Chereads / Jodohku Bukan Kamu / Chapter 12 - Receh

Chapter 12 - Receh

Sudah satu jam Ashilla berdiri tegak di depan pertokoan, yang letaknya tak begitu jauh dari kantor.

Tiqah tampak gelisah, tak seperti biasanya kekasihnya itu terlambat. Apa mungkin Tiqah yang terlalu bersemangat.

Membuat gadis itu kembali memeriksa pesan yang Gernald kirimkan. Karena tak setiap saat Gernald bisa mengantarkannya pulang.

Wait!

Jarinya mengusap layar ponsel dengan lincah. Dan percakapan yang ia cari itupun ditemukan.

Tiqah menyamakan jam ponsel dengan jam di tangannya. Tampak sama dan itu berarti ia tak salah.

Tapi tumben sekali kekasihnya tak memberikan alasan atau mungkin mengabari lebih dulu. Membuat Tiqah makin gelisah.

Gadis itu bahkan tampak serba salah ia sudah duduk dan berdiri lebih dari sepuluh kali, sampai-sampai bapak-bapak di sebelahnya memperhatikan.

"Kenapa neng? apa kursinya berduri?" canda bapak tukang sol sepatu yang ada tak jauh dari Ashilla.

Membuat Ashilla melemparkan senyum. Lagipula Ashilla sudah akrab dengan bapak yang sering ia temui.

"Haha, bapak bisa aja," jawab Tiqah sesekali.

Tapi sudah lebih dari tiga kali bapak itu menggoda Ashilla, sayangnya mobil Gernald belum juga terlihat.

Membuat Ashilla harus kembali duduk. Padahal kakinya sudah terasa pegal sekali. Belum lagi sepatu yang ia kenakan terlalu sempit.

Size kaki Tita 38 sedangkan Ashilla 39, yah sedikit memaksakan. Belum lagi jari kaki Tita yang memang panjang-panjang, berbeda dengan kaki Tita yang mungil dan imut.

Huhh…

Nafas Ashilla terkesan berat. Gadis itu terus saja memanjangkan lehernya, berharap Gernald tak membuatnya menunggu lebih lama lagi.

"Apa sebaiknya aku telepon saja?" Ashilla tampak bingung, walaupun mereka sudah akrab 5 tahun tapi tak sekalipun Ashilla yang melakukan panggilan lebih dulu, Ashilla cukup sadar diri.

Ia paham betul kesibukan seorang Gernald, CEO perusahaan ternama mana mungkin memiliki waktu luang seperti dirinya.

"Ah jangan, tunggu saja," elak Ashilla, yang kembali memilih melipat layar ponselnya.

Ponsel keluaran perusahaan berinisial "S" ponsel yang sudah ketinggalan zaman itu masih setia digunakan oleh Ashilla.

Ponsel yang ia beli dari gaji pertamanya sebagai karyawan.

Saking lamanya menunggu, langit yang tadi masih menampakkan warnanya, kini mulai redup.

Tampaknya tak lama lagi akan turun hujan, langit juga terlihat sudah berat menampung bebannya.

Sementara Ashilla tak membawa jaket seperti biasanya, yah, semua karena ia yang datang terlalu mepet.

Huhh..

Gadis itu hanya bisa memeluk tas berbahan kulit kesayangannya. Bahkan bapak-bapak yang ada di sebelah pun sudah bergegas merapikan kedua kotak berharga miliknya.

Ia mengaturnya dengan cepat tak membiarkan kotak itu terkena percikan air hujan, ia begitu menyayangi kotak yang merupakan sumber mata pencahariannya.

Dan mengenakan jas hujannya dengan cepat, ia segera menyelamatkan keduanya dan berpamitan pada Ashilla.

"Duluan ya neng," senyum wajah berkerut itu terlihat adem dipandang.

Ashilla membalasnya dengan senyuman yang tak kalah hangat. "Ya pak, hati-hati,"

Dzrett,

Dzrett,

Getar ponsel yang ditunggu.

(POV Ashilla)

Benar ada pesan singkat dari Gernald.

Kau suka apa?

Maksud mu?

Kau butuh apa?

Maksud nya?

Kau suka warna apa?

Putih, jawabku

Besar atau kecil?

Hmm

Jawab!

Kecil!

Tunggu!

Aku tak mengerti dengan pesan yang dikirimkan oleh Gernald padaku, ku kira dia akan memberitahu alasan kenapa ia datang terlambat.

