"Anda saudari Arindi?"
Baru saja tiba dan belum sempat melepaskan alas kakinya, Arindi terlebih dahulu ditodong oleh polisi dengan pertanyaan ini. Mungkin akan terdengar biasa bila dikatakan oleh orang lain, tapi di hadapan polisi rasanya sungguh menakutkan.
Arindi menelan ludah kasar dan mengangguk perlahan. "Ya. A –ada apa ya, Pak?"
Polisi bertubuh tinggi dengan tag nama Yuslio mendekat dan menyalami Arindi. "Kami mendapatkan laporan dari beberapa saksi lainnya bahwa Anda merupakan satu-satunya orang yang berada di lokasi kejadian kecelakaan tadi siang, apakah itu benar?"
Ragu-ragu Arindi mengangguk. "Benar, Pak."
"Jadi begini, Bu Arindi!" Polisi lain dengan tag nama Margono ikut mendekat. "Kami harap Bu Arindi bisa ikut ke markas sekarang juga dikarenakan demi kelancaran penyelidikan. Bagaimana? Apakah Ibu bersedia?"
Arindi menoleh kepada Arini yang berdiri dengan muka cemas, menatap adiknya seakan tak percaya. Mereka memang sering dilaporkan kepada pihak kepolisian tapi bukan untuk kasus semacam ini, biasanya hanya soal perkara salah paham biasa saja yang bisa diselesaikan dalam satu atau dua jam saja, tapi ini? Menyangkut nyawa manusia.
"Bu Arindi, bagaimana?"
"Baiklah, Pak."
"Kalau begitu, mari ikut ke mobil."
Arindi bahkan tidak lagi punya daya, langkahnya lemah mengikuti kedua polisi tersebut menuju mobil dinas yang tengah diparkirkan di depan gang. Para warga di sana sibuk menontonnya dari teras rumah mereka masing-masing.
🏶🏶
"Kondisi korban masih kritis di rumah sakit," jawab Pak Margono ketika Arindi menanyakan kondisi korban. "Malam ini saya dengar akan dilakukan operasi. Semoga saja akan berjalan baik."
Arindi yang duduk di kursi belakang menangguk-anggukan kepalanya. Sejujurnya ada perasaan lega di dadanya saat mendengar kabar baik ini. Pun sepanjang perjalanan kali itu, polisi benar-benar bersikap baik kepadanya. Lain dengan polisi di televisi atau yang biasa ditampilkan oleh media. Dua puluh menit kemudian, mereka sampai di kantor. Tampak suasana di tempat tersebut ramai oleh wartawan.
Polisi menutupi Arindi menggunakan jaket dan masker, kemudian memasukkannya lewat pintu belakang. "Kita harus melakukan ini agar tidak menimbulkan kehebohan di media."
"Anda bisa menunggu sebentar di ruang tengah sebelum nantinya di panggil," kata Pak Margono sekali lagi. "Harap tidak memberikan keterangan apapun jika tidak diminta. Mengerti?"
Arindi mengangguk.
Kedua polisi tersebut kemudian masuk ke ruangan di samping tempat Arindi di sembunyikan. Dia sendirian, di dalam ruangan luas yang rasanya terlalu dingin. Terlebih bajunya kali ini memiliki bahan yang cukup tipis. Namun, untunglah jaket milik Pak Yuslio sedikit membantu mengusir hawa dingin tersebut.
"Nona?"
Arindi menoleh ketika sebuah suara terdengar di telinganya. Benar saja, Aris berdiri di ambang pintu dengan santai dan langsung duduk di sampingnya.
"Maaf karena saya menyebut nama Anda kepada polisi," ucap Aris. "Saya hanya terlalu kebingungan saat mereka menyanyai saya tentang saksi kunci."
Arindi tersenyum palsu. "Tidak masalah, Tuan."
"Omong-omong, apakah Anda sudah tahu kondisi terbaru Bu Fatma?"
"Bu Fatma?"
"Ya. Itu mana perempuan yang tadi siang kita antarkan ke rumah sakit."
"Ah iya ..., iya ...," kata Arindi sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. "Jadi, bagaimana keadaan Bu Fatma?"
Aris menyandarkan punggungnya pada bantalan sofa. "Sangat memprihatinkan. Terakhir saat saya berada di sana, dokter mengatakan bahwa beliau kehilangan terlalu banyak darah dan juga terjadi luka dalam yang serius. Bu Fatma perlu di operasi tapi anak-anaknya belum memberi izin. Mereka masih dalam perjalanan dari luar negeri dan baru akan tiba jam sembilan ini."
"Tidakkah itu terlalu lama?"
"Anda benar, Nona!" Senyuman Aris berubah ironi. "Namun, bagian terburuknya adalah .... Apakah Anda tahu siapa Bu Fatma?"
Arindi menggeleng. "Siapa?"
