Chereads / Tulang Rusukku adalah Tulang Punggungku / Chapter 7 - Bab 7 Pengagum Rahasia

Chapter 7 - Bab 7 Pengagum Rahasia

Ponselku berdering, tanda ada pesan masuk entah dari mana. Terlihat pesan dari nomor tak kukenal, "Hai Mas Tino, lagi ngapain?" Seperti itulah isi pesan tersebut. Kuabaikan pesan yang tak jelas entah dari siapa itu, kemudian kublokir nomor si pengirim agar tidak lagi bisa mengirimkan pesan macam-macam yang bisa membuat Andrea salah paham. Aku menduga, pesan itu dikirim dari seseorang yang berniat tidak baik terhadap hubungan kami.

Keesokan harinya, di meja kerjaku sudah ada satu kotak kue yang entah datang dari mana. Semua rekan kerja satu ruangan sudah kutanya, namun tidak ada satu pun yang mengetahuinya. Kamera CCTV sudah kuperiksa, namun hanya terlihat seorang satpam yang saat itu sedang bertugas. Setelah aku mengkonfirmasinya, hanya ada jawaban tidak jelas karena kurirlah yang mengantarkannya.

Tidak ada nama, hanya sepucuk surat yang ada di dalamnya dengan bertuliskan, "Hai Mas Tino, semoga Mas sehat selalu. Mungkin Aku terkesan mengganggu, tapi Aku hanya ingin mengungkapkan isi hatiku. Mungkin hati Mas bukanlah untukku, tapi Aku berhak menyimpan rasa ini dan terus memberikan perhatian kepada Mas Tino. Maaf karena meskipun tahu Kamu telah beristri, tapi aku masih berani mengungkapkan isi hati ini. Tidaklah mengapa jika memang tak Kau terima, tapi ijinkanlah Aku untuk menyimpan semua rasa ini sendiri."

Aku tak berani menduga, siapa pengirim kue dan surat tersebut. Aku tak ingin mengkhianati kepercayaan Andrea, dan aku memang tak ada niat sedikit pun untuk itu. Sehingga aku hanya bisa mengabaikan pesan-pesan dan pemberian perhatian dari orang yang tak kuketahui itu. Sebut saja dia Mawar, Mawar Berduri. Karena meskipun mungkin dia indah, namun dapat melukai orang yang memetiknya. Dan aku tak mau terluka atau pun melukai orang yang kucinta dengan memetik mawar tersebut.

Sebelum bersama Andrea, aku belum pernah pacaran sebelumnya. Sempat ada seorang perempuan yang mencoba mendekatiku ketika di bangku SMA, namun akhirnya dia menyerah karena sikapku yang selalu dingin terhadapnya. Tidak mungkin jika dia orangnya. Karena setahuku, dia sudah menikah dan bahagia dengan kehidupan barunya bersama pria pilihannya.

Aku tak ingin mengambil pusing mengenai si Mawar Hitam. Aku pun tidak menceritakannya kepada Andrea, karena takut dia akan khawatir. Sudah cukup dia lelah karena bekerja dan mengurus Azzahra di malam hari. Tidak perlu lagi aku menambah beban pikirannya hanya karena hal sepele yang aku yakin aku bisa menyelesaikannya.

Selama kami bekerja, Azzahra diasuh oleh Asisten Rumah Tangga (ART) yang kami ajak dari Semarang. Kami tidak mau mengambil risiko untuk mengambil ART dari orang yang tidak kami kenal sebelumnya. Sehingga kami mengajak ART kami jauh-jauh dari kampung. ART kami adalah anak dari orang yang mengasuh Andrea semasa kecil dulu, bi Iyem namanya.

Hampir setiap hari Andrea pulang malam, sehingga sangat jarang dia mengajak Azzahra bermain. Aku menyadari bahwa tidak mudah baginya untuk membagi waktu antara pekerjaan kantor dengan pekerjaan rumah, sehingga aku tak pernah memarahinya. Hanya sesekali aku mencoba mengingatkannya untuk mau berbagi waktu dengan Azzahra yang memang masih sangat membutuhkan perhatian dari maminya.

