Chereads / You Are My Moonlight / Chapter 3 - Darah yang Bercucuran

Chapter 3 - Darah yang Bercucuran

"Hyaeri, pergilah! Gangster itu akan segera ke sini. Aku tidak mau kamu terluka. Jangan pedulikan aku, pergilah! Cepat!"

"Tidak, aku tidak mau pergi tanpamu. Jika kamu mati, aku juga. Aku tak sanggup hidup tanpamu Oppa."

"Hyaeri, Saranghae...."

Adegan diakhiri dengan Hyaeri dan Daeson yang sudah tak bernyawa. Tubuh mereka berlumuran darah dan masih dikelilingi oleh para gangster yang ganas dan bersenjata.

"aaaaaa, ngggak mau!!! Huaa, Oppa! Noona! Kalian harusnya happy ending. Sebelum episode 170 ini, Episode 1-169 adalah episode yang terbaik. Kenapa siii endingnya harus gini. Gue bakal gagal move on nih." Teriak Pandu setelah menyelesaikan 170 episode dari drakor yang ditontonnya.

Segera setelah adegan drakor itu berakhir smartphone Pandu kembali dipenuhi oleh notifikasi. Dari mulai notifikasi pesanan bisnisnya, notifikasi dari teman-temannya, dan notifikasi dari guru-gurunya yang mengingatkan Pandu untuk segera menyelesaikan ketertinggalan tugasnya. Pandu akhirnya mau tak mau harus menyelesaikan tugasnya terlebih dahulu sebelum mengurusi pesanan dari bisnisnya. Setelah tugasnya selesai Pandu harus mengantarkan barang pesanan ke kurir terdekat, padahal cuaca sore ini sangat panas. Belum lagi polusi udara yang harus dihadapinya. Rasanya sangat berat untuk beranjak dari kasurnya yang nyaman dan sejuk.

Sudah seminggu sejak pertemuannya dengan Arin, gadis itu seperti menghilang dari muka bumi. Pandu pernah mecoba mendatangi bengkelnya tapi bengkel itu sudah tutup. Kemana perginya gadis itu ? Pandu masih memikirkan hal itu selama seminggu terakhir. Padahal ia sudah menyibukkan dirinya dengan kegiatan bisnisnya, dunia K-POP nya, bahkan sekolahnya. Ibu dan gurunya sampai terheran-heran melihat perubahan pada Pandu. Bagaimana tidak, ia kini berangkat ke sekolah lebih awal dan memperoleh nilai yang baik setiap ujian. Namun hal itu tak berhasil membuatnya teralihkan dari memikirkan Arin.

DUAARRR, ban motor Pandu kembali pecah. Bukannya khawatir Pandu malah kegirangan.

"Wah, ini pasti ulah Bapak Arin lagi. Yes, Arin, akhirnya aku menemukanmu." Ucap Pandu sambil bersemangat mendorong motor vespanya.

Ia terus mendorong vespanya hingga sejauh 1 KM, akhirnya bengkel yang dicari-cari pun tampak di depan mata. Namun sayang, ternyata bengkel itu bukan bengkel milik bapaknya Arin. Dada Pandu rasanya sesak sekali, ia teringat akan dirinya yang telah mendorong vespanya hingga 1 km dan menyadari bahwa ini bukan bengkel Bapaknya Arin.

"Misi Mas, mau tambal ban." Ucap Pandu yang tampak lusuh dan tak bersemangat lagi.

"Siap Kang, ditunggu ya." Mas-mas kali ini wajahnya tidak judes dan galak, tapi itu tak membuat perasaan Pandu menjadi lebih baik.

Sambil menunggu, Pandu mencoba mengingat kembali momen disaat ia pertama kali bertemu dengan Arin. Kira-kira dia sekarang di mana ya ? apa dia juga bersekolah seperti dirinya. Sebelumnya dia bilang bahwa dirinya seumuran dengan Pandu. Andai waktu itu Pandu menanyakan momor whatsapp Arin, mungkin kini ia tak perlu mencari keberadaan Arin.

"Kang, tuh udah beres." Mas-mas itu menghampiri Pandu dan memberi tahunya.

"oh, iya Mas. Jadi berapa ?" tanya Pandu.

"60 ribu Kang," Mas-mas itu menjulurkan tangannya ke arah Pandu.

"Astaga, malah lebih mahal dari yang waktu itu. Mas, masa tambal ban aja 60 ribu? ini tambal ban atau tambal gigi bolong sih. Lagian saya tahu kok, Mas nya kan yang naruh paku di jalanan sana biar bengkel mas laku? Hayo ngaku aja Mas! Gak boleh boong, dosa loh." Pandu mencoba menawar dengan sedikit mengancam.

