Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Guntur Sabdo di MayaPada

Sugi_TheRich
--
chs / week
--
NOT RATINGS
16.3k
Views
Synopsis
Seorang pendekar desa yang suka wayang. Suatu saat dia menemukan sebuah lorong menuju dunia dewa yang menjadikannya bisa mencapai dunia itu. Dunia yang disebut Maya-Pada, sebuah dunia dewa yang dipimpin oleh Sang Manik Maya. Melalui lorong yang terdapat di dalam goa di dekat Danau Waru, yaitu jalan persimpangan yang belum terjamah orang lain sebelumnya di jaman itu. Guntur menemukan petunjuk dalam mimpi supaya memasuki lorong itu dan mengalirkan tenaga dalam murni di ujung jalan buntunya. Akhirnya Guntur menemukan lorong hampa lintas dimensi yang membawanya menuju Maya-Pada. Namun saat pertama kali memasukinya, dia tiba di dalam hutan yang sangat jauh dari keramaian kota. Tak ada orang yang bisa ditanyai hingga sampai di sebuah kampung. Hanya bertemu dengan beberapa binatang aneh yang bisa berbicara. Di tengah perjalanan, Guntur bertemu dengan seorang puteri dan seorang lurah yang membantu. Hingga mendapat petunjuk tentang penguasa alam Maya-Pada yang ternyata masih ada garis darah dengannya. Akankah Guntur menemukan jati diri dan keutaman hidupnya? Mampukah dia kembali ke alam Madya-Pada? Photo by Ellie Burgin and Anush Gorak from Pexels Edited by Pixellab and Canva
VIEW MORE

Chapter 1 - Guntur vs Petir

Angin lembut berbisik di hutan bambu, dedaunan bergoyang-goyang saat Guntur menebang sebatang bambu untuk dijadikan pagar kandang ternak Ki Bawor. Terdengar sayup burung berkicau, seolah mereka saling berbicara.

[Bahasa burung]

"Eh Sriti, kamu dari mana?" tanya burung kecil kekuningan pada burung kecil hitam di dekatnya.

"Aku dari dusun di sebelah sana, Prit," jawab Sriti sambil menunjuk ke arah selatan dengan sayapnya.

"Oh gitu, Srit. Ngomong-ngomong, di kampung sana, hujannya gimana? Soalnya di kampung yang aku lewati tadi, tanahnya kering, seperti lama tidak hujan."

"Oh, kebetulan tadi habis hujan-hujanan saya Prit. Di selatan, penduduknya rutin memberi persembahan pada Indra sih. Jadi diberi hujan rutin."

"Oh begitu rupanya. Jadi Dewa Indra itu pilih kasih pada penduduk. Lebih memilih ke kampung yang memberi persembahan lebih dari pada sebaliknya. Padahal kan kalau kampung utara itu diberi hujan cukup, kemungkinan akan memberi persembahan lebih banyak pula."

"Nggak tau juga saya, Prit. Apalah daya kita yang hanya burung kecil ini."

"Iya juga yah."

Lalu Guntur yang bisa mendengar bahasa binatang itu mendekat. Kemudian menanyai burung-burung itu.

"Assalamu'alaikum, Sriti dan Emprit."

"Wah sepertinya orang itu bisa berbicara dengan kita, coba ita jawab aja," kaget Sriti mendengar Guntur menyapa, "wa alaikum salam, Kisanak. Apakah Kisanak bisa mendengar apa yang kami katakan?"

"Iya, kebetulan tadi saya mendengar kalian mengobrol masalah hujan yang tidak merata ya? Oh ya, panggil saja saya Guntur. Saya manusia dari Mady-Pada yang baru beberapa hari di sini."

"Wah hebat. Kalau begitu, Den Guntur merupakan manusia terpilih. Karena bisa mendengar bahasa hewan."

"Menurut Ki Lurah Bawor juga begitu."

"Eh ya, Sriti dan Emprit, itu nama kalian kah? Boleh aku panggil begitu saja?"

"Boleh saja, Den. Kami bangsa burung tidak dikasih nama special, jadi kami memanggil sesame burung dengan menyebut jenisnya saja," jawab Emprit, "Ada yang bisa kami bantu, Den?"

"Em, tadi kalian ngomongin hujan ya? Dimana yang kekurangan hujan?"

"Disana, Den!" jawab Sriti menunjuk ke arah utara, "tadi kata Emprit, disana tanahnya kekeringan."

"Kalau menemui Indra, gimana caranya, Sriti?"

"Kalau, Den Guntur bisa terbang, istananya ada di atas awan, Den."

"Waduh, aku belum bisa terbang nih.Bagaimana yah?"

"Bagaimana kalau Den Guntur ikut dalam acara persembahan yang diadakan warga. Siapa tahu bisa bertemu Dewa Indra, Den."

"Oke, terima kasih, Prit. Terus kampung mana yang akan mengadakan persembahan?"

"Sepertinya kampung di utara itu, Den. Tadi aku melihat sebagian warga sudah mengumpulkan sedikit hasil bumi di dekat altar. Kelihatannya jumlah persembahannya sangat sedikit, kemungkinan Indra akan marah nantinya," jawab Emprit.

"Ayo, Den. Bantu mereka. Kasihan kan, mereka sudah mengorbankan waktu dan tenaga untuk mengadakan persembahan itu. Kalau sampai Indra menolak dan justru marah, Den Guntur bantu mereka ya, Den." Sriti menambahkan.

