Baru saja keduanya duduk, tapi alarm di jam Dirga sudah berbunyi begitu juga dengan ponsel Tita.
Itu berarti mereka tak bisa menemani Tiqah menyantap makanan, "Yah.."
Keduanya saling lirik, dan Dirga tampak berat harus meninggalkan sahabatnya Ashilla.
Begitu juga Tita yang terlihat berat merelakan siomay kesukaannya yang baru saja tiba. "OMG," gadis bertubuh gempal itu hanya menelan ludah.
"Kita cabut duluan yah," ucap Dirga dengan menarik sebelah tangan Tita.
"Yah, gue sendiri dong, mana gue laper banget," gumam Ashilla memegangi perutnya yang sudah memberontak minta jatah.
Dirga bergerak mendekat pada Ashilla dan mengelus punggung sahabatnya, "Tenang! Habisin aja nanti gue yang tangani," Tita pun ikut mengangguk setuju.
Dengan begitu Ashilla bisa makan dengan legah, "Thanks ya guys," lambai tangan Ashilla pada kedua sahabatnya. Dan dibalas senyum oleh keduanya.
****
Suasana Kantor yang hening dan juga terkesan tegang membuat kedatangan Tita dan juga Dirga bertanya-tanya.
Keduanya masuk dalam barisan, berdiri tegak menghadap ke depan dan Dirga dengan cepat mengeluarkan sapu tangan mengelap keringatnya di sekitar dahi.
Sementara Tita ia mencuri curi waktu untuk memperbaiki make up-nya yang sudah luntur.
Terutama warna lipstiknya yang sudah pudar, ia memilih menimpanya dengan warna merah segar.
Dan mengecap ngecap, merapikan bentuk bibirnya dengan cepat. Juga tak lupa ia mengcover wajahnya dengan bedak padat.
"Hushh, hushh," Kinnan memberikan kode pada Tita seolah ia meminta Tita untuk menyimpan alat make up nya.
Untung saja Tita peka, dia dengan cepat memindahkan alat make up itu ke bagian belakang tubuhnya.
Dan semua mata terpana pada kedua sosok yang masuk dari pintu utama. 2 sosok itu diiringi oleh 4 orang bodyguard.
Membuat dahi Tita dan juga Dirga mengernyit, tak hanya itu leher beberapa orang pun memanjang seolah ingin tahu lebih dulu siapa orang yang ada di di lingkaran penting itu.
Penjagaan yang begitu ketat, sudah dapat dipastikan jika 2 orang itu pejabat tinggi, dan memiliki peran vital.
Sementara seorang laki-laki yang sedari tadi pagi sudah terlihat, Ia pun ikut menyambut kedatangan orang penting itu.
Dan berada di barisan paling depan, Ia seolah membuka jalan dan juga memberi arahan untuk lewat.
Karpet merah yang memang sudah dipersiapkan serta dekorasi yang apik. Sebenarnya ada penyambutan apa ini? Membuat detak jantung Tita berdegup kencang, ditambah lagi Ashilla yang belum terlihat.
Meja disebelah itu kosong, membuat Tita harus membuat alasan yang masuk akal.
Benar saja laki-laki itu memperhatikan meja Ashilla, dan berdiri di sisi Tita. Laki-laki berwajah asing dan belum tahu siapa namanya.
"Ehmm… silahkan tuan, ruangan anda sudah rapi!" ucap nya menyapa seorang pria yang diapit keempat bodyguard.
Laki-laki dengan bola mata biru dan kulit putih, gen asing nyata dimilikinya. Berambut pirang juga memiliki hidung yang mancung menukik. Sempurna untuk ukuran laki-laki idaman.
Langkahnya tampak Arogan, juga lirikan matanya yang tajam membuat senyum Tita tenggelam. "Siang pak," Tita mencoba menyapa.
Benar saja ia tak menggubris, dan berlalu meninggalkan meja kerja satu persatu. Beliau digiring ke lantai atas.
Ditutup langkahnya oleh si pria yang ada di sebelah Tita. Membuat karyawan lainnya pun segera membubarkan diri dan bergegas ke meja kerja masing-masing.
Termasuk Tita dan Dirga. Keduanya bisa menghela nafas legah. "Huhhh," tapi lagi-lagi, wajah Dirga masih terlihat cemas.
Melihat meja Ashilla yang kosong. Ia terus memperhatikan pintu, berharap Ashilla segera kembali.
"Den," panggil Tita, dengan memberikan ponselnya yang tadi sengaja dititip pada Tita.
Dirga dengan cepat mengusap layar ponselnya, dan--
CK!