"Kang, ban Akang teh bocornya banyak, ya iya atuh jadi mahal. Tapi kalo soal yang barusan, emmm, duh gimana ya, iya saya ngaku deh, tapi jangan bilang siapa-siapa ya. Saya kasih potongan harga deh jadi cuma 20 ribu asal Akang nggak bilang siapa-siapa. Gimana ?" rayu mas-mas itu.

"nggak mau! ini suap namanya. Lagian Mas itu kalo mau nyebar Pakunya deketan kek, jangan jauh-jauh, kan saya jadi capek dorongnya." Tanpa berpikir panjang Pandu langsung menolak rayuan Mas-mas itu.

"jauhan dikit nggak papa lah Kang, kan biar orang lain nggak curiga, itung-itung olah raga, hehe." ucap mas-mas itu.

"pokoknya saya nggak mau bayar segitu. Nih, saya kasih 40 ribu,mau diterima atau nggak ?"

"hadeeeuuh, iya deh Kang." Mas-mas tambal ban itu menerima uang dari Pandu dengan wajah kesal. Tapi mau bagaimana lagi, Pandu nggak punya uang yang banyak untuk membayarnya, dan ban Pandu bocor juga gara-gara ulah mas itu.

Kejadian ban bocor hari ini membuat mood Pandu hancur tak karuan. Sepanjang jalan Pandu hanya bisa terdiam, memandangi jalanan dengan tatapan kosong. Isi pikirannya tak karuan, sekejap ia teringat Arin, sekejap ia teringat kejadian tadi, sekejap ia teringat Ama-nya, juga teringat akan pesanannya yang tengah ia antarkan.

Sesampainya di kantor kurir, Pandu meninggalkan paketnya untuk diantar ke pemesan. Namun saat keluar dari kantor kurir perhatian Pandu teralihkan dengan suara musik yang didengarnya. Suara itu terdengar samar-samar. Pandu mencoba mencari tahu dari mana suara itu berasal. Ia pelankan kecepatan motor vespanya untuk mengikuti arah suara itu berasal. Ternyata suara itu berasal dari sebuah ruko kecil yang letaknya tak jauh dari kantor kurir tadi. Ia penasaran dan mencoba untuk masuk ke dalam ruko itu. Saat masuk ke dalam ruko itu Pandu memandangi setiap sudut dari ruangan itu. Ruangan itu tak luas, namun lukisan mural yang memenuhi setiap senti dari ruangan itu mencuri perhatian Pandu. Ia menyusuri setiap jengkal dari lukisan itu hingga tak sadar ia hampir menabrak seseorang.

"woy, kalo jalan liat-liat dong! Eh, bentar. Lo bukan anak sini ya. Lo siapa hah ? maen nyelonong masuk aja. Gue bakal aduin lo ke Seonsaengnim." Seorang Pria jangkung berambut kuning dan mengenakan kaos serta celana training memarahi Pandu.

"Seonsaengnim? Maksud lo Guru ? wah ternyata lo juga pinter bahasa Korea ya. Anyeonghaseo, Pandu imnida, hehe(trans : halo gue Pandu). Gue kebetulan lewat sini dan denger lagunya Blue Purple diputar. Kebetulan gue juga fansnya Blue Purple dan gue juga seorang Blupee (nama fans Blue Purple). Gue kira ada Blue Purple di sini, hehe." Pandu yang sudah merambah dunia per k-pop an sejak masih duduk di bangku pertama SMP menunjukan kemampuannya kepada pria itu dengan bahasa Koreanya .

"Huh, fanboy ternyata. Dasar alay! Lo tau nggak ini tempat apa? Kalo lo ke sini cuma mau iseng doang mending lo pergi sekarang juga." Pria itu tak segan mengusir Pandu dari tempat itu. Wajar sih, meihat gelagat Pandu yang seperti itu sepertinya orang lain pun akan melakukan hal yang sama, wkwk.

"Waduh, santai Hyung, gue nggak macem-macem kok. Ya udah, gue pergi deh. Anyeong higeseyo."

Sebelum Pandu berhasil angkat kaki dari tempat itu, datang sesosok wanita mengenakan topi bucket dan kemeja kota-kotak serta celana training. Langkah kakinya sangat cepat dan teratur bak seorang model profesional. Wajahnya datar namun penuh karisma.

"Tunggu!" wanita itu berhasil mencegah Pandu keluar dari ruangan itu.

"Kenapa kamu ke sini? Ada kepentingan apa ?" wanita itu bertanya kepada Pandu dengan tatapan yang tajam, membuat Pandu gemetaran.