"Sungguh?" Aris mengulang untuk memastikan. "Bu Fatma merupakan pemilik pabrik kosmetik yang sangat terkenal dan sekarang sedang dalam masa yang panas untuk usahanya. Yah, saya sendiri kurang paham soal begituan karena sejujurnya saya kurang paham bisnis dan hukum."
"Apalagi saya?" Arindi tertawa kecil.
"Tapi, saya rasa Anda mengerti kalau saya bertanya tentang orang yang bersama Bu Fatma di hari kejadian?"
Mungkinkah, orang itu?
"Nona, apakah Anda melihat pelakunya?"
Arindi tidak menjawab. Isi kepalanya menerawang jauh ke beberapa saat sebelumnya. Di saat dirinya bersimpuh dan menatap lurus ke arah mata orang misterius tersebut. Apakah dia sungguh sengaja ingin menghabisi Bu Fatma yang tua seperti dalam film laga? Konyol dan aneh sekali.
"Nona?"
"Ah? Ya?"
"Apakah Anda baik-baik saja?"
Arindi tersenyum kikuk dan menyadari kebodohannya sendiri. "Tentu saja, Tuan. Memang kenapa? Apakah Anda melihat saya seperti kurang sehat?"
"Ada belum makan?"
Kening Arindi mengerut.
"Mau ikut saya makan di kantin sebentar?" kata Aris sambil berdiri. "Kantor polisi ini memiliki jenis makanan yang enak dan murah di kantinnya. Dan, seseorang yang akan melewati interogasi akan membutuhkan banyak energi."
"Tunggu!" kata Arindi memotong penjelasan suaminya. "Bagaimana mungkin Anda tahu rasanya? Jangan-jangan, Anda pernah masuk penjara?"
Aris tertawa keras. "Saya seorang guru."
"Lalu, adakah hubungannya dengan kantor polisi?
"Tentu saja ada!" tegas Aris penuh percaya diri. "Saya sering dipanggil ke mari saat siswa-siswa saya ditangkap."
"Ditangkap?"
Aris mengangguk. "Untuk kasus bolos sekolah, merokok dan sejenisnya."
"Oh ...."
"Omong-omong, tadi saya menelepon Anda?"
"Hah?" Mata Arindi membulat. "Yang mana?"
"Nomor yang tadi mengubungi Anda dan angka terakhirnya 19. Saya harap Anda tidak keberatan soal itu."
🏶🏶
"SAUDARI ARINDI DIPERSILAKAN MASUK KE RUANG INTEROGASI 2!"
Tubuh Arindi menegang ketika polisi wanita berjilbab cokelat memanggil namanya. Dia sama sekali tak bisa membayangkan pertanyaan macam apa yang akan didapatkannya nanti. Sungguh sikap tenang dan wejangan yang diberikan Aris sama sekali tak berpengaruh. Karena nyatanya, Arindi bahkan hampir limbung.
"Tenang saja," kata polisi tersebut sambil membukakan pintu. "Semua akan baik-baik saja. Anda hanya saksi di sini."
Senyuman Arindi mengembang meskipun jelas kalau penuh kepalsuan. Dia tahu bahwa semua ini tak akan pernah mudah, atau setidaknya itulah yang dia pikirkan. Sebagai orang awam hukum dan sering menonton serial televisi, orang berstatus saksi bisa saja berubah menjadi tersangka utama dalam waktu cepat.
"Silakan duduk, Bu!" kata pria yang duduk di ujung meja kepadanya.
Arindi mendudukkan tubuhnya di kursi kayu kemudian meletakkan tangannya di bawah meja.
"Bu Arindi, apakah benar bahwa Anda berada di lokasi kejadian waktu itu?"
"Be –benar."
"Apa yang Anda saksikan di sana?"
Tunggu!
Pertanyaan macam apa ini? Barangkali begitulah yang sekarang dipikikrkan oleh perempuan itu sekarang. Bukankah sudah sangat jelas kalau dia menyaksikan kecelakaan mobil yang mengerikan?
Tidak! Tidak!
Arindi merasakan perutnya bagai dipilin sekarang, sementara kepalanya berputar tak karuan. Bahkan muka polisi di hadapannya perlahan mengabur.
"Bu Arindi? Ada baik-baik saja?"
Arindi tidak menjawab tetapi mencoba kuat. Dia perlahan bangkit atau lebih tepatnya menopang tubuh menggunakan pinggiran kursi. "Bolehkah saya ke kamar mandi sebentar?"
"Silakan," jawab polisi tersebut. "Apakah Anda butuh bantuan?"
"Tidak, Pak!" tegas Arindi menolak. Dia merambat mendekati pintu, membuat jemari kecilnya hendak meraih gagang pintu tersebut tapi sayangnya, sebelum berhasil dia terlebih dahulu muntah, mengeluarkan sisa makan malamnya. Lalu, mendadak gelap.
Kenapa?