Satu bulan sebelumnya.
Suara kucuran air bagai talang di Danau Waru dan desiran angin di lereng itu. Menemani persemedian seorang pemuda berparas rupawan menghadap sinar mentari pagi. Bacaan lirih doa memuji keagungan Tuhan yang maha melihat segala yang ghaib.
Pagi itu sejak selesai sholat Subuh, Guntur mulai bersemedi di dekat danau hingga masuk waktu Dhuha. Lalu dia bangun menjalankan Sholat Dhuha 4 raka'at, dilanjutkan berdoa lagi. Saat mentari kian meninggi, dia melanjutkan latihan teknik silat beberapa gerakan di sekitar danau juga. Lalu dia pulang ke ladang yang dibangunnya sendiri.
Guntur Sabdo muda mengolah lahan pertanian yang tidak terlalu luas hanya untuk kebutuhan sendiri. Dia menanam bermacam tanaman umbi dan sayur. Gubuk kecil dibangun di dekat pohon kopi untuk beristirahat tiap malam. Walau hanya memakan umbi-umbian dan sayuran saja, tapi badan Guntur tetap sehat dan berotot.
Menjelang malam setelah Isya, Guntur kembali ke dekat danau untuk bersemedi lagi. Kebetulan, malam ini adalah malam purnama. Sinar rembulan bersinar begitu terang. Membuat Guntur semakin tenang dan khusuk dalam bersemedi hingga tertidur.
Dalam mimpinya, Guntur mendapat pesan dari seorang sosok berpakaian seperti seorang raja jaman dahulu. Sosok itu menyuruh Guntur untuk masuk ke salah satu lorong goa yang sebelumnya belum dia masuki, karena sepertinya jalan buntu. Dan meminta Guntur untuk mengalirkan tenaga dalam murni ke dinding di ujung lorong itu. Dan saat Guntur terbangun, ternyata sudah pagi menjelang Subuh.
"Ah, sepertinya aku memang harus mencoba masuk ke sana," gumam Guntur dalam hati.
Setelah Sholat Subuh, Guntur menyiapkan sedikit bekal untuk dibawa menuju goa seperti yang ditunjukkan dalam mimpi. Waktu itu belum ada yang namanya senter, jadi untuk penerangan di dalam goa, Guntur membawa obor daun kelapa kering yang diikat yang harus selalu digoyang-goyangkan agar terus menyala. Tentu saja akan cepat habis terbakar daun keringnya.
Menjelang Dhuha, Guntur menyempatkan sarapan Oseng Ubi Kayu*) dengan sayur daun pepaya pahit. Setelah Sholat Dhuha, dia bersiap berangkat ke Goa Waru dan membawa semua kebutuhannya. Lalu langsung menuju goa itu saat masih cukup pagi.
Note: *) Ubi Kayu / Ketela yang sudah direbus, dioseng seperti dibuat nasi goreng. Jaman dulu di Indonesia masih banyak yang memakan semacam itu.
"Assalamu 'alaikum …" ucap salam Guntur di depan pintu goa.
Lalu Guntur masuk dan langsung menuju ke lorong yang ditunjukkan dalam mimpinya. Setelah sampai di ujung lorong, Guntur menyentuh dinding ujung dan meraba, ada semacam garis melingkar di sekeliling dinding membentuk seperti pintu.
"Wah sepertinya ini adalah pintunya dan aku harus mengalirkan tenaga dalam ke dinding ini," pikir Guntur.
Lalu Guntur mengambil posisi kuda-kuda, dan mengumpulkan tenaga dalam di telapak tangan kanannya. Setelah terasa cukup kuat, Guntur mencoba mengalirkan tenaga dalamnya ke dinding. Lalu terlihat efek cahaya di pertemuan telapak tangan dan dinding goa. Efek cahaya itu menjalar ke atas dan membentuk sati titik cahaya terang. Karena obor daun kering sudah habis, goa menjadi begitu gelap dan hanya terlihat sinar terang di dinding bagian atas.
"Sepertinya tenagaku kurang kuat, hanya membentuk satu titik saja," pikir Guntur, "aku akan mencobanya lagi."
Lalu Guntur mencoba lagi dan hasilnya sama, hanya menimbulkan titik cahaya kedua di sebelah cahaya pertama. Guntur tidak menyerah dan mencobanya lagi sampai terbentuk formasi melingkar 8 titik cahaya.
"Sudah delapan kali aku mencoba dan semuanya hanya menghasilkan titik melingkar ini," pikir Guntur lagi, "wah, bagian bawah sepertinya jaraknya terlalu jauh, sepertinya kurang satu lagi. Tapi tenagaku sudah terkuras. Lebih baik aku istirahat saja dulu."
