Jumat malam setelah pulang kerja, aku memutuskan untuk melakukan perjalanan menuju Semarang. Sesuai janjiku kepada tante Widuri dan Andrea, aku akan bertamu ke rumah keluarga mereka. Kedatanganku disambut hangat oleh tante Widuri dan Andrea. Namun, tidak dengan om Indra. Dia masih bersikap dingin terhadapku. Tante Widuri mengatakan bahwa om Indra sudah tahu bahwa aku akan datang. Sehingga, tante Widuri berpesan untuk tidak mengambil pusing sikap suaminya terhadapku. Kagetnya aku, ketika Andrea, tante Widuri dan diriku tengah asyik berbincang hangat di ruang tamu, om Indra bersedia untuk bergabung bersama kami.
"Jadi mau Kamu apa, Rea? Kamu mau Aku mengizinkanmu menikah dengan Tino?" tanya om Indra kepada Andrea. Rea adalah nama kecil Andrea.
"Kan sudah berulang kali Rea ungkapkan, Pa. Kok masih nanya lagi?" jawab Andrea.
"Kamu itu sudah dewasa, sudah bekerja ... tidak perlulah mogok-mogok makan lagi seperti zaman masih bocah dulu. Setiap kali minta sesuatu dan tidak dituruti, pasti merengek dan mogok makan seperti sekarang," ungkap om Indra.
"Biarin! Habisnya Papa tega. Sudah tahu Rea cuma sayang sama Tino, tetap saja berniat menjodohkan Rea dengan Aldo anak teman Papa itu," pungkas Andrea.
"Papa bertindak seperti itu karena memikirkan masa depan Kamu, Rea. Ya memang, Papa juga tidak boleh seenaknya memutuskan untuk menjodohkan Kamu dengan Aldo. Papa juga mempertimbangkan bibit, bebet dan bobot juga. Itu semua demi Kamu, Rea," ungkap om Indra.
"La memangnya bibit, bebet, bobotnya Tino, kenapa? Keluarganya baik kok ... iya kan, Tino?" tanya Andrea.
Aku terdiam di antara percakapan ayah dan anak ini.
"Ya memang keluarga Tino baik, tapi maaf ya sebelumnya ... Kamu kan tahu kalau Tino berasal dari keluarga yang bisa dibilang kurang mampu. Papa dan mamamu ini sudah mulai tua, tidak akan bisa selalu menjaga Kamu, anak kami satu-satunya. Kami takut, jika suatu saat Kamu bersama Tino dan kami tidak bisa membantu lagi, Kamu akan kesulitan di masa yang akan datang. Menjalani rumah tangga itu tidak semudah yang kalian bayangkan," ungkap om Indra mulai terdengar lirih.
"Mohon maaf Om, jika Saya lancang. Tino janji, jika Om dan Tante merestui Saya untuk menikahi Andrea, Saya akan menjaganya selayaknya Om dan Tante menjaganya selama ini. Dan Aku akan selalu menyayanginya hingga akhir hayat nanti. Saya menyadari bahwa orang tua saya bukanlah orang kaya seperti Om dan Tante da Saya tidak bisa merubah semua kenyataan itu. Hanya saja, Saya masih bisa merubah masa depan Saya untuk menjadi lebih sukses dan mensejahterakan keluarga Saya nantinya. Tidak mungkin jika Saya akan menerlantarkan keluarga Saya yang amat sangat Saya sayangi. Terlebih kepada Andrea, calon istri Saya," tandasku.
"Ya sudah, mau bagaimana lagi. Yang menjalankan kan kalian. Yang pasti, Om tidak mau nantinya kalian menyesal atas keputusan yang kalian ambil. Terlebih Kamu Rea, yang sejak lahir sudah terbiasa hidup mewah. Apa-apa sudah tersedia. Minta ini minta itu selalu kami turuti. Sekarang Kamu sudah dewasa, sudah mau hidup dengan keluargamu sendiri, jadi mulai sekarang, cobalah untuk lebih dewasa lagi. Papa dan mamamu ini hanya bisa mendoakan, semoga kalian nantinya bisa selalu bahagia," pinta om Indra.
