Untung saja Gernald tak membiarkanku begitu saja, ia terlihat sigap dan mengejarku dengan cepat.
"Hei tunggu!" Gernald berteriak, dan menyuruh angkot itu melaju meninggalkan ku.
Ingin sekali aku tertawa, tapi ku coba menarik nafas panjang dan mengeluarkannya perlahan.
Gernald menarik tangan kanan ku, dan mendudukkan ku di sebelah kemudi. Ia pun segera membidik mobilnya dengan laju pelan.
Sesekali ku lirik wajah Gernald yang tampak serius mengemudi, aku menantikan momen laki-laki itu meminta maaf. Dengan sesekali melirik jam tangan.
Lampu merah!
Gernald menginjak rem dengan cepat, dan ia menyalakan musik klasik untuk mengiringi kebersamaan kami yang disertai gemericik suara hujan.
Aku ikut bersenandung sesekali, walaupun hati ku masih kesal, karena dibuat menunggu olehnya.
"Ih-- kapan sih dia minta maaf," gumamku dalam hati.
Sialnya lagi, Gernald terlihat tak ada niat minta maaf padaku, laki-laki itu malah terlihat menyanyi dengan lincah mengikuti si penyanyi.
Suaranya cukup enak didengar, tapi kali ini tidak untukku. Dengan spontan ku matikan musik itu.
Membuat laki-laki berhidung mancung itu menoleh, "Loh kenapa?" tanyanya padaku.
Aku tak menjawab, dan memasang wajah cemberut, berharap ia peka akan kekesalan yang ada di benakku.
Ku eratkan seat belt, dan mata bulat ku menatap lurus ke depan.
Tapi lagi-lagi laki-laki di sebelahku itu malah menyalakan kembali musiknya, kali ini melalui radio.
"Tumben-tumben," gumam ku, dengan menyorot wajah Gernald dari samping.
"Hey, Why?" tanya Gernald dengan senyum tipis.
Lagi-lagi senyum Gernald membuat aku kesal, ingin sekali aku mencubit perut laki-laki itu, tapi aku tak berani. Akhirnya aku kembali diam dan menyibukkan diriku dengan ponsel.
"Hmm,* sesekali aku berdehem, seolah memberikan kode, tapi dia tampak tak peka. Membuat emosi ku semakin menjadi-jadi.
"Ggggr!" Sebelah tangan ku sudah terkepal, dan ponsel itu ku lempar kasar ke dalam tas.
Membuat Gernald menoleh.
"Seharusnya aku tadi ikut dengan Dirga dan Tita saja," celetuk ku kesal.
Gernald menginjak rem mendadak. Kali ini membuat aku menoleh heran padanya.
"Kenapa?" tanya ku.
Gernald menggeleng pelan, dan ia merogoh sebelah koceknya, dan..
Gernald menatapku dengan serius, membuat 4 mata itu bertemu, entah Kenapa jantungku mulai tak karuan.
Stop! Stop! Pinta ku agar tak grogi.
"Sorry, buat kamu nunggu lama," ucap Gernald dengan menyodorkan tangan kanannya.
Membuka telapak tangannya, dan betapa terkejutnya aku, mendapati benda kecil di tengah telapak tangannya yang lebar.
Seketika tawa kecil itu menjadi besar dan menggelegar. "Haha,"
Gigi bawah dan atas ku pun tersorot nyata, juga lesung pipi ku yang terlihat lekuk.
"This is crazy, oh no… are you kidding?"
"No," jawab Gernald singkat.
Jepit kuku berwarna putih dengan ujung berbentuk Panda, itu sangat lucu. Dan yang membuatnya gila adalah jepit kuku itu persis dengan jepit kuku yang pertama kali aku pinjamkan pada Gernald.
Aku tak henti-henti tertawa, ingat akan kenangan 5 tahun lalu. Dimana saat itu Gernald menghilangkan jepit kuku kesayangan ku, dan aku sangat kesal.
Sampai-sampai, 3 hari aku tak membalas pesan darinya, itu sih konyol. Tapi aku pernah ada di fase sekonyol itu.
"Apa kau terkejut?" tanya Gernald melirik ku.
Jujur aku terkejut, ia bisa memiliki ide seperti itu, mungkin untuk memberi hadiah jam mahal, cincin berlian atau sebagainya mudah saja untuk Gernald, tapi entah kenapa hadiah kecil semacam itu lebih membuat ku bahagia.
"Hei jawab!" seru Gernald pada ku.
