"Kal, nikah yok," ajak Raden lagi sore itu, kemunculanya seperti jaelangkung suka tiba-tiba. Wajah tampan yang memelas.
Klara jadi menghembus nafas lelah, kemudian tetap beranjak pergi. Kembali pada Raden seperti kembali pada buku lama, dan kembali akan membosankan.
"Kal," panggil Raden lagi, nadanya meninggi, meminta langkah Klara berhenti sejenak. Seperti meminta diberi tahu bahwa Raden minta di dengarkan.
Klara tetap berjalan menuju lorong, tangan kanannya berat membawa berkas dan bahunya berat membawa beban skripsian, tidak perlu melayani Raden sepertinya.
"Oke, Gua bilang ke seluruh dosbing dan mahasiswa sini kalo lu itu mahasiswi pengedar narkoba," teriak Raden, berteriak meminta diperhatikan, dengan mata yang melotot seperti memberi tahu suatu hal.
Klara menoleh, menuruni anak tangga, karena posisinyaa dengan Raden sudah lumayan menjauh.
Raden tersenyum, Klara menuruni tangga dengan gemas. Hatinya terasa menghangat seperti ada hal yang menyenangkan.
Klara menatap tajam, kemudian tersenyum. Memegang pipi Raden tidak lupa membelai halus.
Raden makin menampakan deretan gigi putih.
Makin percaya diri, lamaran dan tawaran kembali saat ini sepertinya akan banyak berhasil.
"Mahasiswa hebat kaya anda ini yang perlu diperbanyak," puji Klara.
"Diperbanyak masuk kuburan Laden. Apa lo? Masih punya muka?" Bentak Klara makin berani sekarang. Tanganya berubah memegang kerah kemeja Raden.
"Gua risih," bisik Klara. Kemudian melepas hembas. Berbalik badan ingin pergi.
"Seberapa kuat si mau ngelawan ketua karate?"
Klara gelagepan, tidak bisa bernafas dengan baik, tubuhnya berada didekapan Raden, tarikan maut Raden mampu membuat Klara terhuyung dan jatuh dalam dekap.
Klara mendongak, matanya tak bisa berkedip, Raden begitu terlihat tampan dua kali lipat, dagunya lancip dan rahang tegas.
"Nah kan, jatuh cinta lagi lu," ejek Raden. Sembari tertawa cekikikan senang.
Klara yang sudah memerah segera bangkit, dia sudah mati kutu terlihat sedang melihat wajah Raden diam-diam.
Klara segera memasang kuda-kuda. Membenarkan kemeja yang hampir kusut tertarik ke atas.
"Kuda-kuda lo lemah Kal," ejek Raden tidak tanggung.
Menjulurkan lidah dengan lebih menggemaskan.
"Bresek ya," jawab Klara tidak terima, bergegas dengan menepuk pundak Raden.
Matanya sudah buram dengan pandangan banyak mata yang menatap adegan berdosa itu.
"Gila, tatapan kak Raden tulus bgt."
"Mau jadi kak Klara."
Sifatnya seperti dalam novel-novel romance SMA saja. Padahal mereka para mahasiswa lo. Kenapa pesona Raden begitu kuat?
"Kak raden?"
"Makasih," ucapnya menjawab. Aku sudah samar mendengar percakapan mereka. Malu dan kesal sekarang bertumpuk jadi satu.
Aku jadi tidak mood untuk bimbingan siang ini akibat kejadian itu.
Sepanjang jalan menuju parkiran, Klara menunduk malas, menggunakan aerphone, ada anak-anak sastra di depan forum bahasa, jika menoleh sedikit saja maka Klara akan dipanggil.
Tidak mood Klara sedang tidak baik.
"Di ujung sana itu calon istri, minta saja tanda tanganya, nanti baru daftar UKM Karate."
Klara yang baru duduk menyeruput es lemon jadi mendidih, masih bersikap cuek, mencoba melirikan mata kanan dan kiri bergantian. Memastikan bahwa yang sedang dijadikan target bukan Klara.
"Kak," panggil bocah yang berada dibelakang Klara.
Klara menahan nafas tidak ingin percaya diri, masih menyeruput es dengan semangat, haus juga menghadapi Raden.
"Minta tanda tangan," ucapnya gugup, sekarang lebih berada disamping Klara, merunduk dengan malu-malu.
"Tanda tangan?" tanya Klara balik, plonga plongo.
Gadis itu mengangguk, menggunakan baju olahraga hitam-hitam.
"Iya, kata kak Raden begitu, salah satu syaratnya harus meminta tanda tangan senior dari UKM terate," tuturnya lagi dilanjutkan.