"Aaa ... Rea sayang Papa!" ungkap Andrea sambil memeluk papanya.
Akhirnya aku berhasil mendapatkan restu orang tua Andrea. Keesokan harinya aku datang kembali ke rumah keluarga mereka bersama keluargaku untuk melamar Andrea secara resmi. Resepsi pernikahan pun digelar. Tak banyak tamu yang kami undang, hanya undangan dari pihak keluarga Andrea yang terlihat ramai berdatangan. Maklum, keluarga kami hanya mampu menyumbang sebagian kecil dari biaya acara pernikahanku dengan Andrea. Selebihnya om Indra yang banyak mengeluarkan uang untuk resepsi pernikahan kami.
Awalnya aku dan Andrea ingin menyelenggarakan pernikahan sederhana, tapi om Indra menolak. Mengingat Andrea adalah anak satu-satunya dan posisi om Indra di perusahaan cukup tinggi. Jadi, dia berpendapat bahwa pernikahan anaknya harus mewah dan mengundang banyak kolega bisnis. Daripada berujung perdebatan, akhirnya kami memilih untuk menurut saja. Meskipun hati kecilku merasa tidak enak karena tidak bisa membantu banyak dalam hal biaya, tapi apalah daya. Bukankah menikahkan anak adalah kewajiban dari orang tua.
Cuti untuk menikah hanya kudapatkan selama 3 hari, sehingga aku tak bisa berlama-lama di Semarang. Aku harus meninggalkan Andrea bersama papa dan mamanya, sementara aku kembali berkerja ke Jakarta. Dia belum bersedia untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya, orang tuanya pun sependapat dengannya. Sehingga, aku harus merelakan diri untuk hidup berjauhan dengannya. Long Distance Marriage (LDM) adalah sebutan orang-orang untuk hubungan kami saat ini. Rasanya sedih, pada saat masih berpacaran dulu kami sudah LDR-an, tapi ternyata setelah menikah kami masih harus LDM-an. Entah bisa bertahan berapa lama, yang pasti aku tidak akan menyerah untuk merayu istriku. Memintanya untuk ikut tinggal bersamaku di Jakarta.
***
"Drrrtt...." Ponselku bergetar. Kubuka pesan yang muncul pada pemberitahuan ponselku. Terlihat sebuah foto Andrea bersama pria lain. Entah siapa pengirim pesan tersebut, aku belum pernah tahu nomor pengirim foto tersebut. Aku berusaha mengabaikannya, meskipun hatiku sebenarnya merasa sedikit gelisah. "Cobaan apalagi ini, Tuhan. Belum ada seminggu Aku meninggalkan istriku di kampung, Engkau tunjukkan kepadaku foto yang meninggalkan sejuta persepsi," ucapku dalam hati.
"Kamu bisa saja mengabaikan pesanku, tapi berterimakasihlah ... setidaknya Aku memberi tahumu siapa sebenarnya wanitamu." Pesan itu dikirim menyusul pesan berisikan foto istriku bersama pria lain.
"Terima kasih atas informasi yang telah Anda berikan. Anda tidak perlu repot-repot membuntuti istri saya. Karena Saya lebih mengenal dia daripada Anda. Dan mohon untuk tidak lagi mencampuri urusan rumah tangga kami. Lakukanlah hal lain yang lebih bermanfaat bagi kehidupan pribadi Anda, jika memang waktu Anda terlalu banyak tersisa," balasku tanpa mau meladeni nomor tanpa nama itu.
Mendapatkan beberapa pesan selama satu minggu terakhir dengan motif yang sama, membuat aku menjadi sedikit over protective terhadap Andrea.
"Sayang, pulang kantor jam berapa?" tanyaku pada Andrea.
