"Aku kan sudah bilang. Dia itu cuma teman kerjaku, tidak lebih. Lagian kalau Aku ada main di belakang Mas, pasti mama adalah orang pertama yang akan memarahiku, karena dia adalah orang yang sangat menjunjung tinggi kesetiaan, apa pun alasannya. Begitu pun dengan diriku. Aku tidak mau diduakan, amit-amit … jangan sampai. Jadi, Aku juga tidak mau menduakan. Kalaupun Aku lebih memilih orang lain daripada Kamu, ngapain juga dari awal Aku tidak memilih bersama orang lain saja?" tutur Andrea.
"Iya Sayang, Mas juga percaya kok. Mas cuma mau Adek tahu saja bahwa selama ini ada orang yang mengirimkan pesan ke Mas seperti ini." Aku sambil menunjukkan pesan yang dikirimkan dari orang tak dikenal beberapa waktu yang lalu kepada istriku.
"Itu artinya, kemana pun Adek pergi ada orang yang mengikuti. Tidak melulu soal perselingkuhan, karena Mas percaya padamu. Mas yakin, Adek pasti bisa menjaga janji suci pernikahan kita. Namun, Mas khawatir kalau pas ndelalah adek sendirian di jalan dan ada orang nekad seperti ini ingin melakukan sesuatu terhadapmu, bagaimana?" khawatirku.
"Mas sebagai suamimu tidak bisa berbuat apa-apa, karena posisi Mas yang jauh dari Adek. Jadi, ayolah Dek, mau ya ikut Mas tinggal di Jakarta. Mas janji deh akan membantu Adek mencari pekerjaan di sana. Adek itu orang hebat, pengalamannya juga sudah banyak, teelebih di bidang yang Adek tekuni selama ini. Pasti kalau melamar di beberapa perusahaan, perusahaan itu yang malah akan mengantri dan berebut ingin merekrut Adek menjadi salah satu pegawainya," rayuku berusaha meyakinkan Andrea.
"Ya sudah, nanti Adek bilang ke papa dan mama dulu ya. Adek juga mau coba mengajukan pindah dulu aja ke atasan. Siapa tahu dikasih mutasi ke kantor unit Jakarta atau malah ke kantor pusat. Kalau disetujui, Aku tidak perlu repot-repot lagi cari pekerjaan baru," jelasnya.
"Nah, itu lebih baik. Kenapa tidak dari dulu saja, Sayangku? Kalau beginikan enak. Semoga kita bisa segera tinggal bersama ya, Dek. Tidak perlu berjauh-jauhan kayak sekarang. Capek juga kalau hampir setiap akhir pekan Mas bolak-balik Jakarta-Semarang seperti sekarang. Mending ongkosnya ditabung buat beli rumah," ungkapku.
"Soalnya kemarin-kemarin masih suka kasihan mikirin Papa Mama bakalan kesepian kalau Adek ikut Mas tinggal di Jakarta. Namun, Adek heran, siapa sih yang kirim pesan-pesan tidak jelas itu. Mana nomornya tidak tahu lagi punya siapa. Ih, kesel deh!" ungkap Andrea.
"Ya sudahlah. Setidaknya berkat dia, Kamu setuju untuk ikut Mas tinggal di Jakarta," ungkapku merasa beruntung.
"Ih … ya tidak bisa gitu dong, Mas. Kan serem, diikutin stalker gitu," ungkapnya.
"Ya memang, makannya sebelum terjadi hal-hal yang lebih buruk lagi, Mas mau Kamu secepatnya ikut Mas saja. Biar Mas bisa siap siaga jagain Adek terus," pintaku.
"Oke deh suamiku tersayang. Terima kasih sudah mau percaya sama Adek terus. Padahal, Adek sering difitnah ini itu, tapi Mas masih selalu percaya sama Adek," ungkapnya.
"Sudah selayaknya Mas bersikap seperti itu sebagai suamimu. Menjaga dan mempercayaimu adalah kewajiban Mas. Selama Adek memang bisa dipercaya dan tidak mengkhianati Mas," balasku.
"Sayang banget sama Mas Tino. I love You, my husband." Andrea mulai mengungkapkan perasaan sayangnya kepadaku.
"I love you too, my lovely wife. Duh, benar kata Dilan. Rindu itu berat, tapi Aku enggak mau lama-lama merasakannya, biar Adek saja," candaku.
"La kenapa biar Adek saja, bukan malah Mas saja?" tanya Andrea.