Tapi ternyata aku salah, laki-laki yang aku panggil kekasih itu tak memberikan alasan sedikitpun. Bahkan ponselnya kini terlihat Offline.

Membuat tanya ku menyeringai. Apa maunya sih, membiarkan aku menunggu selama ini. Gerutu ku kesal.

Bagaimana tidak?

1 setengah jam waktu ku di buang percuma. Dan belum lagi kaki juga sepatuku yang terkena percikan air hujan.

Rasanya ingin sekali aku protes pada Gernald, kenapa harus aku yang lebih sering menunggu, lagi-lagi aku tak mampu, saat kami saling berdekatan, dan saat Gernald menatapku aku seperti tanaman putri malu yang langsung menguncup dan menunduk.

Agh!! Rasanya.

Sabar, sabar pintaku pada jiwa dan raga yang mulai lelah ini. Tangan ku bahkan sudah terasa lemas, mungkin karena setengah hari aku habiskan dengan mengangkat benda-benda berat di ruangan lantai 3.

Lagi-lagi aku kesal, karena walaupun hari turun hujan, itu tak membuat ku merasa sejuk, bahkan tubuhku merasa panas dan kegerahan.

Ku kibas-kibaskan rambut panjang ku, dan benar saja kenapa tak sedari tadi aku menyanggul rambutku.

Seperti sekarang, aku menggunakan pulpen untuk menahan sanggul alakadar buatan ku.

Huhh… kibasan angin dari hulu ke hilir itu bisa kurasakan. Membuat ku bisa sedikit rileks.

Walaupun hati ku tetap mengomel dan kesal. Belum lagi perutku yang mulai lapar. Seporsi soto, batagor dan siomay tadi siang sudah berlalu di usus ku.

Kini aku tak sabar dengan santapan lainnya. Tapi lagi-lagi aku menundanya, sampai kekasih ku tiba.

Semua aku lakukan karena aku lupa membawa lipstik favorit ku, memiliki warna bibir dark membuatku tak pede jika tampil tanpa pewarna bibir.

No..no..no! Tolak ku pada aroma makanan yang menggoda, dan memenuhi Indra penciuman ku.

Aku hanya meneguk ludah, dan sesekali melirik. Di Sekeliling terlihat surga makanan.

Ada martabak Bangka, ada lumpia basah, ada takoyaki dan juga sate Madura.

kriukk…

Perutku sudah menjerit, minta sedikit jatah petang ini, tapi aku terus saja berperang dengan si nakal di dalam lambung.

"Tidak! Jangan Sekarang," pinta ku memohon pada ciptaan tuhan dengan naluri alam.

Tapi tampaknya aku harus mengalah, jika tidak aku bisa terlihat konyol di depan Gernald.

Aku pun merogoh dompet tipis ku, karena hanya tersisa sedikit rupiah di dalamnya. Aku mendekati beberapa gerobak.

Terutama cemilan kesukaan ku, yaitu takoyaki juga cimol. Aku hanya membeli sedikit.

Yah, setidaknya untuk mengganjal perutku yang perih. "Goceng," ucap ku.

Tampak kalaf aku pun menghabiskan 2x lipat yang aku pesan sebelumnya, tanpa sadar bibirku sudah luntur dari pewarna bibir.

Grekkk, hahhh,

Nafas naga itu aku lepaskan, dan rasanya legah sekali.

Brukk!!

Seseorang menabrakkan dirinya padaku, aku yang tak sempat menutup mulut.sudah siap mengomel.

Karena cimol terakhir yang sudah ku tusuk itu harus jatuh.

"Ah sialan!!" gerutu ku memperhatikan cimol yang berguling-guling.

Tubuh kekar tegap dan tinggi, bahkan aku hanya sebatas dadanya, kucoba mengangkat dahi, dan bersiap dengan tunjuk ku.

Tentu saja aku ingin mencerca si penabrak itu, dengan beberapa Omelan yang sudah ku siapkan diujung lidah.

"Apa kau tak punya ma--,"

"MATA!!"

Jawab sosok tinggi itu, membuat aku tak asing dengan suara itu, "Ha…,"

"Kenapa? Kesel ya?"

"YA!!" Jawab ku yang terlanjur malu, yah sudah tertangkap basah, jadi tak berguna jika aku jaga image sekarang.

Sementara Gernald masih tersenyum-senyum menertawai ku, mungkin melihat wajahku yang dumel dan kucel, baginya aku mungkin seperti badut di pinggir jalan.

Aku pun kesal dan memilih menarik tasku dan berlalu pergi, bersiap menghadang angkot.