Lidahnya berdecak, "Kau ini mengkhawatirkan ku saja!" gerutu Dirga dengan wajah cemas.
Sementara Tiqah berjalan cepat dan terduduk di kursinya dengan peluh yang menimpah wajahnya.
"I'm so--sorry, because my stomach hurts, so i have to go back,"
"Hmm, oke,"
"Apa ada masalah?" tanya Ashilla yang ditatap tajam oleh kedua sahabatnya.
Tita tersenyum getir, "No, semua baik," jawab Tita seadanya, dan meminta Ashilla untuk mengelap peluhnya.
Tita dan Dirga belum bercerita mengenai kejadian barusan. Apalagi mengenai kantor mereka yang kedatangan orang-orang penting.
Tita meminta Ashilla bekerja seperti biasa, dimana ia akan membuat laporan pengeluaran perusahaan, sedangkan Ashilla akan membuat rencana pembelanjaan perusahaan.
Sudah 3 tahun keduanya bekerja di posisi masing-masing, dan mereka bisa diandalkan oleh Bu Martha.
Tak seperti biasa, ruangan kerja ini dirasa terlalu hening dan tenang. Biasanya beberapa orang menyalakan musik, termasuk sahabatnya Tita.
Ashilla mengedarkan pandangannya, ia keluar ruangan, melirik ke arah kiri dan kanan, semua tampak fokus bekerja. Dan membuat Ashilla meraih kalender duduk di meja kerja.
"Why?" tanya Ashilla dengan heran, pasalnya ini masih tanggal 12, bukankah ini tanggal santai untuk karyawan seperti mereka, ditambah lagi ini adalah hari Rabu.
Tiqah melemparkan sekepal kertas kecil, mengecoh pekerjaan Tita. "Hush! Hush!" Tiqah meminta Tita meliriknya.
Ruangan Tiqah dan Tita hanya berbatas dinding bening setinggi dada. Jadi masih memungkinkan keduanya saling mengobrol.
Tapi sudah 2 jam lebih Tita tampak tak berkedip menghadapi komputer nya. Bukankah biasanya Tita mengeluarkan sebongkah biskuit ataupun makanan ringan lainnya?
Tiqah benar-benar aneh, juga Dirga yang tampak tak muncul-muncul keruangan keduanya. Sedangkan Tiqah merasa pekerjaannya sudah cukup longgar.
"Ray, Ray, gue ada apa nih," goda Tita menunjukkan sekaleng kecil coklat berwarna warni.
Lagi-lagi Tita tampak tak tertarik, ia malah memilih mengelap kacamata dengan massa, kembali menekan keyboard dengan sepuluh jari.
"Huhh, baiklah kalau kau tak mau, biar aku saja yang habiskan," gerutu Ashilla yang membuka kaleng coklat dengan semangat, ia juga menghabiskan hampir setengah isinya.
Kali ini ia butuh minum, gadis itu bangkit dari kursi mendekat pada dispenser yang ada di ujung ruangan.
Melewati koridor, dimana semua ruangan tampak hening, semua karyawan terlihat seperti zombie yang memacu komputer nya dengan tak berkedip.
"Orang-orang yang aneh," gumam Tiqah.
Ia hanya ingin menyeduh kopi hangat, dan memilih menggunakan mug hello Kitty kesayangannya.
Jarinya lincah, dan tak lama kopi susu itu sudah jadi. Tiqah membalik badan berjalan hati-hati menuju ruangannya.
"Padahal dia tampan ya, tapi sayang, ia terlihat tak ramah,"
"Bener, belum lagi ia sama sekali tak membalas senyum kita," sahut Kinnan.
"Sebenarnya siapa yang mereka bicarakan?" tanya Ashilla penasaran.
Suara itu hanya terdengar sayup-sayup di kupingnya, saat Tiqah mendelik ke ruangan Kinnan semua memilih diam.
"Hei," sapa Tiqah.
Kinnan dan teman di sebelahnya hanya menoleh dengan wajah datar.
Membuat Tiqah pun tak enak hati untuk bertanya. "Upss.. maaf, kalau aku mengganggu,"
Tiqah berjalan cepat kembali ke meja kerjanya.
Meletakkan segelas kopi di dekat keyboard, dan kembali mengendur dinding pembatas ke arah Tita, "Ray, Ray, anak-anak kenapa sih?" tanya Ashilla penasaran.
Tita hanya mengangkat kedua bahunya, "Gak tau deh kenapa," jawab Tita ketus.
"Ih, Lo gak tau?"
"Apa?" lirik Tita