Dug..
Dug..
Walau akhirnya,
Aku menggeleng malu, dan memilih turun dari mobil. Mengecewakan kekasihku Gernald.
Ku harap ia menerima keputusan ku, dan memaklumi sikap ku yang masih malu-malu alias belum siap.
Melihat aku yang kesulitan membuka pintu mobil, Gernald menertawai ku. Dan laki-laki itu meraih sebelah bahu ku.
"Sabar sayang!" gumam Gernald.
Aku membalasnya dengan senyum getir dan terus berusaha membuka pintu mobil yang kali ini bisa ku buka dengan mudah.
Aku melambaikan tangan pada Gernald, tapi lampu mobilnya malah ikut padam dan benar saja laki-laki itu ikut turun.
Mengiring dan mengantarkan ku pulang, "Ha," aku menggelengkan kepala, meminta Gernald kembali.
"Gak usah aku bisa pulang sendiri," tolak ku.
Gernald memaksa, ia terus membayangi ku, padahal aku sangat takut jika ibuku tahu, dan marah.
Gernald menarik sebelah tangan ku, dan kini aku berjalan di belakangnya. "Ayo, aku antar, lagipula aku ini kan laki-laki," gumam Gernald dengan langkah besar.
Kini aku berjalan di belakang tubuhnya, dengan sebelah tangan ditarik olehnya.
"Ayo!!!"
Akhirnya mau tak mau aku mengangguk, setuju.
Kami harus berjalan sekitar 100 meter memasuki lorong yang berukuran setengah meter, dengan beriringan.
Rumah semi permanen dengan warna asli kayu, juga permukaan lantai yang tak rata. Itu adalah rumahku.
Aku bergerak cepat mendahului Gernald, dan memintanya untuk berbalik pulang. Lagi-lagi kekasihku menolak.
Ia menyingkirkan tubuhku dengan paksa dan memilih mengetuk pintu rumahku.
Kulirik jam, sudah setengah tujuh malam, itu berarti ibu ada dirumah.
Aku menggeleng takut, "Please sana pulang!" seru ku pada Gernald dengan wajah cemas dan lutut gemetar karena takut.
Beberapa menit berlalu tapi pintu kayu itu masih tertutup rapat, dalam hati aku berharap agar ibu tak membukakan pintu untuk kami.
'Please jangan buka Bu!' batin ku berdoa.
Gernald mengedarkan pandangannya, dan kembali berusaha mengetuk pintu dan mengucapkan salam dengan volume suara lebih keras.
"Assalamualaikum, permisi Bu," panggil Gernald.
Di usaha nya yang ketiga kali, Gernald berhasil, dan suara anak kunci memutar itu terdengar.
Cekrekk,
Aku segera menunduk, dan benar ibu keluar dengan mengenakan mukenah. Ia baru selesai sholat.
Aku menyambut tangan ibu, diikuti juga oleh Gernald. Ibu senyum pada Gernald walau terkesan terpaksa.
"Waalaikumsalam," jawab Ibu dengan memberikan tangan kanannya pada ku dilanjutkan pada Gernald.
"Ma--maaf kalau kedatanganku mengganggu," Gernald menundukkan separuh tubuhnya.
Ibu mengangguk pelan, memberikan kode Gernald untuk duduk di teras. Dan Gernald menangkap dengan baik kode itu.
Ia duduk, dan aku pun bergegas mengambil segelas air putih menyajikannya untuk Gernald.
Dengan irama jantung berdebar, aku memperhatikan dari balik kaca jendela. Terlihat ibu dan Gernald yang terlibat percakapan cukup hangat.
Wajah ibu juga terlihat ramah, aku benar-benar legah, ketakutan ku ternyata salah. Dari ekspresi yang ia tunjukkan tampaknya ia menyukai Gernald.
Aku bisa menghirup nafas dengan legah dan tak khawatir lagi Sekarang, berulang kali aku mengucapkan syukur.
"Alhamdulillah," elus ku pada dada, dan aku bersemangat sekali mengembalikan nampan ke dapur.
Sudah lebih dari 15 menit, ku intip kembali dengan menyingkapkan tirai kaca, dan kulihat mereka masih mengobrol satu sama lain.
"Huhh," Hela nafasku legah. Akhirnya aku memilih meninggalkan keduanya, berlalu membilas diri.
Sembari berjalan aku selalu bersenandung riang, aku senang sekali melihat keakraban di antara ibu dan kekasih ku.
Klepp,
Suara pintu depan tertutup. Membuat ku menoleh, itu berarti ibu dan Gernald sudah mengakhiri kebersamaannya.
