Chereads / Risalah Cinta / Chapter 3 - Ketiga

Chapter 3 - Ketiga

Arindi merasakan perutnya dikuasi sesuatu yang aneh, bergejolak sampai-sampai membuatnya nyaris muntah. Kini di dalam kamar mandi rumah sakit dia menyendiri, menatap cermin di depannya dengan perasaan tak karuan sambil mencoba mengatur napas agar lebih stabil.

Beberapa lembar tisu menumpuk di sudut wastafel. Dia tidak menyangka bahwa darah di pakaiannya benar-benar sebanyak ini, akibatnya gaun yang dia kenakan terlihat sangat mengerikan seolah dialah yang menjadi korban kecelakaan. Tidak mungkin dia menemui kliennya dengan penampilan seperti ini. Belum lagi kepalanya tak bisa berhenti memikirkan perempuan tua itu. Bagaimana mungkin dia bisa meninggalkan rumah sakit sebelum memastikan sendiri keadaan korban? Meskipun bukan dia pelakunya, tapi Arindi sangat merasa bersalah karenanya.

Berulang kali dia menyeka wajah menggunakan air kran, tapi rasanya tak berubah sama sekali. Kepedihan dan kegelisahan masih terus menderanya.

TING!

Sebuah pesan masuk ke ponselnya, Arindi pun segera membuka dan membacanya. Benar sesuai dugaan, kliennya sudah tidak sabar: "Kamu di mana? Om sudah di hotel. Hari ini banyak kecelakaan di jalanan. Apakah kamu baik-baik saja? Apakah jalanan masih macet? Segera datang, Cantik. Om punya kejutan buat kamu."

🏶🏶

Maka di sinilah Arindi sekarang, berjalan menuju lantai dua dengan jantung berdebar tak karuan. Dia berulang kali harus meremas tangannya sendiri guna menghilangkan rasa sakit yang tak kunjung hilang bahkan setelah selama ini.

Bayangan tentang kecelakaan dan lelaki misterius yang tadinya menjadi pengemudi mobil serta menjadi pelaku utama kecelakaan perempuan tua tadi, mendadak kembali datang kepadanya. Tubuh yang tinggi dan mata tajam. Haruskah Arindi melibatkan diri terlalu jauh dalam permasalahan semacam ini? Dia bahkan tak bisa berpikir cukup jernih sekarang. Dia berulang kali menarik dan menghela napas dalam nun panjang.

Sesampainya di lantai yang dituju, Arindi segera mencocokkan kartu di tangannya dengan nomor kamar. Perlu beberapa menit untuk menemukannya, tapi semua berjalan lancar sejauh itu. Dia langsung menempelkan kartu ke tempatnya dan mendorong daun pintu.

Gelap.

Tidak seperti ruang pertemuan biasanya, tempat tersebut terlalu gelap dan pengap. Arindi melangkahkan kakinya penuh kehati-hatian. Dia yakin bahwa Om sengaja mempermainkannya, menggoda serta berniat membuatnya penasaran. Lalu, Arindi menyalakan senter ponselnya, tapi nihil. Tak ada apa dan siapapun di sana. Kosong.

"Om!" panggil Arindi sembari meletakkan tasnya di atas kasur."Om di mana? Aku sudah datang nih! Jangan sembunyi dong!"

Tidak ada sahutan. Tumben?

"Om Agus?" Arindi mencoba mendekati kamar mandi. Sebenarnya dia ingin menyalakan lampu, hanya saja sebagai pekerja yang baik tentu saja dia tak ingin membuat kliennya kecewa terlebih karena gagal memberi kejutan. "Om Agus? Om Agus di mana? Keluar dong! Aku nggak suka deh diginiin! Om Agus!"

Tidak kalah kosong, bak di kamar mandi bahkan kosong tanpa setetes air pun. Padahal biasanya Om Agus akan mandi terlebih dahulu sebelum mereka berkencan. Jelas tidak ada tanda-tanda kehidupan di sini.

Karena sebal Arindi menghela napas panjang, meraih ponsel dan mengetaikkan pesan; "Om di mana? Kok nggak ada di kamar?"

Namun, tidak ada jawaban. Om Agus bahkan tidak membuka pesannya. Itulah kenapa Arindi berinisiatif meneleponnya. Meskipun begitu sama saja, tidak diangkat. Dia pun akhirnya mendekati meja dan melakukan panggilan telepon pihak hotel.

"Halo, ada yang kami bantu?

"Saya di kamar 13B ingin bertanya," kata Arindi sambil memutar jemarinya pada kabel telepon. "Omong-omong apakah benar sebelumnya pasangan saya, atas nama Bapak Mahmud sudah datang?"

"Tunggu sebentar ya, Bu." Tidak lama kemudian, perempuan di balik telepon kembali meneruskan, "Menurut informasi di komputer kami, Bapak Mahfud telah masuk ke hotel sejak pukul 3 setelah 4 sore."

