Setelah sekitar dua tahun menikah, aku dan Andrea masih belum juga dikaruniai momongan. Kami sebenarnya tidak begitu mempermasalahkan hal itu, tapi berbeda dengan orang tua kami, terlebih mama dan papa Andrea.
"Assalamu'alaikum, Sayang. Bagaimana kabar kalian di sana?" sapa mama Widuri melalui panggilan video.
"Alhamdulillah sehat, Ma. Mama dan Papa kabarnya bagaimana? Semoga Mama dan Papa sehat terus, ya. Kangen deh sama Mama," jawab Andrea.
"Alhamdulillah Mama dan Papamu sehat, Sayang. Gimana nih, sudah ada calon cucu belum di perut Kamu?" tanya mama Widuri.
"Hm ... belum nih, Ma. Doakan ya, biar Rea bisa segera menjadi seorang ibu hebat seperti Mama," jawab Andrea.
"Iya, Nak. Mama selalu berdoa yang terbaik untuk Rea dan Tino. Mama juga kan ingin cepat-cepat menggendong cucu. Kasihan Mama dan Papamu ini kesepian semenjak Rea tinggal di Jakarta sendiri. Jangan capek-capek ya, Sayang, biar badan Kamu juga kuat. Kalau kecapekan, apa lagi di Jakarta jalannya kan padat gitu, jadi ya harus ekstra hati-hati biar cepat dikaruniai momongan. Oh iya, jangan lupa ke dokter kandungan juga. Yah, namanya juga usaha, biar disegerakan. Ya, Nak?" pinta mama Widuri.
***
Azan Subuh sudah berkumandang. Aku ingin beranjak dari tempat tidurku, tapi ada sesuatu yang terasa menahan tubuhku. Kubuka selimut yang membalut tubuhku, lalu kudapati tangan istriku tengah memelukku erat. Aku pun berbalik, mencoba menatap wajahnya. Tak biasanya dia bersikap manja seperti itu.
Aku tak menyangka bahwa dia sudah terlebih dulu bangun dari tidurnya. Mengingat semalam dia lembur hingga dini hari, demi menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan kantornya.
Aku bertanya padanya karena apa yang dia lakukan saat itu bukan merupakan kebiasaannya. "Ada apa, Sayang? Kok tumben-tumbenan manja mesra begini?"
Sambil tersenyum dia menjawabku, "Tidak ada apa-apa kok, Mas."
Aku semakin curiga, tapi mencoba menganggapnya biasa. Kuambil air wudu, kubasuhkan ke wajahku. Selesai wudu, kukeringkan wajah yang mulai meneteskan air ke lantai kamarku. Tiba-tiba gelap. Mataku ditutup oleh tangan mungil yang aku kenal. Tangan mungil milik istriku, Andrea. Kubalikkan badanku lalu kudapati kejutan terindah seumur hidupku. Dua garis merah dari alat yang dinamakan testpack tampak jelas di depan mataku.
Aku berseru, "Alhamdulillah ya, Tuhan! Akhirnya, Engkau titipkan kepada Kami buah cinta kami berdua." Aku mengungkap rasa syukurku.
Kupeluk erat tubuh istriku. Kukecup kening dan pipinya, sebagai ungkapan rasa sayang tak terkira. Tanpa kudadari, air mataku menetes dengan sendirinya.
"Akhirnya ya, Mas!" ungkap Andrea sembari menyeka air mataku.
"Iya Dek, Alhamdulillah!" jawabku.
"Mas Tino senang?" tanyanya.
"Kok pakai ditanya lagi, ya sudah pasti Mas senang sekalilah!" ungkapku penuh kebahagiaan.
Kuusap-usah perut istriku, Andrea. Kuciumi janin di dalam perut ibunya yang bukan lain adalah istriku. Akhirnya, Tuhan telah mengabulkan doa-doa kami selama ini. Setelah penantian selama dua tahun lamanya, akhirnya buah hati kami melengkapi kebersamaanku dengan Andrea.
"Sehat-sehat ya, Sayang. Jangan terlalu capek, jangan setres, jaga dedek di dalam perut dengan baik. Kalau Sayang pengin makan apa gitu, bilang saja. Nanti Mas belikan. Tapi, ngidamnya jangan susah-susah, ya. Hehehe ...," ucapku pada Andrea.
"Iya Mas, insyaAllah Adek akan jaga dedek bayi di dalam perut. Terima kasih juga karena Mas sudah mau menjadi suami siaga. Oh iya, enaknya panggilan kita diganti apa, ya? Ayah-Bunda, Mama-Papa, Mami-Papi, Umi-Abah?" tanyanya.
