Chereads / Risalah Cinta / Chapter 4 - Keempat

Chapter 4 - Keempat

Arindi memang sudah biasa menghadapi situasi seperti ini, tapi dia tak menyangka kalau sekarang harus berjalan di luar sambil mengenakan handuk saja, sebab pakaiannya tertinggal di kamar mandi. Sungguh hari yang sial baginya. Untung saja dia bisa memesan taksi daring dan akan segera datang beberapa waktu ke depan. Kini Arindi sendiri memilih duduk di dekat gerbang hotel, berusaha menyembunyikan hawa keberadaannya dari orang-orang. Tentu saja dia malu dengan penampilannya. 

Orang-orang pasti akan memakinya, tapi bukankah itu sudah biasa bagi Arindi? Dia bahkan pernah dimaki-maki, dijambak dan dilaporkan ke polisi oleh istri kliennya. Tapi mau bagaimana lagi? Inilah risiko yang harus dia tanggung dengan pekerjaannya yang sekarang. Tidak mudah tapi lumayan menguntungkan. Sekali lagi, demi uang. Hanya demi uang Arindi mau melakukannya. 

Mbak di mana? Saya sudah sampai di tujuan, begitulah pesan yang dikirimkan oleh sopir taksi pesannya. 

Sontak saja Arindi terkejut tapi buru-buru mengetikkan balasan: Mas, bisa tolong mundur beberapa meter? 

Supir membalas: Baik, Mbak.

Arindi buru-buru naik ke mobil begitu berada di depannya, sebelum semakin banyak orang yang menyadari keberadaannya. Dia baru bisa bernapas lega ketika telah berhasil duduk dan menyandarkan punggungnya di jok belakang mobil tersebut. Si Supir agaknya terkejut menihat penampilan Arindi.

"Habis ngapain, Mbak?"

Arindi meliriknya tajam. "Bisa langsung jalan saja, Mas?"

"Baik, Mbak."

🏶🏶

PANGGILAN DARI 089675XXXXXX

Arindi hanya menghela napas ketika melihat nomor yang muncul di layar ponselnya. Pelanggan baru kah? Atau malah Om Agus yang sengaja menghubunginya menggunakan nomor baru? Ah, entahlah. Arindi sedang malas meladeni siapapun saat ini. Dia hanya ingin menikmati waktunya untuk menenangkan diri.

"Mas, bisa mampir ke toko baju dulu?" tanya Arindi sambil memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. 

Supir itu mengangguk. "Toko yang mana, Mbak?"

"Yang mana saja yang masih buka!" jawab Arindi ketus. 

"Baik, Mbak."

Arindi kembali menatap ke luar jendela mobil, memperhatikan satu per satu kendaraan yang mendahului ataupun melintas dari arah berlawanan dengan kendaraan yang ditumpanginya saat ini. Lagi-lagi kepalanya menampilkan kejadian kecelakaan nahas sore tadi, membuat sekujur tubuhnya mendadak menggigil. Bukan hanya karena kedinginan terkena AC mobil, tetapi juga oleh ingatannya sendiri.

Tubuh Arindi berkeringat, sementara dadanya terasa sesak seolah udara di sekitarnya telah menipis. Kenapa? Yah, kenapa rasanya sedemikian menyiksa? Andai saja dirinya tidak berada di sana saat kejadian, mungkin dia tak harus merasakan kesialan bertubi ini.

Mobil berhenti di sebuah toko busana yang cukup besar. Arindi segera turun dan berjalan memasuki toko. Persis dugaannya, orang-orang kini memandanginya aneh. Tanpa berlama-lama, Arindi mengambil sepotong pakaian dan sebuah celana levis kemudian memakainya di ruang ganti. Tidak cukup buruk. Dia keluar dan membayarnya di kasir.

"Langsung dipakai, Mbak?" Kasir muda menanyainya bingung.

Arindi mengangguk. "Kenapa?"

"Tidak apa-apa kok!" Dia langsung menempelkan kolom harga di lengan dan bagian samping celana Arindi kemudian menghitungnya. "Totalnya dengan diskon jadi tiga ratus delapan puluh, Mbak."

"Bisa pakai kartu kredit?"

Gadis itu mengangguk. "Tentu saja bisa."

Arindi tidak menyangka bahwa dia harus mengeluarkan uang sehingga tak membawa uang tunai yang cukup banyak. Hanya beberapa puluh ribu saja, untuk naik kendaraan umum. Sial! Dia tak bisa berhenti mengutuk kebodohannya sendiri. 

"Kalian lihat perempuan itu?"

"Kenapa, Jeng?"

"Menjijikkan!"

"Pasti bukan anak baik-baik."

"Amit-amit deh!"

Arindi berusaha mengabaikan sekumpulan perempuan paruh baya yang berada tak jauh darinya. Toh, pekerjaannya bagi sebagian besar orang memang menggelikan dan dia memakluminya. Mau bagaimanapun juga, Arindi tak akan pernah mampu mengubah pandangan orang terhadapnya. 