"Em, maaf sebelumnya, mungkin gue lancang datang ke sini tanpa permisi atau ijin terlebih dahulu. Gue Pandu, gue abis dari kantor kurir di sebrang sana dan nggak sengaja denger musik dari tempat ini. Gue selalu reflek kalo denger lagunya Blue Purple, hehe."

Mereka akhirnya saling berkenalan. Pria berambut pirang tadi namanya Jwen dan wanita yang dipanggil Seonsangnim oleh Jwen adalah Xea. Tempat itu adalah markas grup dance WeXwag, mereka ternyata tengah berlatih cover dance milik Blue Purple. Anggota grup itu tidak banyak, hanya belasan, termasuk Xea sebagai mentor dance nya. Mereka bukan grup dance yang terkenal, itu karena mereka membentuk grup dance ini hanya sebagai penyalur hobi mereka. Mereka berlatih seminggu dua kali, hari kamis dan hari Minggu pukul 4 sore hingga pukul 8 malam. Xea pemilik tempat ini, ia bahkan tinggal di ruko ini. Grup weXwag dibentuk oleh Xea sejak 5 tahun yang lalu. Pandu membayangkan bagaimana dan sedang apa ia 5 tahun yang lalu, tergila-gila dengan dunia K-POP bahkan hingga saat ini. Berbeda dengan orang-orang yang ada di tempat ini, mereka seusia Pandu (kecuali Xea yang sudah menginjak kepala 4) namun mereka sudah menemukan dan melatih kemampuan mereka.

Pandu merasa dirinya bukan apa-apa dibanding orang-orang ya ada di sini. Ia tertunduk, ia merasa sudah membuang-buang watunya selama lima tahun terakhir ini. Pandu juga ingin sekali bisa seperti mereka, tapi Pandu bukanlah seseorang yang terlahir dengan bakat dance. Ia tahu ia bisa menggambar dengan baik, tapi kemapuannya itu sudah terkubur sejak kepergian ayahnya. Andai waktu bisa diulang, Pandu ingin menghabiskan 5 tahun terakhir ini dengan mengikuti grup dance WeXwag dan menjadi Dancer profesional. Siapa tahu ada agency yang sedang mengadakan audisi di daerah ini dan ia bisa terpilih untuk menjadi trainee mereka lalu berlatih dan akhirnya debut dan menjadi seorang idol, wkwk. Sepertinya Pandu tengah tenggelam di dunia 'halu' nya lagi.

"hey, Pandu. Lo nggak mau pulang apa ? lo mau nginep di sini ya? Ya udah gue sama yang lain pulang dulu ya. Gue kunci lo di sini, besok gue bukain lagi, hahahaa!" Perkataan Jwen akhirnya berhasil membangunkan Pandu dari dunia 'halu'nya. Ia kembali memandangi tempat ini lalu menarik napas dengan berat.

"Jwen, lo jago banget sih dance nya. Gue jadi pengen deh jago dance kaya lo." Kata-kata itu keluar dari mulut Pandu begitu saja.

"haha, mimpi lo. Gue jago kayak gini karena gue udah latihan sejak gue masih kecil, mungkin TK. Makanya gue bisa sejago ini. Lo kalo mau nyaingin gue jangan ngarep. Udah, mending lo alay-alayan lagi tuh sama dunia k-pop lo, udah cocok benget. Hahaha." Ucap Jwen sambil menertawai Pandu.

"lo kok ngomong gitu sih, songong banget. Emang di dunia ini yang jago dance Cuma lo aja, hah? Baru di puji dikit aja udah melayang tinggi, nyesel gue udah muji lo." Pandu balas mengatai Jwen.

"Apa lo bilang ? lo berani ya sama gue, hah?" Jwen terlihat sangat marah setelah mendengar ucapan dari Pandu barusan. Ia menjambak kerah baju Pandu hingga membuat tubuh Pandu sedikit terangkat ke atas.

Mendengar ada keributan yang terjadi, Xea langsung menghampirinya.

"Woy! Kalian kalo mau ribut bukan di sini tempatnya. Jangan sok jadi jagoan. Bubar! Bubar semuanya! Atau mau gue keluarin kalian semua dari grup ini ?" Ucapan Xea sangat keras hingga terdengar di seluruh sudut ruko ini.

Beberapa anak yang tengah mengelilingi Pandu dan Jwen akhirnya lari dan keluar dari ruko dengan cepat. Jwen yang tengah menjambak baju Pandu pun akhirnya melepaskan jambakannya. Sementara Pandu menundukan pandangannya seperti tengah ketakutan. Xea menatap wajah Jwen dengan tajam. Ia berbisik pada telinga Jwen, entah apa yang dikatakan Xea kepada Jwen namun setelah Xea menyelesaikan ucapannya Jwen langsung pergi begitu saja. Sementara Pandu masih berdiri ketakutan, Xea akhirnya mendekatinya.

