"Fabio, gimana udah selesai acara kampus?"
Fabio mengangguk, meraih tangan Klara untuk duduk bersebelahan. "Udah selesai si, cuma ada sedikit kendala dana, biasalah apapun acaranya dana jadi masalah," tutur Fabio.
Mereka bertemu di perpustakaan, sebagai aktivis kampus waktu bertemu sebentar akan terasa menjadi berharga.
"Iya emang gitu," jawab Klara, diikuti cengiran tanpa dosa, apapun acara duit memang paling berperan.
"Fabio, mau makan bareng ga?" ajak klara, mengalihkan pembicaraan.
Fabio memainkan bibir, seakan sedang menimang-nimang dengan baik.
Kemudian menggeleng. "Aku ada rapat sama bendahara umum, besok aja," tolak halus Fabio.
Klara sekarang ingin menghilang saja, malu sekali rasanya ditolak, pipinya pasti sudah bersemu merah penuh.
"Oh, aku juga ada tugas yang lain," ucap Klara. Hari ini adalah jadwal free hanya untuk bertemu dengan Fabio ternyata salah.
Klara menelan ludan, membasahi kerongkongan yang basah, bingung hendak bertingkah apa sekarang.
"Aku pamit." Tersenyum halus, mendekati Fabio yang masih menyeruput kopi hitam. Klara sengaja pamit duluan, suasana sudah canggung dan tidak mengenakan.
"Kemana?" tanya sedikit kaget.
Klara menggeleng, tapi sudah bangkit. "Kamu sebenarnya?" Klara mengambil nafas mengurungkan pertanyaan pada Fabio.
"Apa?" Fabio melembut gemas.
"Gak sayang kamu?" Terus Fabio menebak perkataan Klara yang sempat tertunda.
"Sayang Klara, Marry and settle down." Tatap Fabio penuh harap, selama ini yang terlihat Fabio tidak pernah terlihat main-main dalam berhubungan.
Fabio dan Klara tidak ada ikatan apapun hingga cemburu saja Klara jadi bingung, apakah dia punya hak.
Klara mengangguk "beneran? Tingkah kamu yang bikin aku ga yakin Fabio." Klara sedikit menahan diri, walaupun nadanya naik tapi Klara masih hati-hati.
"Itu versi kamu Ra," jawab Fabio tenang, memegang tangan Klara.
"Heh," panggil Fabio kini menatap manik mata Klara dengan tenang, kemudian tersenyum lembut.
"Percaya aku ya, Aku tidak berjuang jika itu tidak untukmu," tambah Fabio lagi.
Klara selalu luluh jika Fabio sudah begini, rasanya dinding pertahanan miliknya hancur seketika dan runtuh.
Klara diam, tersenyum tipis. Kemudian mengangguk, kembali mempercayai Fabio.
"Aku pergi rapat dulu," pamit Fabio kali ini, pada akhirnya Klara adalah manusia yang ditinggal, sepanjang sejarah mereka berdua, selalu dan begitu Klara saja yang ditinggal dengan uang ratusan ribu.
Klara menghembus nafas lelah. Kemudian mencium tangan Fabio tulus, tidak lupa Fabio mencium pucuk kepala Klara. Ini hanya adegan formalitas saja.
Tidak ada romantisnya.
"Hati-hati." Klara melambaikan tangan.
Fabio mengangguk saja, kemudian pergi, meninggakkan Klara yang masih melihat punggung Fabio.
"Lemah manusia, tidak bisa mendeteksi hati manusia lain," gerutu Klara.
Fabio tidak pernah bersikap manis sejak mereka bertemu pertama kali.
"Aku sudah melihat banyak hal baik yang bisa dilakukan jika kita bersama, mau menemani aku tidak? Namaku Fabio Masakaiya," ujarnya Kala itu, saat tidak sengaja kami sama-sama menunggu diruang dosen.
Klara menggeser duduknya menjauh, sedikit takut-takut juga dengan lelaki yang baru ditemui tapi sudah berani mengajak bersama, jika bukan lelaki gombal dan fuckboy maka hal itu tidak mungkin dilakukan.
Klara menaikan tangan seperti menolak.
Laki itu diam, kemudian tersenyum. "Tidak papa, terimakasih," jawabnya sopan membuat Klara menjadi bingung dan penasaran.
Setelahnya keduanya menjadi diam dan fokus pada tujuan awal.
"Kak Fabio, Presiden mahasiswa sekarang ya? Ya ampun ganteng banget,"
"Boleh minta tanda tangan ya kak," pinta kedua mahasiswa yang masih cupu-cupu penampilanya, mungkin masih mahasiswa baru.