"Kalau Adek yang merasakan beratnya rindumu padaku, Adek jadi ingin cepat-cepat menyusul Mas ke Jakarta," candaku.
"Hmmm ... maunya. Ya pasti Adek rindu Maslah. Siapa lagi kalau bukan Mas yang Adek rindukan? Adek juga pengin kayak wanita-wanita lain yang sudah bersuami juga. Tiap malam bobok dikelonin, kalau capek ada yang pijitin, kalau ada masalah tidak usah ngomong sama HP lagi, tapi cerita ini itu di atas ranjang sambil dipeluk, dielus-elus rambutnya, dicium-cium, dimanja-manja," ungkapnya.
"Dek, please udahan dulu ngebayanginnya. Mas jadi makin kangen sama Adek. Malam ini Mas kan cuma ditemani guling. Belum ditemani sama Adek lagi, jadi tidak luculah kalau Mas peluk dan cium guling gara-gara kangen Adek. Nanti dikira Mas tidak waras lagi," ungkapku.
"Hahaha … Mas … Mas. Mau bikin Adek baper kok malah Mas yang baper. Kan memang istrimu ini selalu ngangenin," rayunya.
"Ya pasti, Dek. Kalau tidak ngangenin pasti Masmu ini tidak akan pulang seminggu sekali menempuh jarak Jakarta-Semarang demi bertemu dengan istriku tersayang," jawabku.
"Mas bisa saja. Sudah ah, ayo bobok! Sudah malam, besok telat masuk kerja malah repot." Andrea mengingatkan untuk segera mengakhiri percakapan kami malam itu dan segera beristirahat.
"Oke Sayang, selamat istirahat. Sampai jumpa besok Sabtu, ya. Nanti pas ketemu, siap-siap Mas unyel-unyel, cubit-cubit pipinya yang bikin gemes, peluk-peluk, cium-cium sampai kangennya hilang," ucapku.
"Siap, Adek akan obati kangen Mas besok kalau ketemu. Service terbaik dari Adek dengan layanan prima. Hehehe …." canda Andrea.
***
Sekitar 1 bulan mengajukan mutasi/pindah tugas dengan alasan mengikuti suami, akhirnya Andrea bisa tinggal di Jakarta bersamaku. Kami memutuskan untuk kontrak di rumah petak yang tidak jauh dari stasiun tempat Andrea bekerja. Setelah tinggal bersama, pesan dari orang tak dikenal sudah tidak pernah aku dapatkan lagi. Begitu pun dengan kehidupan kami.
Meskipun hidup sederhana, tapi kami merasa cukup bahagia. Karena akhirnya setelah lama terpisah oleh jarak, kami bisa hidup bersama. Tak perlu lagi menahan rindu selama berhari-hari. Cukup menahan rindu dalam hitungan jam dan akan terbayarkan ketika bertemu di rumah sepulang bekerja.
Awal kehidupan rumah tangga kami di Jakarta bisa dikatakan cukup baik. Meskipun lelah bekerja, tapi Andrea selalu menyempatkan waktu untuk memasak untuk kami. Tak jarang, aku membawa bekal makan siang yang sudah disiapkan Andrea sejak subuh.
Sabtu dan Minggu biasa kami habiskan di luar rumah untuk menikmati kebersamaan kami. Entah itu sekedar nonton film di bioskop, makan di luar, pergi ke taman dekat rumah, pergi ke taman bermain, ataupun berkunjung ke tempat wisata. Kami selalu mencoba tetap romantis meskipun sudah tidak pacaran. Bagi kami, pacaran setelah menikah lebih nikmat daripada pacaran sebelum menikah.
Sebelum menikah, bahkan kami harus merasa khawatir jika hubungan kami diketahui oleh mama dan papa Andrea saat itu. Backstreet membuat kami harus kucing-kucingan dari mereka. Tidak pernah update status di media sosial layaknya pasangan muda lainnya. Bahkan untuk mengantar Andrea pulang sampai ke rumah saja aku tidak berani. Takut niat baikku akan berakhir dengan kekecewaan dan berakhirnya hubungan kami.
Setelah menikah, kami tidak perlu lagi memikirkan batasan-batasan tertentu. Hal-hal yang tidak diperbolehkan selama berpacaran, bahkan menjadi sebuah ibadah yang bisa kami kerjakan sebagai pasangan suami istri yang telah menikah. Sesekali aku merasa menyesal. Bukan menyesal karena telah menikah dengan Andrea, melainkan menyesal kenapa tidak dari dulu Aku menikahinya.