BRAKK!
Benturan keras antara trotoar dengan mobil sedan hitam tersebut membuat Arindi berteriak kencang. Dia meringkuk di atas trotoar sambil gemetaran, menatap mobil yang kini ringsek di sana. Tidak ada siapapun di sana, pun kendaraan yang melintas di kawasan ini juga sepi hanya terdapat beberapa orang di kejauhan yang berlari menghampiri.
Seorang pria keluar dari dalam mobil, menatap Arindi sebentar lalu melompati pembatas di belakang halte. Sedangkan di dalam mobil terdengar bunyi rintihan. Arindi segera bangkit dan menengoknya, benar saja seorang perempuan tua terduduk di kursi samping kemudi dengan kondisi mengenaskan.
Muka perempuan tersebut dipenuhi darah segar.
"To –tolong!" rintihnya dengan tangan terulur ke pada Arindi. "Sa –sa –kit!"
Arindi kembali bergeming, seluruh tubuhnya seakan kehilangan daya. Kakinya kembali lemas dan tidak bisa digerakkan, sama sekali. Barulah setelah itu, seorang pria bertubuh besar dan beberapa temannya mendekati mobil dan ikut melihat keadaan perempuan tua tersebut.
"ASTAGA!"
"Panggilkan ambulance!"
"Telepon rumah sakit!"
"Tolong siapa yang bisa bantu! Woy!"
Begitulah orang-orang saling berteriak satu sama lain. Arindi segera menggeser posisi tubuhnya ketika seorang lelaki memintanya sedikit menjauh karena mereka berencana akan mengeluarkan perempuan tua dari dalam mobil. Bersusah payah mereka mengangkat dan meletakkan wanita paruh baya itu di halte.
"Ambulance mana? Woy, siapa yang bisa telepon ambulance!"
"Ambulance terdekat terkena macet!"
"Sibuk ngurusin kecelakaan bus di jalan utama!"
"Lalu, bagaimana ini? Dia bisa meninggal nanti!"
Bapak-bapak tersebut segera berlari ke tengah jalan sambil melambaikan tangan ke arah pengemudi, meminta pertolongan. Beberapa mobil melintas begitu saja tanpa menghiraukan, seolah tidak peduli.
"Orang-orang ini kenapa? Dimintai pertolongan malah tidak ada yang peduli!" celetuk bapak bertubuh gempal. "Polisi juga mana? Kenapa tidak ada yang bertugas di sekitar sini?"
"Kamu tidak apa, Dik?"
Arindi terkejut saat seseorang menepuk bahunya.
"Ada yang terluka?"
Setengah kebingungan, Arindi menggeleng.
"Bisa bantu memangkunya?" tanya bapak berkumis tebal. "Kamu kan perempuan. Bapak tidak berani menyentuhnya. Tolong temani sebentar saja, Bapak akan berjalan ke jalan depan siapa tahu ada yang bisa bantu."
Arindi mengangguk, lalu mendekati perempuan tua itu dan langsung disambut dengan genggaman kuat. Yah, tangan Arindi diremas olehnya.
"To –tolong!"
Arindi mengangguk, lalu melihat besi kecil yang menusuk perut perempuan tersebut. Dia bergidik ngeri membayangkan betapa mengerikannya hal tersebut, tapi berusaha menyebunyikannya dengan senyuman palsu.
"Tunggu sebentar ya, Bu!" kata Arindi. "Tim medis akan datang sebentar lagi."
"Sa –saya ..., ti –dak ..., ma –mau mati."
Kedua tangan Arindi mengelus tangan kiri perempuan itu –yang berdarah-darah terkena luka –lembut. "Ibu tidak akan mati."
"D –doni."
"Doni?"
"A –nak saya."
Arindi mengangguk. "Ibu tenang saja, kita pasti bisa bertemu dengan Doni kembali. Polisi akan mengurus dan memberi tahunya nanti."
"D –doni," rintih perempuan tua. "To –tolong! Sa –saya tidak kuat."
Tidak! Arindi sama sekali belum pernah melihat orang sekarat secara langsung sebelumnya. Karena biasanya, yang dia saksikan di atas ranjang adalah jiwa-jiwa kosong dan hampir mati dalam tubuh sehat, bukan sebaliknya. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Arindi merasakan mulutnya kering.
Beberapa kali Arindi memejamkan mata guna mengumpulkan energi dan menguatkan dirinya sendiri. "Pak? Apakah masih lama?" tanyanya kepada Bapak Berkumis Tebal.
"Sebentar lagi, Dik!" jawab lelaki itu setengah berteriak. "Nah ...!" lanjutnya saat menyambut sebuah mobil berwarna biru menepi. "Tolong, Mas! Bawa ke rumah sakit sekarang!"
Seorang lelaki muda berseragam keki muncul dan buru-buru berlari mendekat ke arah Arindi. "Langsung bantu masukkan mobil, Pak!"