Azzahra sudah mulai berjalan, namun masih tertatih-tatih, belum sepenuhnya lancar. Sesekali aku mengajaknya berlatih dan bermain bersama. Namun dia lebih sering ditemani bi Iyem daripada aku dan Andrea.

"Pak, tadi pagi ada yang kirim paket ke rumah," kata bi Iyem.

"Paket apa, Bi? Sekarang ada dimana?" tanyaku.

"Kurang tahu, Pak. Saya tidak berani membuka," jawab bi Iyem sambil memberikan paket yang dia ceritakan sebelumnya.

Aku membuka paket tersebut, tidak ada nama pengirim yang terlihat di bungkus luarnya. "Untuk Ananda Azzahra, putri kecil Mas Tino." Isi pesan yang diselipkan di dalam paket tersebut. "Deg!" Aku sangat kaget. Perasaanku mulai merasa tak tenang. Pikiranku langsung meluncur mengingat sosok Mawar Berduri.

"Jangan-jangan ini dari Mawar Berduri. Aduh, kok dia sudah berani mengirimkan barang-barang ke rumah. Apalagi ini untuk Azzahra," ungkapku dalam hati.

"Wah, kado dari siapa Pi? Siapa yang kirim kado untuk Azzahra?" tanya Andrea yang tiba-tiba muncul dari belakang.

"Tidak tahu nih Mi, tidak ada tulisan pengirimnya," jelasku sambil menyembunyikan tulisan yang bisa menimbulkan kesalahpahaman itu.

"Oh, ya sudah terima saja. Mungkin pengirimnya ikhlas-ikhlas saja ngasih, makanya tidak ingin menuliskan namanya di situ," jawab Andrea yang selalu berpikir positif.

"Wah, bisa jadi Dek. Jadi terima saja nih?" tanyaku mencoba memastikan.

"Ya terima sajalah mas. Kan rejekinya Azzahra," terangnya.

Tanpa kuperlihatkan isi secarik kertas yang diselipkan di dalam kado Azzahra, aku memberikan kado itu kepada Andrea yang saat itu tengah bermain bersama Azzahra. Aku mulai bingung bagaimana menceritakan tentang kejadian belakangan ini kepada istriku. Mulai dari mana harus bercerita dan bagaimana menjelaskannya, tanpa harus membuat dia berpikir yang tidak-tidak.

"Mi, Papi mau ngomong nih," ungkapku setelah kami bersiap untuk menghabiskan malam berdua.

Azzahra sudah terlelap lebih dulu dan berbaring di antara kami.

"Ya ngomong aja, Pi. Kok kayaknya serius amat," pintanya.

"Jadi begini, Mi. Tapi Mami jangan mikir macam-macam dulu ya," kataku mencoba meyakinkan bahwa Andrea tidak akan marah jika sudah mendengar cerita dariku.

"Apaan sih, Pi. Kok bikin penasaran begini. Iya, Mami tidak akan bermikir macam-macam kok. Papi bilang jujur saja," pintanya.

"Jadi, sebenarnya beberapa hari ini ada orang yang mengirimkan barang-barang ke Papi. Entah itu makanan maupun barang lain. Dan sepertinya, bisa jadi boneka yang dikirimkan untuk Azzahra tadi pagi juga dari orang yang sama," terangku.

"Maksudnya? Gratifikasi gitu?" tanya Andrea yang masih terlihat belum mengerti maksudku.

"Bukan, bukan barang berharga kok. Barangnya sih sepele, tapi seperti terkesan meninggalkan perhatian. Ya Papi juga tidak tahu dia siapa, tapi sepertinya dari beberapa pesan yang dia sampaikan melalui barang-barang yang dikirimnya itu, dia ada perasaan lebih gitu ke Papi," jelasku.

"Idih, Papi bisa aja deh. Ke-PD-an banget sih jadi orang. Hahahha," jawab Andrea mencoba mengajak bercanda.

Aku sudah berusaha jujur, tapi Andrea malah menganggapnya sebagai sebuah hal yang tidak serius. Aku takut jika nantinya malah dia yang merasa dibohongi setelah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sehingga, sebisa mungkin aku tidak ingin itu semua benar-benar terjadi.