Ruang goa hampir gelap gulita tanpa cahaya obor, tapi cahaya 8 titik di dinding cukup menerangi ruangan. Guntur mengumpulkan tenaga dalam sejenak, lalu mencoba mengalirkan lagi ke pusat lingkaran di dinding goa itu. Lalu terbentuklah titik ke-9 di tengah bawah. Dan ke semua titik cahaya berpendar semakin terang. Perlahan bergerak memutar searah jarum jam. Dan semakin cepat dan cepat hingga membentuk sebuah lorong hampa.
Semua yang ada di depan lorong hampa itu perlahan tersedot kedalam pusaran. Guntur dan barang bawaannya juga terbawa. Namun mereka semua terpencar entah kemana. Untung saja beberapa bekal dan senjata ringan yang menempel di badan tidak terpencar.
Guntur tiba di sebuah hutan aneh. Seolah semua hewan besar di sana bisa bicara. Dan mungkin serangga kecil juga, namun Guntur tak mampu mendengar suara yang terlalu kecil.
Guntur mulai melangkahkan kaki menyusuri semak belukar yang menggaris seperti jalan setapak. Hingga dia mendengar suara deburan air terjun yang cukup keras. Dan dia melangkah menuju sumber suara itu, berharap menemukan seseorang yang bisa ditanyai.
Saat sampai di dekat air terjun, Guntur melihat ada seorang wanita sedang bersemedi di dekat air terjun di atas batu besar. Guntur berjalan melambat sedikit mengendap-endap dan melihat ke sekeliling.
Tiba-tiba terdengar suara beberapa orang memanggil dengan berteriak.
"Denayu Sri!"
"Denayu!"
"Den, Denayu Sri!"
Panggilan orang-orang berpakaian seperti tentara kerajaan berpakaian serba hitam dan mengenakan lambang seperti matahari berwarna kuning di dadanya.
"Wah, sepertinya perempuan yang sedang bersemedi itu bernama Denayu Sri," pikir Guntur menerka.
Tiba-tiba perempuan yang sedang bersemedi itu berdiri dan menemui para prajurit itu.
"Ada apa kalian mencariku? Bukankah aku sudah bilang, kalau aku akan berlatih di sini?" tanya perempuan itu.
"Ampun Denayu. Kami hanya diutus oleh Baginda Raja untuk mencari Denayu." Salah seorang prajurit menjawab dengan memberi hormat dengan menyatukan kedua telapak tangan dan sedikit membungkuk.
"Ya sudah. Sampaikan pada Raja, bahwa aku akan bersemedi lagi di sini sampai menjelang petang nanti. Mumpung aura di sini sedang pekat, jadi aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan."
"Ampun, Denayu. Bukankah Denayu Putri bisa meminta langsung pada Baginda Raja? Tidak perlu bersemedi lama-lama di tempat sepi seperti ini. Bagaimana kalau ada yang mengganggu?"
"Kalian kembali saja dan melapor pada Raja. Aku akan baik-baik saja."
"Baiklah kalau begitu, Denayu. Tolong berhati-hati, kami permisi."
Lalu para prajurit pergi meninggalkan Putri itu setelah sebelumnya memberi penghormatan lagi. Dan kemudian Sang Putri hendak bersemedi lagi dengan menaiki batu besar di sebelah air terjun lagi. Tapi Guntur memberanikan diri mendekat untuk menanyakan arah.
"Assalamu 'alaikum, Permisi Denayu Putri," salam sapa Guntur sambil memberi hormat layaknya para prajurit yang sebelumnya.
"Ada apa, Kisanak?" jawab sang Putri karena tak mengerti perkataan Guntur.
"Maaf Denayu Putri, kalau ada yang mengucap salam, maka yang lain wajib menjawabnya. Itu yang diajarkan Islam."
"Apa maksud Kisanak? Siapa Islam? Dan Siapa Kisanak?" Sang Putri bertanya penasaran.
"Islam adalah agama yang diturunkan Allah, Tuhan semua makhluk melalui Nabi Agung Muhammad SAW. Yang saya maksud salam adalah kalimat 'Assalamu 'alaikum' itu, kalau mendengar itu maka Anda wajib menjawab setidaknya 'wa 'alaikum salam', kalimat itu artinya doa untuk keselamatan orang lain.
Dan nama saya adalah Guntur Sabdo. Saya tersesat di hutan ini. Karena baru saja sampai dari dunia yang berbeda," terang Guntur pada sang Putri, "Bolehkah saya tahu nama Denayu Putri ini?" ijin Guntur dengan terus menunduk menghormati sang Putri.