"Baiklah. Tadi rencananya juga begitu. Cuma tadi belum tahu cara menemui Indra. Ayo antar aku ke kampung itu yah, Prit."

Kemudian mereka bergegas menuju kampung di arah utara. Yang dimana kampung itu sudah lama tidak mendapatkan jatah air hujan. Guntur langsung diantar menemui lurah di kampung itu.

Saat itu, Ki Lurah sedang memimpin warganya membawa beberapa persembahan di dekat altar pemujaan. Beberapa hasil bumi mereka bawa dengan wadah tampah berupa beberapa buah, sayur dan hasil bumi lainnya. Wajah tak rela terlihat pada mereka. Karena memang panen sedang sangat sedikit.

"Permisi, bisakah saya bertemu dengan Lurah di kampung ini, Kisanak?"

"Kebetulan saya sendiri. Kisanak siapa?" jawab Ki Lurah.

"Saya Guntur, saya sampai kemari Karena diantar oleh para burung." Guntur memperkenalkan diri.

"Apakah Den Guntur itu bisa mendengar bahasa binatang?"

"Betul Ki Lurah."

"Wah. Den Guntur ternyata manusia terpilih itu rupanya?"

"Bolehkah saya tanya apa maksud sebenarnya dari istilah Manusia Terpilih itu, Ki Lurah?"

"Konon. Akan ada seorang manusia dari Madya-Pada yang akan sampai ke Maya-Pada ini. Dia akan menjadi penyelamat kaum lemah seperti kami. Tandanya, orang itu bisa mendengar bahasa binatang dan bisa mempelajari kekuatan dewa setelah mengalahkan dewa itu. Begitu yang dikatakan dalam kitab kuno bangsa kami. Juga telah diperkuat oleh pesan seorang manusia yang menyebarkan agama baru disini," terang Ki Lurah.

"Menurut penyebar agama itu, apakah ada pesan lain?"

"Kata beliau, kalau manusia terpilih itu tiba. Bantu dia sebisanya. Dan kalau misinya berhasil, maka ikuti ajarannya. Begitu, Den."

"Kalau begitu, ijinkan aku sedikit merepotkan Ki Lurah dan warganya. Saya kemari bermaksud untuk menemui Indra yang tidak adil membagi hujan."

"Baiklah, nanti saat kami para warga mengadakan ritual persembahan, Den Guntur ikut membaur saja dulu. Kalau Dewa Indra datang, kau bisa menemui langsung."

"Terima kasih, Ki. Saya akan mengikuti arahan Ki Lurah."

Lalu ritual persembahan di mulai di altar itu. Ki Lurah memimpin warga memanggil dan memuja Dewa Indra untuk meminta hujan. Sudah berkali-kali mereka memanggil, tapi belum ada tanda-tanda munculnya Dewa Indra. Sampai sekian lama, barulah awan terlihat menggulung, melingkar menutup di atas area altar.

Suara petir bergemuruh dan berkilat berkali-kali. Warga mulai senang, karena akan segera hujan. Namun, sebuah petir besar menyambar ke arah altar tempat persembahannya hingga membuat berantakan semua hasil bumi yang ada. Lalu terdengar suara tawa yang menggelegar di atas awan.

"Waha ha ha ha haha! Wa ha ha ha ha haha!"

"Untuk apa persembahan ini, hah?! Mau memujaku atau menghinaku?! Kalau mau meminta hujan yang banyak, maka berikan persembahan yang banyak. Bukan hanya dengan seonggok sampah seperti itu!"

"Keterlaluan Indra. Aku harus segera bertindak!" gumam Guntur.

"Aku tidak akan memberikan hujan di daerah ini sebelum kalian memberikan persembahan yang banyak!"

"Wahai Dewa Hujan Indra, dengarkan kami!" seru Ki Lurah.

"Ada apa Lurah Tua?!"

"Kami memberi persembahan sedikit karena hasil bumi kami memang sedikit. Tanah disini kering, tanaman banyak yang mati. Dan itu adalah persembahan terbaik yang bisa kami berikan!"

"Kamu jangan bohong!!"

"Beberapa purnama yang lalu, aku telah memberi kalian sedikit hujan. Kenapa panennya masih sedikit?!"

"Kami tidak bohong, Yang Mulia."

"Cukup, jangan semakin menghinaku!"

"Wahai Indra, coba tunjukkan dirimu di altar ini. Aku mendapat perintah untuk menemuimu!" Guntur ikut memanggil Indra untuk turun.

"SIapa kau?! Dan siapa yang memerintahkanmu?!"

"Aku adalah Guntur Sabdo. Akulah manusia terpilih yang tertulis di catatan kuno itu. Ayo tunjukkan dirimu disini!"

Lalu dengan sambaran petir lagi di atas altar, muncullah sosok tinggi dan rupawan dengan mahkota raja berlambang petir. Semua pakaiannya mengkilap dengan dasar warna putih. Dengan diiringi suara dentuman petir saat muncul dan terlihat kilatan petir kecil di seluruh tubuh saat sudah menampakkan wujud seutuhnya.

"Aku adalah Dewa Indra, penguasa istana di atas awan ini. Kamu siapa, bocah?! Berani-beraninya mengaku sebagai manusia terpilih! Sudah bosan hidup rupanya kamu ya?!" Teriak Indra menggelegar seantero kampung menggetarkan jiwa warga, namun tidak berpengaruh pada Guntur.