Arindi lagi-lagi menggeser posisinya, dia memandangi orang-orang dengan air mata yang entah bagaimana sudah deras membasahi muka. Dia menekan ujung pakaiannya kuat-kuat, membayangkan betapa menyakitkan yang dirasakan oleh perempuan tersebut.
"Dik!"
Arindi menoleh. "Ya?"
"Bisa kamu temani ke rumah sakit?"
"Lha kok saya?" ucapnya lirik.
Bapak Berkepala Botak mendorong tubuh mungil Arindi masuk ke dalam mobil. Mau tak mau dia akhirnya harus menemaninya datang ke rumah sakit. Di sepanjang jalan yang dipenuhi keheningan, Arindi hanya mampu menggenggam tangan perempuan itu kuat-kuat. Sementara pemilik mobil ditemani bapak-bapak yang mengendarai sepeda motor di depannya, mencoba membelah kemacetan.
"A –a –apakah saya akan sampai rumah sakit tepat waktu?"
🏶🏶
"TOLONG! DOKTER!"
Pemilik mobil dan bapak-bapak tadi berteriak ketika sampai di rumah sakit, membuat para perawat berseragam hijau muda berlarian sambil membawa ranjang. Arindi sendiri sangat ketakutan sebab perempuan di pangkuannya kini sama sekali tak bergerak. Dia mungkin kehabisan darah dan semacamnya.
"Kondisi pasien sangat mengkhawatirkan!" kata salah seorang perawat ketika membuka pintu mobil. "Cepat bawa ke UGD!"
"Apakah Anda juga korban kecelakaan?" Perawat lainnya menanyai Arindi.
Perempuan itu menggeleng. "Bukan, Sus."
"Apakah Anda keluarganya?"
Sekali lagi Arindi menggeleng.
"Dia ada di lokasi saat kejadian," sahut Bapak Berkepala Botak. "Gadis ini hampir tertabrak mobil tadinya, tolong turut diperiksa, Sus."
Perempuan berambut pendek itu mengangguk, lalu menatap Arindi. "Anda harus ikut ke dalam. Kami perlu memastikan apakah Anda perlu ditangani atau tidak."
"Tapi saya baik-baik saja, Sus."
"Sudah ikut saja, Mbak!"
Akhirnya mau tidak mau, Arindi berjalan mengekori mereka ke UGD. Tempatnya tepat berada di depan, tidak perlu ada adegan dramatis layaknya sinetron. Di sana Arindi diperiksa, benar saja ditemukan sedikit luka di kaki kirinya. Mungkin akibat terjatuh sebelumnya, tapi Arindi bahkan tak menyadarinya sama sekali. Sementara itu bapak-bapak baik hati langsung pulang, meninggalkannya sendirian.
"Bagaimana kondisi orang tadi, Sus?" tanya Arindi.
Perawat yang membalut lukanya tersenyum. "Masih diperiksa."
"Apakah dia akan selamat? Maksudku, dia masih hidup kan?"
"Kita doakan saja," jawab perawat itu. "Anda pasti mengalami hal yang mengerikan sekarang. Maksud saya ..., semacam trauma."
Arindi menggeleng. "Tidak mungkin."
"Banyak saksi kecelakaan yang mengalaminya tapi tidak sadar," kata perawat membuat sorot mata Arindi melemah. "Anda tidak perlu takut, hanya perlu mempersiapkan diri. Pemulihan semacam gangguan mental dan trauma lainnya ditanggung oleh BPJS."
"Benarkah?"
"Tentu saja." Sentuhan terakhir pada lukanya, Arindi mendapatkan perban yang rapi dan cantik. "Tidak semua orang tahu mengetahuinya, padahal sangat bermanfaat. Kalau Anda merasa kondisi mental kurang bagus, segera memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan terdekat, misalnya puskesmas."
"Kalau di sana tidak ada layanannya?"
"Anda akan mendapatkan surat rujukan ke rumah sakit." Perawat itu berdiri dan memberikan teh hangat untuk Arindi. "Banyak orang berpikir kesehatan mental tidak penting, padahal sangat berpengaruh dalam kehidupan."
"Terima kasih, Sus!" ucap Arindi saat menerima teh. "Omong-omong, sudah lama Suster bekerja di sini?"
"KONDISI PASIEN MEMBURUK!"
Arindi dan perawatnya segera menoleh ke ruangan tertutup di sisi lain UGD. Tampak seorang dokter perempuan berlari masuk ke dalam ruangan dengan panik.
"Apakah keluarga pasien sudah berhasil dihubungi?"
"Belum, Dok."
"Kondisinya memburuk. Kita perlu meminta izin melakukan tindakan operasi."
"Sedang kami usahakan, Dok."
"Pihak kepolisian akan segera memberikan identitas korban."
"Usahakan secepatnya."
"Baik, Dok!"
Arindi hanya memperhatikan kekacauan tersebut dari posisi duduknya. Tanpa sadar air matanya menetes. Dia hanya ingin perempuan itu selamat.