"Apakah setelahnya keluar lagi?"

"Kalau untuk itu saya kurang tahu, Bu, sebab saya baru saja datang untuk sift malam."

"Oh, baiklah. Terima kasih."

"Sama-sama, Bu."

"Eh, satu lagi, Mbak! Bisakah saya minta disiapkan makan malam?"

"Ibu ingin makanan apa?"

"Rawon dan jus jeruk hangat."

"Baik. Pesanan Ibu akan kami teruskan ke restoran hotel. Ibu ingin diantarkan ke kamar atau bagaimana?"

"Ya. Tolong antarkan ke kamar."

"Harap ditunggu ya, Bu."

Arindi mematikan panggilan. Dia berjalan mendekati lemari dan menemukan handuk panjang hangat di dalamnya. Inilah waktu yang tepat baginya membersihkan diri. Setidaknya nanti, Om Agus tak harus melihatnya dalam kondisi mengerikan dan telah wangi dengan sabun dan shampo.

Perempuan ayu ini tidak lupa mencuci pakaiannya, menggantung di kamar mandi kemudian merendam tubuhnya di dalam bak mandi. Tidak lupa dia menyetel air hangat agar lebih nyaman.

🏶🏶

Setelah puas memanjakan diri, Arindi memilih menikmati makan malamnya di meja kamar dengan tubuh yang hanya dibalut setelan handuk yang nyaman. Rambutnya dibiarkan tergerai basah, sementara kulit indahnya tetap cerah meskipun tak dibaluri krim apapun. Arindi memang menakjubkan untuk ukuran teman-teman kerjanya. Dia memiliki mata besar dan hidung tinggi, rambut hitam bergelombang serta sebuah senyuman memesona lengkap dengan pipi kemerahan. Itulah mengapa Om Agus sangat menyukainya.

Dia sendiri sering menerima ajakan Om Agus karena lelaki itu sangat loyal. Om Agus bahkan pernah membelikannya sebuah tas dan jam mahal, serta beberapa uang kencan. Bukan dia bermaksud memeras Om Agus, hanya saja Arindi tak punya pilihan lain. Dia butuh uang-uang itu apapun yang terjadi. Saudarinya membutuhkan lebih banyak uang terlebih setelah sama sekali tak bisa bekerja setahun belakangan. Belum lagi pekerjaan sampingannya sebagai karyawan pembuat kue tak selalu cukup bahkan untuk sekadar makan sehari-hari. Maklum saja, Arindi hanya sempat mengenyam pendidikan sampai kelas empat sekolah dasar. Lalu, pekerjaan layak apa yang bisa dia dapatkan? Terlebih dia tak punya kemampuan apa-apa.

Arindi berulang kali mengecek ponsel, berharap Om Agus akan menghubunginya tapi sepertinya tak ada tanda-tanda sama sekali. Maka dia hanya bisa mengaduk-aduk daging dalam mangkuk sebelum memasukkannya ke dalam mulut. Entah kenapa napsu makannya tak sebanding dengan rasa laparnya. Arindi tak bisa melupakan kejadian tadi.

TINGG!

Bel berbunyi. Arindi buru-buru meletakkan peralatan makannya dan mendekati pintu. Itu pasti Om Agus. Tidak salah lagi. Dia mengatur dandanannya serapi mungkin, mengelap bibir kemudian menarik kedua ujung bibirnya ke atas.

"SELAMAT MALAM, OM!"

Arindi menyapa sambil membuka tangan lebar-lebar tanda siap memeluk. Namun, ketika melihat sosok yang tengah berdiri di depan pintu, segera nyalinya hilang. Kenapa? Kenapa istri Om Agus ada di sini?

"Mau apa kamu?" tanya perempuan yang wajahnya menjadi wallpaper di ponsel Om Agus itu terdengar lebih seperti tuduhan. "Berani-beraninya kamu menggoda suami saya ya? Kurang ajar!"

"Ma ...." Om Agus sendiri berdiri di samping istrinya tanpa bisa berbuat apa-apa. "Dengarkan Papa dulu, Ma."

"Dengar apa lagi, Pa!" teriak Bu Beti. "Istri kamu di rumah capek dan kelimpungan ngurusin anak, eh kami di luar malah jajan ke perempuan ..., dia bahkan seusia anak kita, Pa!"

"Nggak, Ma! Dia hanya –"

"HANYA APA?"

Melihat pertengkaran itu, Arindi perlahan mundur dan meraih tasnya di atas meja. Dia tahu akibatnya tak akan baik setelah ini.

"KAMU PERGI! PERGI! DASAR ORANG NGGAK BENAR!" Kali ini Bu Beti menyerang Arindi dan hampir menyerang muka gadis itu menggunakan kuku-kuku tangannya. "SUDAH TAHU SUAMI ORANG MASIH SAJA DIEMBAT! DASAR GILA!"