih bersikukuh untuk tetap bertindak seperti itu, sebelum aku datang ke rumahnya dan papa mamanya merestui hubungan kami.

Aku tidak pernah sekali pun meminta Andrea bertindak seperti itu, karena itu akan membuat kondisi tubuhnya terganggu, tapi itulah Andrea. Selalu keras kepala seperti diriku. Sifat manja dan ingin selalu dituruti selalu melekat pada dirinya. Seperti sifat anak orang kaya pada umumnya. Terlebih dia adalah anak tunggal yang sejak kecil apa-apa yang dia minta, selalu dituruti. Jadi, ketika ada keinginan yang tidak dipenuhi, dia akan bersikap seperti saat ini.

Setidaknya setelah aku merayunya, dia sudah mulai mau menyentuh makanan. Jadi, ketika aku pulang ke Semarang dan menemuinya, dia tidak sedang dalam kondisi mogok makan lagi. Tante Widuri pun tidak akan sekhawatir seperti saat ini.

***