"TUNGGU!"
Arindi menghentikan langkahnya ketika sebuah suara memanggilnya dari balik pintu, ketika dia menoleh seorang lelaki bertubuh tinggi tengah menatapnya cemas.
"Kamu tidak kenapa-kenapa?" tanya lelaki itu. "Mungkin dokter bisa memeriksa kondisimu terlebih dahulu."
Perempuan berambut pendek tersebut menggeleng. "Saya baik-baik saja. Andalah yang seharusnya memeriksakan diri, Tuan. Bukankah tadi kaki Anda sempat terkilir?" ujarnya sambil memandangi kaki kiri Aris yang sedikit pincang. "Kalau begitu saya pamit dulu. Mari."
"Eh, Nona!" Aris kembali memanggil, membuat langkah Arindi terhenti untuk kesekian kalinya. "Siapa nama Anda? Maksud saya, apa yang harus saya katakan saat polisi datang nantinya? Mengingat, Andalah yang menemukan perempuan itu, bukan?"
Arindi mendekati lelaki berkemeja abu-abu tersebut, lalu menyodorkan sebuah kertas kecil. "Anda bisa menghubungi dan mencari saya di nomor ini jika memang diperlukan. Saya harap Anda tidak menyalahgunakannya. Katakan saja kepada polisi atau keluarga perempuan ini saat mereka tiba, bahwa saya siap dimintai keterangan apa saja."
Untuk beberapa detik, Aris memandangi kertas di tangan Arindi dan tidak langsung mengambilnya. Ragu tapi kemudian dia memasukkannya ke dalam kantung kemejanya. Membiarkan perempuan muda tersebut pergi meninggalkan bangsal rumah sakit yang dipenuhi korban kecelakaan bus yang diiringi tangis dan teriakan dari korban maupun keluarganya. Ironis.
🏶🏶
Jalanan kota Jakarta masih macet siang ini, terlebih setelah kecelakaan beruntun yang menewaskan banyak orang. Arindi melangkahkan kakinya menyusuri trotoar, memberikan dirinya sendiri kekuatan atau setidaknya begitu. Sejujurnya dia masih sangat gemetaran setelah menjadi salah satu saksi kecelakaan di depan mata, tapi sebagai manusia yang punya kehidupan lain dan harus menghidupi keluarganya, Arindi tetap harus berangkat menuju tempat perjanjiannya dengan klien.
Arindi membutuhkan banyak uang sekarang, terutama setelah sahabatnya, Arini, didiagnosis menderita kanker payudara. Itulah mengapa dia harus segera mengumpulkan sebanyak mungkin uang untuk memberikan kesempatan sahabatnya hidup lebih lama dengan pengobatan dan kemoterapi. Tidak murah, tentu saja. Namun, keterlambatannya kali ini sudah lebih dari satu setengah jam, mungkinkah kliennya mau menunggu? Masihkah lelaki itu menunggunya di hotel?
Arindi merogoh isi tas jinjingnya, mengambil ponsel abu-abu dari dalamnya. Dia menekan beberapa tombol di atas layar, kemudian membuat panggilan. Akan tetapi, selama beberapa waktu sama sekali tak ada sahutan, kecuali derit panjang suara panggilan saja. Tampaknya, kliennya benar-benar mengabaikannya. Bagaimana ini? Padahal ini merupakan kesempatan terakhirnya dari Madam, kalau sampai kali ini gagal lagi, bisa saja Madam benar-benar memecatnya.
Tidak mudah menyerah, Arindi tetap berjalan menuju gedung tinggi lima lantai di kejauhan. Hotel kelas menengah dengan fasilitas tak begitu bagus. Seorang resepsionis menyapanya.
"Atas nama siapa?"
"Arindi."
"Arindi dan Bapak Mahmud?"
"Benar."
"Kamar nomor 13B." Perempuan berseragam merah muda tersebut mengeluarkan kunci dari dalam laci peyimpanan dan meletakkannya di atas meja. "Mau di antar?" lanjutnya sambil melirik ke arah sekumpulan pria berseragam senada di kejauhan. "Kami memiliki layanan untuk itu."
Arindi menggeleng. "Tidak perlu."
"Semoga malam Anda menyenangkan," ucap perempuan bertag nama Tasya tersebut malas, seakan dia ingin menyumpahi Arindi. Namun, sama sekali tak Arindi hiraukan. Toh, tak ada yang perlu dipikirkan. Semua sudah sangat jelas, di luar pekerjaan ..., itulah mengapa dia seharusnya tak melakukan apapun atau semua akan berantakan, sama seperti kejadian pagi ini, ketika dia memutuskan untuk menolong perempuan tua pagi tadi. Kacau.