"Ini kartunya, Mbak!"

Lamunan Arindi buyar ketika kasir mengembalikan kartu kreditnya. Hanya senyuman tipis yang menjadi jawabannya, kemudian memasukkan kembali kartu tersebut ke dalam dompet. Arindi memendam kegetiran di dadanya. 

"Jangan sampai deh kita punya anak seperti itu!" ucap salah satu perempuan itu lagi. Dari sudut matanya, Arindi bisa melihat betapa panasnya obrolan para lansia tersebut. "Orang tuanya nggak benar."

Orang tua?

Langkah Arindi terhenti, dia berbalik dan mendekati mereka.

"Permisi?" katanya. "Saya mendengar ibu sekalian membicarakan saya?" lanjut Arindi penuh penekanan. "Apakah saya menganggu kalian?"

Perempuan berkerudung ungu melengos. "Aduh! Lihat, Jeng! Beraninya dia bicara seperti ini kepada kita. Tidak sopan."

"Kalian membicarakan kesopanan?" Arindi geleng-geleng. "Apakah tidak salah?" ulangnya dengan senyuman getir. "Anda menuduh saya tidak sopan? Kalau saya tidak sopan, lalu kalian apa? Membicarakan orang diam-diam, apakah itu cukup sopan?"

"Halah!"

"Cari pembelaan."

"Apa yang perlu saya bela?" kata Arindi tegas. "Saya tidak perlu pembelaan apapun. Harusnya yang perlu pembelaan adalah kalian ..., karena sudah membicarakan orang asing seenaknya sendiri."

Seketika mereka diam.

"Dengar ya! Kalian harusnya malu dengan umur. Belum lagi, tidak usah membawa orang tua saya kalau kalian sendiri bahkan tidak mengenalnya. Atau, saya akan membawa ini ke ranah hukum dengan pasal pencemaran nama baik dan tindakan tidak menyenangkan."

🏶🏶

Arindi masih mengingat dengan betul dengan perempuan yang disebutnya sebagai ibu. Perempuan yang rela merawat dan membesarkannya sendiri di lingkungan prostitusi selama bertahun-tahun lamanya. Tidak mudah. Ibunya berulang kali berupaya mengeluarkan dia dan Arini dari jeratan lingkar setan ini, hanya saja sebagai manusia .... Arindi benar-benar tak terima kalau ada yang bicara tidak-tidak tentang ibunya.

Air mata menetes di pelupuk mata Arindi, mengingat sepanjang hidup ibunya sama sekali dia belum bisa membuat beliau bangga. Meskipun jelas bahwa ibunya selalu berkata kalau anak-anaknya selalu berhasil membuatnya bahagia. Namun, Arindi tahu kalau di ujung usia perempuan tersebut, besar keinginannya melihat anak-anaknya keluar dari pekerjaan turunan ini. 

"Maafkan Arindi, Bu!" lirihnya pedih. "Arindi berjanji akan membuat Arini tetap hidup apapun yang terjadi. Suatu saat nanti, kami pasti bisa punya kehidupan yang normal selayaknya orang kebanyakan."

🏶🏶

TRRRR!

Arindi tidak kaget saat ponselnya kembali berdering, sebab sama seperti yang dia duga pastilah ini ulah Om Agus dan klien lainnya. Namun, setelah mengabaikan berkali-kali, panggilan tetap tak berhenti. Arindi pun akhirnya memilih membukanya.

SI SULUNG.

Mata Arindi membulat. Kenapa? Ada apa dengan Arini? Kenapa dia menghubunginya di jam seperti ini? Apakah terjadi sesuatu dengannya? Maka, segera Arindi menekan tanda hijau di layar dan menggesernya ke kanan.

"Halo, Ni? Lo nggak apa-apa kan? Apa kata dokter tadi? Hah?" cecar Arindi.

Terdengar helaan napas panjang di seberang sana. "Lo di mana? Masih sama klien?"

Meskipun tahu bahwa kakak angkatnya itu tidak bisa melihatnya, Arindi tetap menggeleng. "Gue di jalan sekarang. Kenapa? Lo mau titip sesuatu atau gimana?"

"Kok cepat banget?"

"Ceritanya ribet!" jawab Arindi asal. "Lo kenapa? Jawab dulu dong! Gue teleponin dokter atau gimana?"

"Gue nggak kenapa-kenapa, Rin!"

"Terus?"

"Gue mau lo balik sekarang."

"Tuh, kan!" Arindi semakin khawatir. "Kalau nggak kenapa-kenapa, terus kenapa lo nyuruh gue balik? Hah? Jangan bohong, Ni! Lo kenapa?"

"Harusnya gue yang tanya lo kenapa?"

"Gue?" Kening Arindi mengerut. "Kok jadi gue?"

Suara Arini yang serak kembali menghela napas. "Di rumah ada polisi mencari lo."

"Apa?"

"POLISI. P-O-L-I-S-I."

Bukan itu! Maksud Arindi, kenapa dengan polisi?