Klara mendengar dengan jelas, sekudet itu ya Klara.
Baru saja dia hampir menjadi pacar Presiden mahasiswa, akibat terlalu kudet Klara jadi menolak begitu saja.
Fabio menoleh dengan senyum mengejek yang puas, seperti sedang berkata "ditolakmu tidak membuat aku kehilangan prioritas"
Sudut mata kala masih penasaran ingin melihat wajahnya, apakah benar tampan atau hanya biasa saja.
Tadi juga Klara tidak sempat melihat wajah.
"Kalo ada waktu nongki ya kak," ajak satunya lagi.
"Sibuk dek, mau sukses gak boleh nongki-nongki," jawabnya, menolak ajakan dengan halus.
Klara yang mendengar jadi gatal ingin menoleh, tapi diurungkan.
Setelahnya mereka sama-sama pergi menuju ruangan yang berbeda menyisahkan rasa penasaran Klara yang sesak di dada.
"Tukan dibilang juga jodoh," sahutnya Klara keluar dari ruangan, Klara menoleh. Ah benar presiden mahasiswa narsis tadi.
"Tawaran tadi masih ada nona, Benarkah tidak berniat?" Ledeknya pada Klara, memainkan mata penuh gemas.
Klara menarik nafas, kemudian tersenyum. Lucu ya manusia ini baru bertemu sudah begitu.
"Sudah ahli sekali yaa bund," balas Klara. Tidak juga menatap Fabio.
Fabio yang mendengar terkekeh senang, ah merdu sekali. Sesuai dugaan wanita ini pasti anak berbakat nan pintar yang tidak pernah terlihat.
"Kamu anak ukm?" Fabio masih lanjut bertanya penasaran.
Klara berjalan lebih dulu di depan fabio.
"Gak usah buru-buru," tahan Fabio. Klara tetap berjalan kencang, walaupun penasaran di dada, tapi Klara tidak mau luluh begitu saja.
"Sebentar," panggil Fabio lagi.
Handphoneku ketinggalan.
Klara masih berjalan.
Tapi langkah kaki Fabio terasa sudah tidak mengikuti, sedikit Khawatir juga, takut-takut Fabio harus kembali ke atas sendiri, Lift sedang ramai dosen.
Mahasiswa harus berjalan melalui tangga darurat.
Klara menoleh, Fabio terlihat nyenggir gembira akibat diperhatikan, lalu kemudian mengubah raut menjadi cemas.
"Yaudah kamu duluan aja," ujar Fabio.
Klara jadi iba, sepanjang mereka berjalan toh si Fabio tidak juga menganggu Klara.
Jika diatas sana ada yang bisa dihubungi dan tidak mengharuskan Fabio naik lebih baik.
"Nih," tawar Klara menyerahkan hanphone.
Fabio menggeleng kemudian tersenyum.
"Jangan memaksa dong," ujarnya kemudian mendekat.
Klara jadi kesal juga berbaik hati.
"Udah aku simpan nomermu, namaku Fabio, presiden mahasiswa tahun ini, senang bertemu denganmu nona," pamit Fabio melambai tangan.
Gerak Fabio terlalu sat set untuk Klara yang plonga plongo. Begitu saja, Klara harus mikir banter supaya masuk diakal.
Membuka layar hanphone klara melemas, nomernya sudah dicuri.
"Liatin siapa Kal?" Klara terlonjak kaget. Menoleh kebelakang dengan cepat.
Ah kembali Raden lagi, Raden terus. Klara jadi badmood. Barusan saja dia mengenang saat pertama bertemu dengan Fabio.
"Gak ada," sahut Klara. Membereskan uang yang baru ditinggalkan fabio, dan memasukan hanphone ke dalam tas.
"Ada acara?" Raden masih bertanya mencari informasi.
"Ga," jawab Klara singkat.
"Sakit mata?" tanya Raden lebih pada nada cemas.
Klara menggeleng namun tidak yakin, takut ketahuan sedang berkaca-kaca.
"Serius?" Raden kembali bertanya, masih ingin meyakinkan bahwa Klara baik-baik saja.
"Ngak Raden, emang merah? Atau berair?"
"Kamu rasanya gimana kal?" Raden balik bertanya dengan huruf R yang tidak jelas.
Klara menggeleng yakin.
"Oh," jawab Raden kemudian mengangguk.
"Kalo ga sakit mata, boleh nonton dibioskop dong, nonton yuk," ajak Raden, dengan senyum lebar. Puas sekali bisa mengajak Klara.
Klara membuang muka malas. "Oh," jawabnya singkat. "Boleh ya Kal," pinta Raden lagi.
"Gak sakit mata sih, cuma sakit hati."