"Sayang inginnya dipanggil apa? Mas ngikut saja," jawabku.
"Oke, Mami-Papi saja ya?" pinta Andrea.
Akhirnya, kami memutuskan untuk memulai panggilan kesayangan Mami-Papi. Hitung-hitung belajar membiasakan diri saat nanti dipanggil buah hati kami.
***
Waktu berjalan begitu cepat. Kandungan Andrea telah memasuki usia tujuh bulan. Berhubung kami tinggal di rumah petak yang sangat sempit dan tidak memungkinkan bagi tumbuh kembang seorang bayi, kami memutuskan untuk membeli rumah dengan pembayaran kredit. Akhirnya, kami mulai mencari rumah lain yang kami inginkan dan mengakhiri masa sewa rumah yang kami tempati sebelumnya.
Perut Andrea semakin membesar, kami memutuskan agar dia melahirkan di Semarang saja dan urusan pindahan, aku yang akan menanganinya. Dalam perjalanan menuju rumah keluarga Andrea, dia mengalami kontraksi. Kami yang hanya berdua di mobil, membuat aku kebingungan dan hanya bisa menginjak gas lebih kencang dari sebelumnya.
Mata fokus pada jalanan, mulut komat-kamit membaca doa sembari menenangkan Andrea. "Tarik nafas ... hembuskan! Tarik nafas ... hembuskan! Sabar ya, Sayang. Sebentar lagi kita sampai di rumah sakit." Sambil kuelus perut istriku, mencoba berbicara dengan buah hati kami yang masih berada di dalam perut. "Anak pintar, sabar dulu ya, Sayang. Nanti bantu Mami ya biar Mami tidak merasa kesakitan saat mau bertemu dengan Adik."
Akhirnya, mobil kami keluar dari Tol Semarang dan langsung kuinjak gas menuju rumah sakit terdekat. Air ketuban Andrea sudah mulai pecah, membasahi jok kursi mobil yang dia duduki. Kepanikan dan pikiran yang tidak bisa tenang membuat aku lupa untuk menghubungi Mama dan Papa.
Dalam kepanikan dan penantian kabar dari kondisi Andrea yang langsung dilarikan di ruang bersalin, ponselku berdering. Mama dan Papa menelepon, menanyakan posisi kami yang sampai petang belum sampai ke rumah. "Nak, kok jam segini belum sampai rumah. Kalian sampai mana? Tidak terjadi apa-apa, kan?" tanya mama Widuri.
"Iya Ma, maaf. Tadi keadaannya sedang kacau. Ini Tino sedang di rumah sakit yang di dekat tol itu lo, Ma. Andrea tadi mengalami pecah ketuban, sekarang masih ditangani dokter," terangku.
"Astaghfirullah, terus sekarang keadaan Rea dan bayinya bagaimana?" tanya mama Widuri.
"Tino masih belum tahu, Ma. Ini Tino masih menunggu di luar. Karena tidak diperbolehkan masuk ke ruang tindakan." Aku mencoba menjelaskan keadaan.
"Baiklah, kalau memang seperti itu keadaannya, Mama akan menyusul ke rumah sakit bersama Papa. Tunggu ya, Nak. Semoga Rea dan cucuku selamat." Mama Widuri terdengar sangat cemas dan penuh harap memikirkan keadaan putri dan cucunya.
Aku menanti istri dan anakku dengan penuh kesabaran. Segala doa kupanjatkan demi keselamatan kedua orang yang kucintai tersebut. Aku menunggu dengan penuh harap dan cemas.
Rasa lelah membuat aku tertidur. Perjalanan jauh dan melelahkan membuatku membuatku tertidur di tengah kecemasan yang kurasakan. Hingga akhirnya seorang petugas rumah sakit membangunkanku. Dia memberi tahu bahwa Rea dan bayi kami sudah berhasil ditangani. Alhamdulillah, keduanya selamat dan tidak ada kekurangan suatu apa pun.
Tuhan sudah melindungi mereka. Seketika aku berjanji untuk melindungi istri dan anakku dengan sepenuh jiwa. Jika nyawaku menjadi taruhannya pun aku rela. "Bagaimana keadaan cucuku?" Kedatangan Mama dan Ayah mengagetkanku. Mereka terlihat panik dan tidak sabar untuk mengetahui keadaan Rea dan bayinya.