"Nama saya adalah Sri Intan Suryani. Di sini adalah wilayah kekuasaan Dewa Surya. Mau kemana Kisanak ini?"
"Saya mau ke kampung terdekat dulu, Denayu. Bisakah Anda tunjukkan jalannya?"
"Tak perlu terlalu sungkan. Panggil saja saya Intan."
"Maaf Denayu Intan." Guntur menjawab dengan tetap menunduk untuk menghormati yang di hadapannya adalah seorang Putri.
"Kan sudah saya bilang, tidak perlu terlalu sungkan. Ayo tegakkan badanmu!"
"Baik, Denayu," jawab Guntur sambil menegakkan badan.
"Nah kan jadi kelihatan gantengnya, he he. Den Guntur, itu nama Kisanak kan?"
"Sebut saja saya Guntur, Denayu."
"Baiklah, kalau begitu. Kamu juga sebut namaku saja. Tidak perlu pake denayu lagi."
"Maaf, Denayu."
"Saya sama sepertimu. Cuma manusia biasa. Yang kebetulan mempunyai darah campuran. Jadi saya diangkat ke alam ini sebagai half-immortal. Karena ibuku mendapat anugerah Dewa Surya saat mengandungku. Dengan kata lain, saya menjadi Putri Dewa Surya bukan secara langsung. Jadi kamu tidak perlu terlalu sungkan. Kita itu sama kok. Dan yang penting, kamu ganteng loh."
"Baiklah. Tapi kalau di depan penjaga, bagaimana?"
"Di depan penjaga, pakai denayu tidak apa."
"Baiklah. Bisakah tunjukkan saya jalan ke kampung terdekat?"
"Kamu lurus saja ke arah sana," Intan menunjuk ke arah barat, "nanti akan bertemu dengan sebuah kampung. Lurahnya bernama Ki Bawor. Dia biasa mencari kayu bakar di hutan, kalau tidak di rumah."
"Terima kasih, Intan."
"Em, boleh aku panggil kamu Mas Gun? Ya kalau lagi tidak ada orang lain sih. He he."
"Boleh kok. Terserah Intan saja."
"Ngomong-ngomong, Mas Gun buru-buru apa tidak sih?"
"Ya seperti yang aku katakan sebelumnya, aku ini tersesat di hutan ini. Ya aku tanya arah bukan karena buru-buru, tapi ingin tahu arah yang benar saja. Memangnya kenapa?"
"Kalau tidak buru-buru, bisa tolong temani aku sebentar. Aku mau semedi lagi untuk menyerap aura matahari di sini. Mumpung cuaca mendukung, Mas."
"Apa tidak mengganggu?"
"Justru biar Mas Gun berjaga untuk aku. Kalau Mas mau sih."
"Oke, tapi aku ijin ikut bermeditasi juga lain kali di sini ya?"
"Boleh kok. Makanya sekarang tolong jagain aku sampai sinar matahari mulai terhalang hutan. Supaya tidak terlalu sore nanti."
"Siap, Denayu."
"Loh kok denayu lagi?"
"Siap, Intan." Guntur sambil tersenyum.
Lalu Intan kembali bersemedi di atas batu besar itu. Dan Guntur berjaga di sekitar sambil melatih gerakan silatnya agar tidak merasa kantuk.
Melihat arah matahari, Guntur teringat bahwa dia belum melaksanakan sholat Dzuhur sejak sampai di dunia ini. Lalu Guntur mengambil wudhu di sungai dan melaksanakan sholat dengan arah kiblat menyesuaikan saat di tempat asalnya.
Usai Sholat, Guntur berlatih lagi sambil berjaga. Sesekali memperhatikan Intan yang tengah fokus dalam meditasinya. Terlihat tangan Intan yang putih bersinar itu bergerak perlahan seolah menyerap energi matahari dari langit. Terlihat seolah-olah secercah cahaya kuning dari arah matahari menyusup ke tubuh Intan melalui gerakan tangannya.
Tubuh Intan yang mengenakan pakaian tradisional itu terlihat bersinar kekuningan. Namun terasa aura yang dingin dari arahnya. Dalam posisi tangan membentuk formasi jari di depan dada, aura semakin terpancar jelas.
Dalam beberapa saat, setelah matahari semakin condong, Intan mulai mengendorkan fokusnya. Dan tepat saat sinar matahari mulai terhalang, dia menghentikan semedinya.
"Mas. Aku sudah selesai." Intan menegur Guntur yang sedang duduk di dekat batu besar itu.
"Wah, tubuhmu bersinar, tapi auranya kok dingin?"
"Iya, Mas. Aku mempelajari kekuatan cahaya namun dengan aura dingin."
"Luar biasa!" kagum Guntur pada Intan.
"Ayo, kita pergi dari sini!"