Klara mengangguk, kurang ajar sekali laki-laki atas nama Raden Alasia itu.
Klara menarik nafas, sudah ada lima anak yang mengantri, mereka terlihat berkeringat, wajahnya juga kusut kumal-kumal, pipi kanan ada yang penuh pasir ada juga yang pipi kirinya terkena lumpur.
"Yakin tanda tangan saya? Mahal ini," ujar Klara. Menatap satu persatu mata anak-anak itu.
Mereka sepakat mengangguk.
"Kalian sudah riset? Saya siapa?"
"Calon Istri kak Raden." mereka sepakat menjawab begitu.
Klara menangguk masih mengangga, Raden keterlaluan mempermalukan.
Klara mengangguk tidak setuju, hanya reflek saja pada tingkah mereka, kenapa mudah sekali dapat informasi tidak akurat.
"Kak sejak kapan kaka belajar Karate? Kak Raden selalu kalah jika berlawanan dengan kakak," sahut yang sedang memainkan rambut.
Klara memperhatikan sorot mata. Melihat persatu. Sejauh mana Raden bercerita tentang Klara?
"Kak, bisa segera?" sahut satunya lagi. Sembari memberikan pena. Klara diam, gengsi juga memberikan tanda tangan, nanti Raden akan Segera bersiul-siul senang percaya diri. Tapi lihat mereka sudah menatap penuh harap pada Klara.
"Hm," dehem Klara, tenggorokanya mengerin, sedari tadi mereka terlalu bercanda, Raden membuat Klara haus saja.
"Saya oke, tapi tetap sebagai senior, urusan tanda tangan kembali saya berikan pada Raden," ujar Klara, menggunakan bahasa sopan formal yang paling dia bisa.
Mereka bernafas lemah seperti kecewa. Klara jadi tidak enak hati, tapi tidak salah ini tingkah raden saja yang keterlaluan.
"Oke, boleh silahkan balik stand, salam buat kak Raden dari senior," ucap Klara tegas. Mereka diam saja, mengeluh sedikit sudah berlama-lama terjemur terik matahari. Hanya menunggu penolakan dari Klara.
"Kak, kami tak bisa masuk UKM karate jika kaka tak tanda tangan," pintanya lagi, salah satu yang terlihat lebih menggemaskan.
"Bisa! Nanti kakak yang bicara, sekarang kalian balik lagi ke stand ya," usir Klara dengan cara halus. Raden keterlaluan merepotkan dengan begini, Klara kan tidak mungkin mengusir mentah-mentah.
"Yakin? Kami tidak mau jika harus kembali kesini." Yang ngeyel ikutan ujuk berbicara.
Klara menarik nafas. Berjanji dalam hati membuat perhitungan matang pada Raden.
"Aman!" Jawab Klara lumayan sedikit berat nada bicaranya.
"Oke, silahkan mundur lewat belakang, Kesatria juga tahu sopan santun meskipun dia hebat," tutur Klara, menyilahkan mereka pergi berurutan.
Mereka akhirnya pergi dengan tertib. Klara menatap lurus para mahasiswa yang berjalan. Menarik nafas dalam.
"Kak, please tanda tangan ya, kak Raden barusan menyuruh kami kembali," ujar mereka memelas.
"Minta apa si kak? Kalo ada apa-apa bilang, kita korban ghosting nih," teriak laki-laki yang dibelakang.
Klara menutup mulut gemas.
Menarik nafas dalam, kemudian memberikan tanda mereka berbaris dengan rapi.
"Oke, satu kata tentang karate?" tanya Klara tajam, kemudian memegang buku yang meminta tanda tangan lengkap dengan pulpen.
"Jepang," celetuknya.
Klara mengangguk kemudian memberi tanda tangan. Pada baris selanjutnya Klara hanya mampu memainkan bolpoint yang dipegang.
"Kuat," jawab lagi. Klara segera memberi tanda tangan. Antrian mereka hampir tujuh puluh anak, Raden tidak tanggung-tanggung memberi tantangan.
"Capek ya? Ni minum dulu," Klara menoleh, mengambil air mineral yang sudah dibuka tutup botolnya.
Meneguk dengan haus. Melayani tanda tangan 70 anak-anak cukup membuat Klara Dehidrasi.
"Puas?" Tantang Klara setelah puas meneguk air.
"Kasihan ya calon istli, ikutan bantu kerja suami," ujar Raden. Aksen cedal itu terlihat jelas.
"Bodo amat Laden, sama-sama ya." Bangkit Klara.
"Kal, kembali balikan yuk"