Aku mempercepat menyisir rambut panjang ku, dan bersiap keluar kamar. Kusingkapkan tirai kamar dan--
"Sudah berapa kali ibu bilang, jauhi laki-laki itu!" seru ibu dari balik tirai, kehadirannya mengagetkan ku saja.
"I--ibu," bibirku bergetar, tak bisa bohong aku sangat takut mendapati tatapan tajam dari ibu.
Ingin sekali aku bersembunyi di balik tirai, tapi sialnya tirai itu sudah menemukan kami satu sama lain.
Aku hanya bisa meneguk ludah, mendadak tenggorokan ku kering dan rasa terbakar itu benar-benar membuat ku dahaga.
Ku fikir wanita yang melahirkan kubitu setuju dengan hubungan ku dan Gernald, tapi ternyata aku salah.
"Jauhi anak itu, kau dengar!" Ibu berbalik badan meninggalkan ku dengan wajah masam.
Ingin sekali aku bertanya, Kenapa ibu tak menyetujui hubungan ini, tapi mulutku berat. "Tu--tunggu Bu, aku tak ada hubungan apa-apa dengan dia," aku berbohong.
Ibu berhenti, "Gernald!" Jawabnya.
Aku mengangguk, ingatan ibu sangat bagus. "Ya," jawabku.
Semalaman aku tak bisa tidur, aku terus saja membalik tubuhku ke arah kiri juga kanan, dan kadang pada posisi duduk atau telentang.
Sial!
Mata ini masih enggan terpejam, padahal besok aku harus datang lebih awal. Besok adalah hari terakhir di Minggu ini.
Aku terus memukul mukul kepala ku, memaksa mata ini terpejam. Tapi gagal.
Ku coba hibur diriku dengan meraih dan membuka jaringan internet di ponsel ku.
Menghibur diri dengan membaca beberapa novel romantis pada sebuah aplikasi, yang sedang hits.
Yah, Fizzo, aku sangat menyukai novel romantis yang ada di aplikasi itu, bahkan jika tak ada waktu luang pun ku sempatkan untuk mencuri-curi sekedar mengintip agar aku tak mati penasaran.
Hoammm..
Dua setengah jam sudah aku membaca, dan kini kedua mata ku mulai berat. Ponsel yang kupegang pun terlepas begitu saja.
Wajar karena ini sudah sangat larut, jam 2 tepat. Udara dingin membuat ku makin nyaman bersembunyi di balik selimut juga dengan menutupi wajahku separuhnya.
******
Astaga!!!
Aku kembali bangun terlambat, kali ini lebih parah, bahkan aku belum apa-apa.
Tubuhku masih mengenakan piyama dan rumah pun masih berantakan.
Mati!! Ucap ku dengan melemparkan berbagai keperluan kerja.
Sepatu kerja, tas dan file yang aku butuhkan, semua aku jadikan satu di atas nakas. Dan aku berlari sekuat tenaga, meraih sapu juga ember aku mencuci piring dengan gerak cepat juga membersihkan lantai dengan kedua kaki ku.
Untung saja pakaian kotor masih sedikit, setidaknya aku bisa menundanya beberapa saat, aku berlari kembali ke kamar dan dengan segera mengenakan pakaian kerja.
Baju kemeja dengan kerah berlapis-lapis juga rok rempel, tampilan yang aneh, tapi mau tak mau aku menggunakan itu. Karena pakaian lain yang belum aku setrika.
Aku kembali berlarian dan menuju ojol yang sudah dipesan sebelumnya.
"Cepat!!" pinta ku dengan wajah panik.
"Cepat kang saya terlambat!!!" Paksa ku sekali lagi.
Dengan kecepatan ekstra, akhirnya aku tiba tepat di depan pagar kantor.
Jam 8.00
Dimana pagar itu akan tertutup, di detik-detik terakhir aku berhasil menyelinap masuk.
Huhhh, lagi-lagi!!!
Kali keduanya aku berhasil, legah dan sedikit capai. Wajahku masih polos tanpa make up.
Untung saja aku membawa penutup mulut setidaknya aku bisa menggunakannya sampai aku menuju ruang kerja ku, dan meminjam alat make up Tita.
Aku berlarian menuju lift.
Lantai 2!
Dalam lift itu ada 2 orang laki-laki berpakaian rapi dan sama seperti ku mengenakan masker.
Aku tak sempat memperhatikan keduanya. Begitu lift terbuka aku langsung berlari keluar dan--
Sialnya hak sepatu ku tersangkut, dan, salah satunya menangkap tubuhku.
Dug…
Dug...