"Ya seperti biasa, Mas. Paling ku dari kantor jam 5-an," jawabnya.
"Pulang kantor mampir-mampir tidak? Kalau bisa Adek langsung pulang saja ya, biar magrib sudah ada di rumah," pintaku.
"Ya … biasanya juga seperti itu," jawab Andrea.
"Dek, tolong dipertimbangkan lagi permintaan Mas untuk Adek ikut ke Jakarta," pintaku.
"Adek kan sudah sering bilang ke Mas, kalau Adek resign akan susah lagi cari kerja. Secara status Adek sekarang sudah menikah, bukan lajang lagi. Mana sekarang Adek sudah bukan fresh graduated lagi. Pasti Adek akan kalah saing dengan pelamar lainnya," ungkapnya mengkhawatirkan kesulitan mendapatkan pekerjaan baru.
"Rejeki sudah ada yang mengatur, Dek. Yang penting sebagai umat-Nya, kita harus selalu berusaha dan berdoa. Toh masih ada Mas yang akan menafkahimu. Jadi, Adek tidak perlu khawatir," rayuku.
"Iya, Adek tahu kok! Tapi sayang ijazahku, kalau tidak digunakan untuk bekerja. Kasihan dong papa dan mamaku yang sudah menguliahkanku tinggi-tinggi, tapi hanya akan berakhir menjadi ibu rumah tangga saja," ungkapnya.
"Dek, ibu rumah tangga itu bukan 'aja' lho! Itu pekerjaan yang luar biasa. Melayani suami, menjaga anak-anak, menjadi guru terbaik untuk anak-anak kita nanti. Yang paling penting menjadi istri itu harus taat kepada suaminya," tandasku.
"Kalau mau dilayani ya cukup pakai pelayan saja. Anak-anak juga pasti keurus kok walaupun Aku kerja di luar sekali pun. Sudahlah, Mas jangan egois. Kalau mau, Mas saja yang cari kerja di Semarang," pintanya.
"Kok malah Mas yang harus mengalah, Dek? Posisi Mas sebagai kepala keluarga, bertanggung jawab untuk menafkahi Kamu dan keluarga kita. Selain itu posisi Mas di kantor juga sudah lumayan," jelasku tidak ingin mengalah.
"Terserah, Mas saja! Tuuut ... tuuut … tuuut ...." Andrea menutup teleponnya.
Entah apa yang membuat Andrea begitu berat meninggalkan pekerjaannya di Semarang. Padahal seharusnya, dia lebih merasa berat berjauhan dengan suami daripada meninggalkan pekerjaan. Lagi pula, masih banyak lowongan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi yang Andrea miliki. Aku yakin, dia akan mendapatkan pekerjaan baru dengan mudah dengan kemampuan yang dia miliki.
Aku mengenalinya dengan sangat baik dan aku yakin akan itu. Karena dia adalah istriku. Aku juga tidak akan berdiam diri melihat dirinya kesulitan mencari pekerjaan. Aku akan membantunya semaksimal mungkin, demi bisa melihatnya bahagia. Karena aku tahu, Andrea sangat menikmati pekerjaannya dan dari dulu dia memang ingin menjadi seorang wanita karir yang sukses.
Meskipun di dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku ingin dia tetap di rumah saja bersama anak-anak kami nantinya. Namun, aku tidak ingin mengekang ataupun menuntut banyak. Sudah bersedia menikah denganku yang belum punya apa-apa saja, sudah merupakan hal yang luar biasa baginya.
Sempat terlintas di benakku, apakah foto tempo hari mengartikan sesuatu? Apakah memang istriku tengah dekat dengan pria lain? Sayangnya, aku belum sempat menanyakan hal itu kepada Andrea. Takut kalau kami akan lebih sering berselisih paham. Perkara mengajak tinggal di Jakarta saja sudah membuat kami bertengkar, apalagi masalah orang ketiga.