Aku hanya bisa melempar senyum indah padanya, bagiku tak butuh kata-kata, dari tersenyum tentu ia bisa mengerti.
Gernald meraih tanganku, dan menciumnya selintas. Karena aku tak membiarkannya berlama-lama dengan tangan kananku.
Aku takut jika ia mencium bau minyak goreng, atau mungkin cabai serbuk dari cimol yang aku makan.
Huk.. huk,,
Satu-satunya cara, ya dengan pura-pura batuk tangan kanan itu bisa dengan cepat ku tarik.
Melupakan kejutan kecil itu, aku mencoba membuka pembicaraan pada Gernald.
"Hmm, ada yang ingin kuceritakan," gumamku yang awalnya ragu.
Gernald menoleh, "Cerita aja, mumpung hujannya redah," sahut Gernald santai.
Itulah mengapa aku sangat nyaman dengan Gernald, salah satunya adalah karena ia merupakan pendengar yang baik juga seorang yang bisa mengayomi ku, bahkan kami terlihat seperti kakak adik.
"Tita dan Dirga,"
"Kenapa?" tanyanya pada ku.
Sebenarnya Tita dan Dirga tau siapa Gernald, tapi tentu aku mengenakkan nya sebagai teman, tak lebih.
Dan kedua sahabat ku itu pun percaya saja, tapi berbeda dengan Gernald, ia sangat tau siapa Tita dan Dirga.
Karena aku yang selalu menceritakannya pada Gernald. Lagipula kekasihku itu bukan seorang yang cemburu, ia sangat menghargai persahabatan kami.
"Hari ini mereka berdua berbeda banget," gumamku.
"Lah kok bisa?" Aku mengangguk, "Entahlah," timpal ku.
"Yah, pasti ada something," aku lagi-lagi mengangguk.
"Kira-kira, apa?" Aku mengangkat kedua bahu ku.
"Entahlah!" jawabku.
"Last moment?"
Ku coba ingat-ingat, dan terakhir, "Oh yah,kuceritakan secara detail, dari awal aku berangkat ke kantor sampai akhirnya aku yang mendapatkan hukuman, yang harus membersihkan ruangan manager,"
"What?" Wajah Gernald tercengang mendengarkan cerita ku.
"Apa Bu Martha banyak berubah?" tanya Gernald.
"Tidak!" Jawabku.
Tampaknya aku sedikit lupa, menceritakan jika sebenarnya sudah 2 hari Bu Martha tak masuk kantor. Dan ini adalah hari ke 3 nya.
"But, Mrs. Martha is sick, this is the third day she doesn't work," jawab ku dngan wajah lesu.
Pasalnya Bu Martha seorang pemimpin yang memiliki positive vibes, dan 3 hari kehilangan sosok yang bersemangat membuat Tiqah sedikit kurang greget. Ditambah lagi hari ini ia mengalami kesialan yang beruntun.
Sial karena harus kena hukuman juga sial karena 1 setengah jam menunggu Gernald.
Huhh… Hela nafas Ashilla terdengar berat.
Gernald meraih kembali sebelah tangan Ashilla, "Mungkin kedua sahabatmu juga merasakan hal yang sama, sampai-sampai keduanya tampak tak bersemangat seperti mu,"
Membuat Tiqah menoleh, dan mengangkat kembali kedua bahunya. "MAYBE.."
"PLEASE positive thinking, ok,"
Hal yang sangat aku sukai dari Gernald ialah cara ia menenangkan yabg benar-benar logis dan tak terkesan memaksa.
"Thanks," jawabku.
Gernald kembali tersenyum, dan mencolek hidung pesek milikku, walau serasa terhina tapi aku menyukai sentuhan kecil itu.
Terlihat tak jauh lagi, aku akan tiba di ujung jalan, tempat dimana memang jadi pilihan aku untuk turun.
"Stop!" Pinta ku pada Gernald.
Entah kenapa, kali ini Gernald tak mengiyakan permintaan ku, ia tampak nekat terus saja menginjak gas mobilnya.
Membuat jantungku bekerja keras, "No.. no.. please Jhon, Stop!" pintaku memelas.
Dia malah tertawa kecil melihat wajahku yang takut, tapi aku tak bohong, aku belum siap mengenalkan Gernald pada ibu.
"Please!" Aku terlihat menyembah Gernald.
Gernald melirik ku dengan tatapan beda, seolah ia mengajukan syarat.
"Apa?" tanya ku.
Ia memajukan dahinya, "Cium,"
Ha!!!