(POV Ashilla)
Tangan hangat itu menggandeng mesra tangan ku, dan kurasakan hangat juga tempat ternyaman untuk bersandar.
Sorot matanya yang menatap tajam, membuat jantung ini berdebar-debar.
Mendapati tatapan mata itu, aku hanya bisa tertunduk malu dengan pipi merona merah.
Aku terus menyembunyikan rasa canggung ku, padahal ini adalah tahun ke-5 hubungan aku dan juga Gernald.
Gernald, ia baik tampan dan memperlakukan ku sangat manis. Perhatian yang ia berikan benar-benar membuat ku bahagia dan nyaman berada di sampingnya.
Sejak awal kenal tak ada yang berubah dari Gernald, ia tetap humble dan sopan pada ibu.
Hanya saja, entah kenapa ibu bersikap tidak ramah pada Gernald, ia bahkan selalu memintaku untuk berhenti dari hubungan yang mustahil ini.
Saat ibu menceramahi ku, aku hanya bisa tertegun diam. Dan tanya itu memenuhi benak ku.
Bukankah dia baik, dia sopan dan dia mapan? Lalu kenapa ibu menentang hubunganku?
Itu yang selalu kutanyakan pada ibu, tapi wanita tua itu hanya diam dan berlalu pergi begitu saja.
Hubungan ini memang terlalu mustahil untukku dan juga Gernald, belum lagi kedua orang tuanya yang menatapku tajam bahkan mengecil kan ku.
Gernald seharusnya tahu bagaimana perlakuan Bu Sisca padaku, tapi kekasihku selalu saja meyakinkanku bahwa bu Sisca suatu hari akan melunak dan menerima ku.
Begitu juga dengan Pak Heri Wijaya yang tampak memandangku dengan sebelah mata, walaupun tadi saat di pesta ia memandangku berbeda dengan penampilanku yang sekarang.
Tanpa gaun mewah dan juga hiasan menawan ini tentu saja ia kembali memandangku rendah.
Gernald kembali memegang tanganku dengan menggenggam erat, menyadarkan ku dari lamunan.
"Sayang, kenapa wajahmu murung? Bukankah malam ini kau begitu cantik, papa pun mengakuinya," ucap Gernald dengan mencium punggung tangan ku.
Aku tak bergeming, dan memilih menyembunyikan senyumku. Wajahku terus saja terlihat pucat. Tak bisa dipungkiri aku tak suka dengan tatapan pak Putra Angkasa pada ku.
Mata besar dengan penuh maksud itu mengarah pada ku, belum lagi senyum di balik bibir dustanya.
Sering ku dengar dari orang-orang mengenai perangai Putra Angkasa, laki-laki mata keranjang yang selalu menebar pesona pada wanita cantik dan muda.
Di depan nyonya Sisca pak Herry terlihat berwibawa dan juga sopan, tapi sesungguhnya itu semua hanyalah topeng belaka.
Hembusan nafas yang terasa menerpa hidung ku membuat aku meloncat kaget. Begitu kudapati wajah Gernald tepat di depan wajahku.
Hangat dan aroma harum dari permen mint itu benar-benar menyegarkan, dan membuat mata ku membulat.
Dug..
Dug..
'Apa Gernald akan menciumku di kesempatan ini?' tanya ku dalam hati.
Kedua tangan ku sudah memegang erat seat belt, dan ku pejamkan kedua bola mataku.
Huhh..
Ku tarik nafas panjang, dan aku bersiap untuk--
Grekk,
Suara pintu terbuka, dan betapa malunya aku, mendapati Gernald sudah membukakan pintu untuk ku.
Padahal aku fikir ia akan mencium ku, atau setidaknya mendaratkan ciuman tipis di ujung bibir ku.
Tapi ternyata aku salah, ia masih enggan menyentuhku, entah kenapa. Kadang aku sedikit ragu dengan hubungan ku dan Gernald.
Benar apa kata Tita, mungkin saja Gernald hanya iseng-iseng menjalin hubungan dengan ku.
Atau mungkin ia hanya menunggu waktu untuk memutuskan hubungan dengan ku, aku hanya bisa melambaikan tangan pada kekasih ku.