"Memangnya Intan mau bareng, nanti kalau ketahuan penjaga bagaimana?"
"Kita jalan bareng cuma sampai dekat kampung saja. Kamu langsung ke rumah Ki Lurah Bawor, aku mau menemui ayahku dulu."
"Baiklah, ayo!"
Kemudian mereka berjalan beriringan sambil mengobrol santai ke arah kampung. Guntur pun menceritakan asal usulnya di dunia yang disebut Madya-pada. Dan ternyata dunia para dewa ini disebut Maya-pada.
Intan semakin penasaran dengan ajaran yang diceritakan oleh Guntur. Jadi sesekali dia menanyakan hal-hal tentang Islam dan bagaimana caranya untuk menjadi orang Islam. Namun karena perjalanan ini sangat singkat, jadi belum sampai mendetail uraian Guntur pada Intan, hingga mereka berpisah.
Di persimpangan jalan itu, Intan mengarah ke jalan yang lebih besar dan menanjak ke arah istana. Sedang Guntur menuju kampung dengan jalan setapak kecil saja. Mulai terlihat beberapa rumah terluar dari kampung itu.
Sesampainya di rumah pertama yang dilewati Guntur, dia mulai mencoba mencari orang yang bernama Ki Bawor sebagai lurah di kampung itu.
"Mencari siapa, Kisanak?" tanya seorang warga pria yang sedang memotong kayu di halaman rumahnya, "sepertinya Kisanak bukan orang sini?"
"Maaf mengganggu, Pak. Saya Guntur, baru sampai di kampung ini. Boleh saya tahu dimana rumah Ki Lurah?"
"Oh, Kisanak cukup jalan lurus saja. Rumah yang di tengah dengan beberapa kandang ternak, itulah rumah Ki Lurah Bawor. Biasanya Ki Lurah sedang memberi makan ternaknya."
"Baik, terimakasih, Pak. Permisi."
"Silakan."
Lalu Guntur kembali berjalan menuju pusat kampung. Jaraknya sekitar beberapa ratus langkah dari rumah terjauh itu.
"Heeelah jian…"
Tiba-tiba terdengar suara bernada berat dan kasar mendekat dari arah kanan. Orang berbadan gendut berpakaian hitam dan membawa dua ikat kayu bakar dengan dipikul.
"Heelaah … mau kemana, Den?" tanya orang gendut itu pada Guntur.
"Maaf. Saya mau ke rumah Ki Lurah. Apa Bapak tau?" jawab Guntur menerangkan alasannya.
"Heeelah ... ayo ikut saja."
"Baik, Pak."
Lalu Guntur berjalan bersama orang berbadan gendut itu. Orang itu terlihat gendut tapi tidak menampakkan wajah kelelahan membawa kayu bakar sebanyak itu. Seolah-olah kayu bakar dua ikat sebesar itu tidaklah berat baginya.
Setelah sekitar 100 langkah, mereka sampai di rumah yang cukup luas dengan beberapa kandang ternak di halamannya. Bapak berbadan gendut meletakkan kayu bakarnya di dekat rumah, di tempat seperti gubuk kecil untuk menyimpan kayu bakar. Sementara Guntur masih terdiam menunggu.
"Heelah … Mari, silakan masuk, Den." Bapak berbadan gendut mempersilakan Guntur untuk masuk.
"Terima kasih, Pak. Maaf ini rumah siapa?"
"Ya rumah saya lah. Heelah. Ayo masuk!"
"Baik."
Lalu mereka masuk dan duduk bersila di ruang tamu sederhana. Terlihat sangat tradisional rumah itu. Dengan lantai terbuat dari papan kayu. Membuat suasana terasa hangat.
"Heelah ... Silakan diminum tehnya, Den. Siapa nama Denmas ini? Dan darimana?" Bapak berbadan gendut mempersilakan dan mulai menanyai Guntur.
"Terima kasih, Pak. Saya Guntur. Saya baru sampai dari Madya-pada. Dan saya sempat tersesat di hutan tadi. Dan Bapak ini, maaf?"
"Heelah … saya Bawor. Lurah di kampung ini."
"Wah kalau begitu, saya mohon maaf Ki Lurah. Karena tidak mengenali Ki Lurah."
"Tidak apa-apa, Den Guntur. Wajar saja kamu belum kenal. Karena baru pertama bertemu."
"Sebenarnya, nama Ki Lurah saya sedikit ingat dengan salah satu tokoh pewayangan yang sering dipentaskan di dunia asal saya. Namanya juga Ki Lurah Bawor."
"Kalau tokoh itu dari penuturan beliau Kanjeng Sunan Kalijaga. Ya betul, saya adalah Bawor itu. Terkadang saya disebut sebagai Bagong juga. Tak apalah. Hanya sebutan saja."
"Jadi benar, ini saya berhasil masuk ke dunia pewayangan?"