"Oek ... oek …." Suara tangis bayi mungil kami yang telah lahir ke dunia membuat istriku merasa lega. Akhirnya, buah hatiku telah hadir di antara kami membuah hidupku bersama Andrea semakin berwarna. Kebersamaan kami terasa lebih hangat dari sebelumnya. Tak begitu lama, kebahagiaan itu mulai terasa ganjil karena istriku yang mengalami sedikit depresi pasca persalinan yang sebenarnya telah berhasil dia lewati.
Istriku malang, istriku sayang. Dia dari dulu ingin memberikan ASI ekslusif untuk buah hati kami. Keinganan itu sudah muncul jauh sebelum dia hamil. Namun, karena kesulitan menyusui bayi kami secara langsung akibat luka bekas operasi di perutnya, dia mengalami depresi dan mengakibatkan ASI-nya semakin tidak mau keluar. Semua usaha sudah kami lakukan, mulai dari menenangkan Andrea agar tidak mengalami stres terus-terusan, menyiapkan pelancar ASI untuk dia minum, dan membelikan alat pompa ASI dengan harapan ASI-nya bisa memenuhi kebutuhan bayi kami. Namun, sangat disayangkan, semua usaha kami harus gagal.
Andrea masih sering kali histeris kesakitan ketika melatih badannnya agar bisa segera pulih seperti sedia kala, seperti sebelum operasi sesar (SC) yang harus dia jalani sebelumnya. Jangankan untuk menyusui, untuk bangun dari tempat tidurnya saja dia butuh waktu berhari-hari. Mulai dari memiringkan badannya ke kanan dan ke kiri, belajar duduk, hingga belajar berjalan. Rintihan kesakitan Andrea membuat aku tak tega melihatnya, tapi apa boleh buat. Semua tahapan tersebut harus dilalui olehnya.
Ibu lain dengan kondisi yang sama mungkin bisa melaluinya dengan baik. Hanya saja, hal tersebut tidak berlaku pada istriku. Mungkin persiapan sebelum melahirkan, bahkan sebelum menjadi seorang calon ibulah yang menjadi catatan tersendiri bagi kami. Menjadi seorang ibu memang tak semudah yang kami bayangkan. Aku pun berperan penting atas hal tersebut. Sharusnya, sejak awal setelah menikah kami belajar sedini mungkin tentang parenting. Minimal agar bisa terhindar dari trauma pasca persalinan. Namun, hal tersebut tidak kami lakukan. Dan aku tidak akan menyalahkan Andra atas hal ini. Karena ini adalah masalah kami bersama yang harus kami pikul dan selesaikan bersama-sama.
Setelah mulai lancar memiringkan badannya, Andrea mulai belajar duduk. Sikunya digunakan untuk menopang badannya. Badannya mulai miring, sikunya berusaha menopangnya diiringi dengan rintihan kesakitan. Akhirnya, setelah banyak berjuang dia mulai berhasil memposisikan tubuhnya setengah duduk. Dia berlatih secara terus menerus. Aku selalu berusaha untuk mendampingi dan memberikan semangat untuknya. Aku hanya bisa membantu menahan tubuhnya, jika dia sudah tak mampu lagi menahan sakit akibat pergantian posisi tubuhnya tersebut. Hingga akhirnya di hari keempat istriku berhasil berjalan kembali. Meskipun, dia berjalan dengan masih sedikit tertatih. Kateter yang dipasangkan sudah bisa dilepaskan dari tubuh istriku. Jadi, mau tidak mau, dia harus ke kamar mandi untuk Buang Air Kecil (BAK).
Tangisan bayi kami terdengar semakin kencang. Sementara, Andrea tengah berusaha keras untuk berjalan menuju ke kamar mandi. Rintihan kesakitan istriku ketika tubuhnya mulai berjalan, membuat aku hanya bisa membantu menggendong anakku yang juga sedang menangis. Aku hanya bisa mencoba menenangkannya.