Yang sudah mengantarkan ku tepat di depan rumah. Karena rumahku memasuki gang sempit, membuat Gernald hanya mengantarku di sisi jalan Tita.
Dan aku pun tak berbasa-basi untuk menawarkan ia singgah, lagipula aku tahu diri, mengingat hari yang sudah cukup malam.
Untung saja aku sudah lebih dulu mengganti pakaianku dengan pakaian sebelumnya, dan ku timpa dengan jaket berbulu halus berwarna coklat.
Alas kaki ku pun sudah ku ganti dengan sepatu balet yang biasa aku gunakan bekerja, langkahku sangat hati-hati.
Aku takut jika ibu terbangun, ku putar kunci sebanyak dua kali searah jarum jam. Dan--
Krekk,
Baru saja aku ingin meraih handle pintu tapi pintu itu sudah terlebih dulu terbuka lebar.
Membuat jantungku seolah memompa lebih cepat, begitu juga dengan nafas ku yang terasa sesak.
Aku mulai mengernyitkan dahi, dan rasa takut itu menguasai ku.
Wanita dengan raut wajah masam dan sebilah rotan itu menyambut kepulangan ku.
"I--ibu," ucapku menyapa wanita paruh baya di balik pintu.
Wanita berambut sebahu dengan mengenakan daster bermotif bunga-bunga, wanita yang aku panggil Ibu, tapi sikapnya seperti ibu tiri bagiku.
Mata nya melotot padaku, dan aku hanya bisa menunduk dengan wajah tertutup poni.
Aku harus bersimpuh lebih dulu, dengan mencium kedua kakinya yang suci.
"Ma--maaf Bu, A--Ashilla!"
Telunjuk itu mengarah padaku, dan itu berarti ia memintaku untuk diam.
Seperti biasa ia memintaku untuk tak memberikan alasan apapun, karena ia sama sekali tak peduli dengan apa yang ku ucapkan.
Brukkk,
Brakkk,
3 kali, sabetan itu mendarat di punggung ku, ini sudah biasa didapatkan, bahkan sejak aku kecil.
Saat aku menumpahkan nasi, makanan atau apapun itu ibu selalu mendaratkan pukulan di punggungku, dan sampai aku dewasa pun sama.
"A--ampun Bu!" ucap ku dengan suara lirih. Wanita paruh baya itu tak menghentikan pergerakannya.
Ia terus saja mendaratkan rotan itu si punggung ku, dan rasanya perih, pedih sekali.
"Anak nakal, malam-malam keluyuran, kau pikir rumah ini hotel? Kost-kostan? Yang tak punya aturan! Iya?" Ibu membelit pada ku menatapku dengan penuh amarah.
Aku menggelengkan kepala, "Ti--tidak Bu, maaf Bu,"
"Harus berapa kali ku peringatkan, pulang tepat waktu dan jangan dekat-dekat dengan anak itu, aku tidak suka!" Suara lantang itu menusuk kupingku.
Aku hanya bisa diam dengan menahan buliran bening itu agar tak jatuh.
Tapi rasa perih dari rotan itu menumpahkan air mata ku, dan pipi ku pun basah dalam hitungan menit.
Aku mulai terisak Isak, dengan mata setengah memejam, menahan perih dari si benda tumpul yang Kandal.
Sementara ibu, ia sama sekali tak kasihan dan tak mengasihani ku sedikitpun. "Harus berapa kali aku melarangmu pulang malam? Harus berapa kali aku melarangmu berpacaran? Dasar anak tak tahu diri!"
Padahal aku anak baik-baik, lagipula setiap aku pulang malam itu semua karena jam lembur kantor, dan baru malam ini aku diajak ke acara besar keluarga Gernald.
Tapi lagi-lagi aku tak berhak membela diri, bahkan untuk buka mulut pun aku tak layak.
Ibu menarik kasar tas kerja ku, dan membuat seisinya tumpah ruah.
Ada set perhiasan yang tumpah dari tas hitam milik ku. Membuat ibu makin menyorot ku tajam.
"Ashilla!! Apa ini? Apa kau mendapatkannya dengan cara tidur dengan laki-laki?" Hina sekali kau ini!" fitnah itu tertuju pada ku.
Aku menggelengkan kepala, dengan cepat ibu menyeret ku paksa dan meminta ku untuk--