Nindy, Bunda Haikal.
Wanita paruh baya itu tengah berada di ruang konseling, bersama Ayah dan Ibu Andhika.
Nindy sangat cemas ketika mendengar kabar Putra sulungnya kini dirumah sakit, karna pertengkaran hebat dengan Andhika.
"Saya benar benar minta maaf atas kelakuan Anak saya.."
Pria paruh baya itu menunduk memohon maaf atas kesalahan yang dibuat Andhika.
Nindy tak ingin melihat mereka, wanita itu hanya menatap jendela disampingnya. Nindy sudah cukup sabar, dan selalu menyalahkan Haikal atas pertengkarann Haikal dan Andhika, kali ini Nindy tidak bisa memaafkan kesalahan Andhika.
"Menurut kalian.. apa pantas manusia merusak makam?" ujar Nindy mulai bersuara.
"Selama ini saya sudah cukup sabar, saya sudah cukup mengalah... bahkan saya selalu salahin anak saya atas kejadian yang sering mereka lakukan.."
"Tapi kali ini, kayaknya saya gak bisa maafin Andhika.."
"Nindy-"
"Anak saya gak pernah salah, dan saya selalu mendidik Haikal dengan baik... kalau saja Andhika gak mancing, Haikal gak akan seperti ini.. menurut kalian ini salah siapa?" tegas Nindy, membuat kedua orang itu terdiam.
"Saya tau kalian gak begitu dekat dengan Putra kalian... tapi bisa gak kalian lebih dekat lagi sama Andhika?"
"Saya juga gak bisa bela Andhika terus terusan, saya juga punya anak, dan anak saya dekat dengan anak kalian.."
"Saya sangat mengerti yang Andhika alami, dia kesepian setelah kehilangan Kakeknya, makanya dia berbuat kayak gini, sebenarnya Andhika marah sama kalian, tapi dia lampiasin ke anak saya.."
"Jadi saya minta... kalian bisa kan lebih perhatian lagi sama Andhika?"
"Saya rasa udah gak ada yang dibahas lagi.. saya pamit," ujar Nindy.
Lalu ia bergegas, menuju rumah sakit, dimana Haikal masih tak sadarkan diri.
...
Haikal masih terbaring dirumah sakit, ia tak sendiri, ada Yanu dan Jian juga, mereka berada dirumah sakit.
"Andhika sekarang gimana?" tanya Yanu pada Jian.
"Dia juga sama, belum sadar.." ujar Jian.
"Terus kenapa lo kesini? Andhika ada temennya?" tanya Yanu lagi.
"Gue pengen liat Haikal bentar, abis itu gue temenin Andhika lagi."
Yanu menghela pelan, menatap temannya yang masih terbaring dengan alat infus nya.
"Haikal pasti capek ngadepin Andhika.." ujar Yanu.
Lalu Jian mengangguk, "Padahal dulu mereka deket banget."
"Bener... tapi semenjak Kepala Direktur di alihin ke keluarga Haikal, Andhika jadi gak suka sama Haikal.." imbuh Yanu.
Ponsel Haikal berdering, tertera disamping meja kecil dekat ranjang Haikal.
Yanu dan Jian saling menoleh, lalu keduanya mendekat mengambil ponsel yang masih dalam posisi berdering.
'Bang Willy'
"Bang Willy siapa?" tanya Yanu pelan, lalu Jian menggeleng.
"Angkat aja, siapa tau penting," tutur Jian.
Lalu Yanu mengangkat telepon yang barusan masuk.
"Haikal! kamu dimana?" tanya seorang pria diseberang telepon.
"Maaf bang, ini temennya Haikal."
"Hah? Haikal dimana?"
"Maaf lagi bang, ini siapanya Haikal?" ujar Yanu pelan.
"Abangnya, saya Abangnya Haikal!"
Yanu mengerutkan keningnya, menatap Jian bingung, mungkin ia sedang bertanya sejak kapan Haikal punya Abang?
"Oh ini bang, Haikal lagi dirumah sakit, belum sadar." terang Yanu.
"Haikal kenapa? dirumah sakit mana? saya kesana sekarang!"
Yanu mendengar nadanya tampak khawatir, mungkin benar pria diseberang telepon itu abangnya.
"Rumah Sakit Intan Pramana bang! diruang VIP no. 207."
Yanu mengerutkan keningnya setelah telepon ditutup secara sepihak, lalu ia kembali meletakkan ponsel Haikal di meja.