Sesekali aku membantu menopang tubuh Andrea, ketika anakku mulai tenang dan menghentikan tangisannnya. Rasa sakit yang dirasakan olehnya salah satunya karena perawat telat memberikan obat penahan rasa sakit yang disuntikkan melalui selang infus yang dipasangkan di tangannya. Jadi, terpaksa dia harus merasakan rasa nyeri yang hebat pada area bekas operasi. Jangankan untuk menyusui bayi kami, untuk sekedar berjalan ke kamar mandi saja masih sangat sulit. Padahal, aku sudah bolek-balik menanyakan tentang obat penahan rasa sakit tersebut kepada perawat yang sedang berjaga. Namun, tetap saja mereka tidak berani memberikan dan hanya meminta kami menunggu dokter berkunjung. Kesalahpahaman anatar perawat yang berjaga dan pindah waktu kerjalah yang menjadi penyebabnya. Sampai-sampai istriku harus menjadi korban atas keteledoran mereka.
Jika aku bisa menggantikan posisinya, saat itu juga aku ingin menggantikan Andrea. "Istriku, Kau sangatlah hebat. Sakit yang Kau derita saat ini, akan menjadikan ladang pahala bagimu. Aku yakin, Kamu bisa melewati semua ini. Kamu wanita hebat, Kamu wanita kuat!" ungkapku berusahaku menyemangati Andrea.
Memang sungguh luar biasa perjuangan seorang ibu. Istriku hebat, istriku kuat. Orang macam apa yang begitu tega mengatakan bahwa ibu sejati adalah mereka yang berhasil melahirkan secara normal. Pun dengan menyusui. Orang-orang dengan mudahnya berkatanya bahwa ibu yang sebenarnya adalah mereka yang mampu memberikan ASI-nya secara rutin bagi bayi-bayinya.
Alangkah bahagianya jika memang seorang ibu mampu melahirkan secara normal dan meng-ASI-i bayi mereka. Namun terkadang, ada sesuatu hal yang berada di luar jangkauan dan keinginan kita. Jadi, jangan sampai kita menyakiti hati orang lain yang sudah sangat berjuang bagi keluarga mereka. Karena semua orang berjuang dengan cara mereka masing-masing. Jika tidak mampu atau pun tidak mau membantu, setidaknya tidak perlu menambah beban hidup mereka.
***
Setelah lima hari di rawat di rumah sakit, akhirnya Andrea dan bayi kami diperbolehkan kembali pulang ke rumah. Andrea sudah mulai bersemangat kembali untuk merawat bayi kami. Senyuman kebahagiaan sudah mulai terlihat di wajahnya. Aku selalu mencoba semua hal yang bisa membuat dia tenang dan tidak stres lagi. Untuk sementara waktu, aku tidak memperbolehkannya bermain media sosial. Mengingat banyak sekali konten-konten dan komentar negatif yang sering kali memojokkan seorang ibu baru seperti dirinya.
Aku hanya bisa melakukan hal-hal yang sederhana untuk membantu Andrea pulih dari operasi sesar yang sebelumnya dia jalani. Namun, perkara rasa sakit yang dideritanya, mustahil bisa aku bantu merasakannya. Jika aku bisa, aku sungguh bersedia menggantikannya merasakan rasa sakit yang dia rasakan saat ini.
Jika melihat dia merintih kesakitan, aku tak ingin dia merasakannya lagi. "Cukup sekali saja!" pikirku. Namun, jika melihat bayi mungil kami yang telah berhasil selamat terlahir ke dunia, membuat aku ingin memilikinya lagi. "Tuhan, terima kasih telah menghadirkan bayi mungil ini ke dalam keluarga kecil kami. Terima kasih telah menyelamatkannya dan ibunya dari masa kritis yang dia alami."
Azzahra adalah nama yang telah kami siapkan untuk bayi perempuan kami. Doa dan harapan kami tertuang dalam namanya. "Putri kecilku, semoga Aku dan mamimu bisa menjadi orang tua yang terbaik bagimu, Nak," doaku sambil kuusap kening Azzahra.
Azzahra lahir pada hari Kamis tanggal 12 Januari 2018. Sebelum kehadirannya ke dunia, dia sudah dinanti-nanti sekian lama oleh aku, maminya, juga kekek neneknya. Sosok yang sangat kami rindukan, meskipun belum pernah kami temui sebelumnya. Doa di setiap salat malam yang telah kami tunaikan. "Sehat terus ya, Nak. Jadilah anak salihah yang mampu menjaga dirimu dari kejamnya dunia. Papi akan selalu melindungimu dan Mami, apa pun yang terjadi Papi akan selalu ada untuk kalian!" janjiku pada putri kecilku.