"Sekarang gue lagi OTW kok tenang aja. Pokoknya paketnya bakal lo terima jam sepuluh pas deh, gausah khawatir. Eh, udah dulu ya, gue lagi buru-buru soalnya. Bye."
Pandu menutup telponnya dengan tergesa-gesa. Banyak sekali masalah yang harus ia selesaikan hari ini. Ia terpaksa berbohong pada Bara kalau ia sudah berangkat ke sekolah. Nyatanya ia baru selesai sarapan dan masih harus mengantar Arin pulang. Untung saja kondisi Arin kini telah pulih, pagi ini ia makan dengan lahap. Pandu berharap Arin akan selalu baik-baik saja.
Ama mengemasi makanan untuk bekal Arin, padahal Arin sudah menolaknya beberapa kali. Tapi memang begitulah naluri seorang Ibu. Arin terpaksa menerimanya. Pandu dan Arin lalu berpamitan Pada Ama.
"Dugong, jangan ngebut ya, kamu bawa anak orang soalnya. Kalo kenapa-napa lagi kan kamu juga yang repot." Ucap Amanya.
"Iya Ama, Pandu tau kok. Pamit dulu ya Ama."
Pandu lalu mencium tangan Ibunya.
Sekarang giliran Arin berpamitan pada Ibunya Pandu.
"Ama, Arin minta maaf karena telah merepotkan Ama. Terima kasih karena telah merawat Arin. Arin pamit dulu ya Ama." Arin langsung dipeluk erat oleh Ama.
"Tidak nak, jangan berkata seperti itu. Lagi pula ini gara-gara si Dugong, jadi kamu ga usah berpikiran seperti itu. Hati-hati di jalan ya." Ama lalu melepas pelukannya terhadap Arin.
Pandu langsung menyalakan Vespanya. Arin kemudian duduk diboncengi Pandu. Mereka berdua akhirnya berangkat. Ama terus memandangi mereka sampai mereka tak terlihat lagi.
Sepanjang jalan Pandu dan Arin saling terdiam. Padalah Pandu ingin menanyakan sesuatu Pada Arin. Pandu bingung harus memulainya dari mana. Begitupun dengan Arin, ia merasa begitu canggung Pada Pandu. Apakah Pandu menaruh rasa curiga pada Arin? Arin terus menerka-nerka tentang isi pikiran Pandu saat ini.
"Arin, emmm... Lo..."
"Awas di depan!"
Arin memotong pembicaraan Pandu. Ternyata mereka hampir tertabrak oleh mobil hitam yang mengikuti mereka dari belakang. Pandu mulai curiga dengan mobil hitam itu. Apa mobil itu memang sengaja mengikuti mereka dari tadi. Pandu lalu membelokkan stir nya dengan tajam ke arah kanan. Jika telat sepersekian detik saja entah apa yang akan terjadi.
Vespa Pandu melaju dengan cepat, meliuk-liuk diantara jalanan yang padat. Sedangkan mobil hitam itu masih terus mengikuti mereka dari belakang. Jarak mereka semakin dekat, Pandu harus mencari cara agar mobil hitam itu tidak lagi mengikuti mereka. Pandu berbelok arah, masuk ke jalanan sempit diantara pertokoan. Banyak pedagang dan pejalan kaki yang lalu lalang. Pandu sengaja memilih jalan ini karena mobil tidak bisa masuk.
"Sial! Mereka masih mengikuti kita. Baiklah, akan kutunjukkan kemampuan Opa yang sebenarnya."
Pandu menambah kecepatan vespanya, mengambil arah zigzag lalu berbelok diantara para pedagang.
"Yes!"
Pandu terlihat girang saat melihat ke arah kaca spion. Mobil hitam itu menabrak gerobak buah. Itu akan memakan waktu, cukup bagi Pandu dan Arin untuk lepas dari kejaran mereka.
Setelah beberapa saat mengendara dengan kecepatan penuh akhirnya Pandu memelankan vespanya. Mobil hitam itu sudah tidak mengikuti mereka lagi. Mungkin mobil hitam itu sudah tertinggal jauh di belakang.
"Kesel deh! Kenapa mereka buntutin kita sih! Aneh banget." Ucap pandu.
"Ini semua gara-gara gue. Mereka ngejar gue Pandu. Bukan lo. Udah turunin aja gue di sini. Gue gak mau lo jadi terseret dalam kasus gue." Arin mengatakan yang sebenarnya.
"Hah? Kasus apaan sih? Gak! Pokonya gue gak mau turunin lo di sini. Gue udah janji bakal nganter lo pulang dengan selamat Rin. Udah pokoknya lo diem dan pegangan yang erat ya." Pandu menambah kecepatan motornya.
"Pandu, Please, let me go." Arin memohon pada Pandu agar mau menurunkannya.
"No! I said no. I don't care about that sh*t people or bad thing that will happen to us. gue cuma pengen lo pulang dengan selamat Rin. gue gak mau lo kayak kemarin lagi." Pandu bersikukuh dengan keputusannya. Matanya kembali berkaca saat teringat kondisi Arin malam kemarin.