🏶🏶
Beberapa jam sebelumnya, Arindi ingat betul kalau dirinya tengah dalam perjalanan menuju hotel dengan mengendarai bus. Dirinya memutuskan duduk di bagian depan, sambil sesekali memoles mukanya kembali menggunakan bedak dan gincu tipis. Sementara di sebelahnya, Arini tengah duduk menatap lurus ke jalanan di balik kaca.
"Yakin nggak mau cari kerjaan lain?" kata Arini lebih terdengar sebagai pernyataan. "Lo nggak takut kalau bakal kayak gue dan Seli?"
Arindi menoleh sebentar. "Maksud lo?"
"Lo pasti ngerti lah, Rin." Arini menghela napas panjang. "Penyakit seperti punya gue, atau punya si Seli ini sangat menyakitkan. Sekeras apapun kami berobat, nggak akan berdampak apa-apa. Sama saja. Ujung-ujungnya juga bakal mati."
"Lo ngomong apa sih, Ni? Gue nggak suka ya lo bicara begitu!" tegas Arindi. "Dengar! Penyakit yang kalian derita itu cobaan, dan jangan sekali-kali menghakimi diri lo sendiri. Cukup orang di luar sana yang meremehkan kita, tapi jangan kita sendiri. Bukankah dulu lo ngajarin gue berpikir kayak gitu? Lha kok sekarang malah lo yang putus asa sih?"
"Gue bukan putus asa, Rin."
"Terus?" Arindi mengerutkan kening. "Itu tadi apa kalau bukan keputusasaan?" lanjutnya penuh penekanan. "Tugas lo sekarang hanya berobat. Minum obat dan berangkat ke rumah sakit buat kontrol. Lo hanya perlu hidup, atau paling nggak semangat buat hidup. Nggak usah berpikiran aneh-aneh."
"Tapi, memang benar kan kalau gue bakal mati?"
"Semua orang juga akan mati, Ni! Bukan lo saja!" Arindi menghela napas panjang. "Bahkan antara lo yang sakit dengan gue yang kelihatannya sehat, belum tentu yang mati duluan itu lo. Bisa saja hari ini gue terpeleset di jalanan lalu meninggal. Paham?"
Arini tidak menjawab, dia menelan ludah kasar kemudian menatap sahabatnya dengan nanar. Dia menangis. Sudah sangat lama mereka berdua hidup bersama-sama, sejak masih belia hingga kini sama-sama dewasa. Arini tahu bahwa Arindi sangat mencintainya. Sebab sepeninggal ibu angkat mereka, hanya saudaranyalah yang masing-masing mereka miliki. Tidak ada orang lain.
Di pemberhentian berikutnya, Arindi turun sementara Arumi masih harus melanjutkan perjalannya ke rumah sakit khusus penderita kanker di tengah kota. Dengan uang seadanya dan asuransi kesehatan masyarakat, setidaknya ini bisa membantu meringankan beban mereka.
"Jangan lupa kabari gue saat sampai di sana!" kata Arindi. "Kalau butuh apa-apa langsung telepon."
Arini mengangguk. "Lo sendiri juga hati-hati."
"Pastinya."
"Rin?"
"Ya?"
"Jangan lupa pastikan dulu orangnya sebelum mulai, kalau memang kiranya mencurigakan langsung batalkan."
Arindi mengangguk. "Ya."
"Dan jangan lupa bawa pengaman."
Tawa kecil menghiasi bibir merah Arindi, dia akhirnya turun dan membiarkan bus kembali terisi oleh orang-orang baru. Dari balik jendela, Arindi melihat saudarinya melambaikan tangan. Dia membalas kemudian mendudukkan diri di halte, menunggu bus selanjutnya.
Suasana sore itu menjadi semakin dingin, entah mengapa. Padahal biasanya cuaca Jakarta di musim kering seperti ini sangat menganggu. Namun, Arindi berusaha menikmatina. Dia juga tidak lupa mengirimkan pesan kepada pelanggannya mengenai di titik mana dia saat ini.
"Nggak usah dijemput, Om!" kata Arindi dengan ponsel menempel di telinga. "Aku bisa sendiri kok. Om lebih baik fokus saja bekerja. Oh iya ..., iya .... Om tenang saja kalau urusan itu. Aku pasti akan memberikan yang terbaik. Hati-hati ya kerjanya, Om."
Arindi menutup teleponnya dengan perasaan mual, kemudian mendudukkan bokongnya di halte. Perkerjaannya yang harus selalu berbasa-basi dengan orang lain, sesungguhnya juga membuat gadis ini lumayan lelah.
"TIIIIINNNN!" Mobil sedan dari kejauhan melaju dengan kecepatan tinggi, membuat mata Arindi membulat.
BRAAAK! Sebuah tabrakan tak terhindarkan.