"Gak usah takut, gue tau kalo Jwen emang kayak gitu orangnya. Gue harap lo nggak cari masalah lagi sama Jwen. Gue denger apa yang lo omongin barusan ke Jwen."

"Lo boleh kok gabung ke grup dance ini dan latihan di sini. Gue sih belum tau kemampuan lo, tapi gue tau lo punya tekad yang kuat buat jadi dancer. Gue harap setelah lo gabung di grup ini lo bakal latihan keras dan bisa nyetarain kemampuan dance lo sama anggota grup lainnya, syukur kalo bisa lebih dari itu." Apa yang baru saja Xea katakan ke Pandu membuat rasa takut Pandu hilang dan berganti menjadi rasa kegirangan yang tak terbedung.

"Hah? Beneran? Bentar gue tepok pipi dulu (plak-plak) aduh sakit ternyata. Yes, kali ini gue nggak lagi halu. Huaaa, makasih banget Seonseangnim udah mau terima gue di grup ini. Gue janji bakal latihan keras mulai sekarang, yeaaaay!" Pandu menjabat tangan Xea dengan kencang saking kegirangan.

"Ya udah, mulai lusa lo harus latihan ke sini. Mulai dari sekranang lo harus latihan gerak dasar, nanti lusa gue mau tes kemampuan gerak dasar lo. Gue harap lo nggak ngecewain gue. Lo boleh bulang sekarang." Ucap Xea.

***

Sepanjang jalan menuju rumah wajah Pandu terus berseri-seri, berbeda dari saat sebelumya. Ia mengendarai vespanya agak cepat, hingga jaket yang ia kenakan berkibas diterpa angin. Pandangannya tak fokus ke jalan, melainkan tengah tenggelam dalam memori saat ia di ruko tadi. Layaknya seeorang yang baru diterima cintanya, mungkin seperti itulah perasaan yang tengah Pandu rasakan saat ini.

Lonjakan kebahagiaan itu mengaliri sekujur tubuh Pandu. Tak peduli apa yang sebelumya ia alami, terlebih saat harus mendorong motornya sejauh 1 km tadi, ia kini tengah diselimuti kesenangan. Ia merasa mimpinya yang selama ini ia dambakan akan segera terwujud. Dance adalah hal yang ia dambakan dan ia kagumi, menjadi bagian dari hal tersebut adalah keinginan terbesar Pandu. Ia merasa sangat beruntung bisa bertemu dengan Xea, walau ia harus bertengar dengan Jwen dulu. Huft, pria itu sangat kasar, Pandu berharap tidak akan membuat masalah lagi dengannya.

Di tengah perjalanan menuju rumahnya kini, Pandu lupa untuk menyalakan lampu depan vespanya. Mungkin saking senangnya ia hingga ia terlupa akan hal tersebut. Ia mencoba menyalakan lampu vespanya namun anehnya tak mau menyala. Ia mencoba terus hingga akhirnya lampu vespanya berhasil menyala. Namun...

Bruuukk!

Pandu menambarak seseorang. Ia sangat kaget dan langsung menghentikan vespanya. Ternyata yang ia tabrak adalah sesosok perempuan. Mungkin ia tengah mencoba menyebrang jalan dan Pandu tak melihatnya karena teralihkan oleh lampu vespanya yang tengah ia coba untuk nyalakan. Sekujur tubuh Pandu begitu gemetaran saking takutnya. Ia harus bagaimana sekarang, ia tak bisa meninggalkan perempuan itu begitu saja, ia tak tega.

Akhirnya Pandu mencoba mendekati perempuan itu dan memeriksanya. Perempuan itu terbujur kaku. Pandu mencoba untuk mendekatinya lebih dekat, ia berharap perempuan itu masih hidup dan hanya pingsan saja. Wajah perempuan itu tak nampak karena tertutupi oleh rambut panjangnya. Pandu mencoba memegang tangan perempuan itu dan mengecek nadinya. Namun Pandu tak dapat merasakan detak di nadi tangan perempuan itu. Pandu semakin ketakutan mengetahui hal itu. Ia perlahan mengibaskan rambut yang menghalangi wajah perempuan itu agar ia bisa mengecek nadi yang ada di leher perempuan itu. Betapa kagetnya Pandu saat mengetahui wajah dari perempuan itu.

"Arin?!". Seketika air mata langsung mengalir membasahi pipi Pandu. Malam itu terlalu gelap dan suram baginya. Ia akhirnya bisa melihat wajah itu lagi namun dengan darah yang bercucuran di sekitar kepalanya.