Chereads / DINGINNYA SUAMIKU / Chapter 11 - BAB 11

Chapter 11 - BAB 11

Saat Kami bergandengan tangan hendak masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba ada seseorang yang memanggilku dari arah samping. Aku dan David menoleh ke arah suara tersebut. Aku dibuat tercekat oleh seseorang itu. Wajahku seketika berubah menjadi pias dengan kedua mataku membulat sempurna.

Aku masih terpaku, berusaha mengingat wajah dan suara itu. Namun, hal itu tak membuahkan hasil.

Kembali dia terdengar memanggilku, daripada terus-menerus berpikir, lebih baik aku memberanikan untuk berjalan mendekat ke arahnya.

Sosok seorang perempuan cantik dengan kaos oblong dan celana jeans, kini ia tepat berdiri di hadapanku. Aku kembali terpekik saat ia kembali memanggil namaku.

"Keyla, melihat aku seperti melihat hantu saja."

"Kamu nyaris membuat jantungku lompat dari tempatnya, Vina. Astaga kamu makin cantik saja. Kenapa kamu ada di sini?" tanyaku sambil mengulurkan tanganku.

"Ini baru melihat kontrakan, katanya hari ini ada orang yang akan menyewa," jawabnya sambil telunjuknya menunjuk ke arah rumah kontrakan yang lumayan besar.

"Ini punya kamu, Vina?" tanyaku.

"Bukan! Tapi milik Tanteku!" jawabnya sambil melirik ke arah David.

"Ini suami kamu, Keyla?"

"Em, kenalin ini, David. Calon suami aku," ucapku. Lalu mereka saling berjabat tangan dan menyebut nama masing-masing.

Setelah berbincang kurang lebih 10 menit, aku dan David, masuk ke dalam rumah kontrakannya, David.

******

POV REYNA

"Ris, maafin aku, ya! Kalau kerjasama perusahaan kamu dan Mas Reyhan, gagal karena aku," ucapku pada Haris.

"Sudah, jangan minta maaf! Ini bukan salah kamu. Aku juga tak sudi kerja sama dengan, Reyhan," jelas Haris.

Hari ini adalah hari Minggu, aku dan Haris, berencana untuk mencari rumah kontrakan. Tidak enak hati, kalau harus menumpang terus di rumah, Haris. Dia sudah sangat banyak membantuku, sejak dari bangku kuliah.

Ibu datang mendekat ke arah kami, dengan membawa minuman dingin dan camilan. "Ibu, hari ini, aku dan Haris, mau pergi cari kontrakan," ucapku pada Ibu yang duduk di sebelahku.

"Iya, lebih cepat itu lebih baik, nak! Supaya kita tidak selalu merepotkan, nak Haris." jelas ibu menepuk pundakku

"Sebenernya kalau kalian tinggal di sini, saya lebih suka. Biar rumah ini tak sepi. Dan tentunya, ada yang masakin buat aku," ucap Haris sambil nyengir kuda.

Kami terkekeh. "Makanya, cepet cari istri! Biar kamu ada yang ngurus," tuturku sambil memegang perutku. Karena melihat tingkah Haris, yang seperti anak kecil, hendak ditinggal Ibunya.

"Owh iya, Bapak di mana, Ibu?" tanyaku sambil mataku menoleh sekeliling mencari keberadaan Bapak.

"Bapak kamu lagi istirahat di kamar!" jawab Ibu dengan tersenyum.

"Owh, iya sudah. Ibu, sebaiknya juga ikut istirahat! Aku dan Haris, mau pergi sekarang," pamitku pada Ibu. Aku dan Haris pun bersalaman sama Ibu. Kemudian, kami keluar dengan diantar oleh Ibu, hingga teras depan.

Sesampainya di mobil, Haris langsung melajukan mobilnya dengan kekuatan sedang. "Loh, Ris. Ini kan, arah menuju kantor?" tanyaku penasaran.

"Iya, aku dengar di dekat kantor, ada rumah kontrakan yang kosong. Barang kali, kamu cocok! Tempatnya juga sangat dekat di kantor. Jadi, kamu bisa jalan kaki. Hemat biaya." jelas Haris.

"Dapat info dari mana kamu, Ris?" tanyaku heran sambil memandang wajahnya, yang fokus dengan kemudinya. Dia hanya tersenyum tanpa menjawab. Aku tersenyum samar. "Terimakasih ya, Ris. Kamu memang sahabatku yang terbaik."

"Sudahlah," Haris langsung menyahut.

Kurang dari 30 menit, kami pun sampai di sebuah rumah kontrakan yang di maksud oleh, Haris. Tempat ini memang sangat dekat dengan kantor.

"Ini kontrakan yang aku ceritakan sama kamu, Reyna, dan itu rumah Bu Siti, pemilik kontrakan," tunjuk Haris pada rumah yang berjejer ini padaku dan rumah yang bertingkat dua yang berjarak tiga rumah dari kontrakan ini.

"Kalau tidak salah rumah paling ujung barat yang kosong," sambungnya.

"Rumahnya kelihatan bersih, aku suka," jawabku.

"Syukurlah kalau kamu suka. Kalau begitu, kita langsung ke rumah Bu Siti saja. Biar kamu langsung bisa lihat dalamnya." ajak Haris.

"Baiklah."

Kami berdua berjalan menuju rumah bertingkat tersebut, yang berjarak tidak jauh dari tempat kami berdiri yang sekarang.

Sebuah pagar setinggi tiga meter tersebut seolah menyambut kedatangan kami, pagar besi berwarna hitam ini nampak kontras dengan warna cat rumah yang nyaris berwarna putih semua.

Satpam penjaga rumahnya, menyambut kedatangan kami. Lalu, kami menyampaikan kedatangan ke rumah ini, ia pun mempersilakan kami untuk masuk.

"Mbaknya tunggu saja di sini, nanti ibu akan datang untuk menemui kalian."

Aku menunggu dengan Haris di ruang tamu, tak terasa akhirnya ibu Siti datang dan duduk di hadapan kami.

Kami memperkenalkan diri, dan mengatakan maksud dan tujuan kami ke sini, dengan pelan aku menjelaskan statusku dan memperlihatkan KTP ku.

"Iya, silakan. Tak masalah," ucap perempuan paruh baya ini.

Aku tak mengerti, untuk sesaat aku merasa tatapan matanya sangat tajam padaku dan aku merasa mulai tak nyaman.

"Jadi nak Reyna, akan tinggal sendiri di rumah?"

Aku menggeleng. "Tidak, Bu. Aku akan tinggal bersama kedua orang tuaku."

Ditengah sibuknya Bu Siti mengintrogasiku dengan berbagai macam pertanyaan, yang sudah semacam polisi terhadap tahanan, seorang laki-laki datang dan memberi salam kepada Bu Siti.

"Kamu sudah pulang, Dimas?"

Laki-laki itu mengangguk dan terus mencium tangan ibunya.

"Iya, Bu," jawab laki-laki itu.

Laki-laki itu menoleh lalu menatapku tajam. Netranya tak berkedip memandangku. Sungguh membuatku tak merasa nyaman.

"Siapa mereka, ma?" Ia bertanya sambil mengalihkan pandangannya dariku.

"Calon penyewa kontrakan, nak," jawab Bu Siti.

Untuk kedua kalinya laki-laki itu menatapku dengan sorot mata yang tajam. Apakah ada yang salah dengan penampilanku? Sehingga membuatnya tak berkedip menatapku.

Padahal, ini pertama kalinya kita bertemu. Dan menurutku sambutannya sangat tidak nyaman. Entah, mengapa ia melakukan hal ini? Seperti yang dilakukan ibunya tadi, sebelum ia datang.

"Maaf Mas, apa sebelumnya kita pernah bertemu?" aku memberanikan diri untuk bertanya. Sungguh tatapannya sangat membuat aku kurang nyaman.

Laki-laki yang terlihat seumuran dengan Mas Reyhan ini sedikit terkejut. Terlihat dari tatapan matanya yang masih tak berkedip memandangku. Membuatku merasa risih.

"Maaf, nak Reyna, sebenarnya kamu sangat mirip dengan seseorang yang kami kenal," jawab Bu Siti menyela.

"Maaf mbak, kalau sikap saya membuat tidak nyaman, namun, wajah mbak sangat mirip dengan salah seorang anggota keluarga kami," jawab laki-laki yang bernama Dimas ini.

"Maaf, aku kira kita pernah bertemu sebelumnya dan aku lupa," terangku.

"Tidak, mbak Reyna. Untuk sekilas wajah dan senyum mbak, sangat mirip dengan seseorang. Itu saja. Maaf sekali lagi kalau sikap kami membuat mbak Reyna tidak nyaman," Dimas kembali menjelaskan.

"Mbak Reyna, mau dengan rumahnya?" tanya Bu Siti selanjutnya.

"Iya, Bu."

"Iya sudah, jika mbak Reyna mau, nanti akan saya suruh orang untuk membersihkannya. Biar besok bisa langsung ditempati," jelasnya.

"Baik, Bu."

Setelah semua urusan sudah selesai aku dan Haris pamit untuk pulang.

Bu siti dan Dimas mengantar kami sampai di depan pintu pagar rumahnya. Kami berlalu dari rumah besar milik Bu Siti. Saat hendak masuk ke dalam mobil, tiba-tiba aku melihat pemandangan yang membuat mataku terbelalak. Seolah aku tak percaya. Apakah yang aku lihat ini dia atau hanya seseorang yang mirip dengannya?