Arin akhirnya hanya bisa diam. Sepanjang jalan mereka kembali saling terdiam. Nampaknya mereka telah sangat jauh dari rumah Pandu. Setelah beberapa saat Pandu baru menyadari bahwa mereka tengah tersesat. Karena Pandu hanya fokus pada melarikan diri dari kejaran mobil hitam tadi Pandu jadi tidak memperhatikan arah jalan. Hari juga semakin siang, Pandu mungkin akan membolos pada hari ini. Ah, Pandu pasti akan diomeli habis-habisan oleh Ibunya setibanya di rumah. Ya ampun, Pandu juga baru ingat bahwa ia telah berjanji akan mengirimkan barang pesanan pelanggannya ke Bara. Alasan apa yang harus Pandu karang kali ini kepada temannya itu. Ia juga mencemaskan Arin. Apakah Arin akan baik-baik saja jika sudah pulang.
Sepertinya mereka sudah tersesat sangat jauh. Suasana perkotaan kini mulai berganti menjadi pedesaan dan sungai. Ada di mana mereka kini, mungkin ini daerah pinggiran kota tempat tinggalnya. Pandu memutuskan untuk putar balik sebelum mereka tersesat sangat jauh. Pandu melihat jarum indikator bensinnya sudah menuju ke bagian merah. Dan benar saja, tepat setelah itu vespanya mogok.
"Ada apa Pandu?" Tanya Arin yang mulai keheranan.
"Oh, emmm, gak Rin cuma kehabisan bensin aja. Hehe." Wajah Pandu dipaksa untuk tetap terlihat tenang di depan Arin.
"Yah, mana masih jauh lagi. Huft." Wajah Arin mulai nampak cemas.
"Tenang Rin, kita pasti sampe kok. Em, mending kita istirahat dulu aja di sana. Lagian hari juga sudah mulai siang. Lo pasti lapar kan? Untung lo tadi mau bawa bekal yang diberikan oleh Ama jadi lo gak akan kelaparan."
Pandu mencoba utnuk menenangkan kecemasan Arin. Mereka berdua akhirnya duduk di bangku dekat pohon. Arin membuka bekal dari Ama. Ternyata bekal itu berisi roti isi dan kudapan ringan. Arin membagi dua roti isi tersebut lalu memberikan yang satunya pada Pandu.
"Gak usah Rin, lo makan aja. Gue gak laper kok. Santai aja." Pandu berbohong pada Arin, padahal sebenarnya perutnya sudah begitu lapar.
"Alah, gak usah bohong Pan. Nih, ambil! ini juga kan dari Ama lo. Gue gak akan makan kalo lo ga makan juga." Arin menyodorkan kembali roti itu pada Pandu.
"Ya udah, gue ambil. Makasih ya Rin." Pandu mengambil potongan roti itu lalu memakannya. Mereka berdua menikmati makan siang bersama di bawah pohon yang rindang itu.
Setelah Arin selesai dengan suapan terakhirnya Pandu lalu mengajaknya untuk kembali meneruskan perjalanan. Pandu sebenarnya tak tega jika harus mengajak Arin untuk berjalan kaki. Tapi mau bagaimana lagi, di tempat mereka sekarang tidak ada pom bensin jadi mereka harus berjalan sambil mendorong vespa.
"Rin, kita jalan sekarang yuk! Keburu sore soalnya. Semoga aja di deket sini ada yang jualan bensin." Ucap Pandu sambil menenteng kembali tasnya.
"Yuk! Gue bantu dorong vespanya ya." Arin lalu bangkit dan mengambil tasnya.
"Gak usah Rin, biar gue aja. Gue kan cowok. Lo jalan aja, simpen tenaga lo. Kayaknya perjalanan kita bakal agak jauh dikit. Jadi lo jangan capek-capek ya." Pandu mulai mendorong vespanya.
"No! I won't." Arin tetap ngotot dengan pendapatnya. Ia lalu mendorong vespa Pandu dari belakang.
Mereka berdua akhirnya mendorong vespa itu bersama-sama. Semakin siang langit semakin terik. Entah berapa lama lagi mereka harus berjalan sambil mendorong vespa itu. Sepanjang jalan masih terlihat sama, belum ada tanda-tanda bahwa mereka sudah memasuki perkotaan.
"Rin, lo capek gak? Kalo cape bilang ya. Nanti kita istirahat dulu sebentar." Pandu begitu perhatian pada Arin. Ia tak memikirkan dirinya, hanya Arin yang kini tengah Pandu pikirkan.
"Gue gak selemah itu kali. Lo gak usah khawatirin gue, lo khawatirin aja tuh diri lo sendiri." Arin mencoba untuk tetap terlihat kuat di depan Pandu.
Mereka terus berjalan, hari mulai sore. Pandu mulai mencemaskan kondisi mereka. Apakah mereka akan sampai ke rumah atau tidak. Pandu melihat Arin, wajahnya kini berubah pucat. Arin belum sembuh sepenuhnya, bagaimana ini. Pandu begitu bingung.Pandu juga meninggalkan smartphone nya di rumah. Pandu tak bisa menghubungi siapapun.
"Rin, are you ok?" Pandu menghentikan langkahnya.
"I think I'm ok. Udah Pan gak usah khawatirin gue. Ayo terus jalan." Ucapan Arin kini mulai melemah.
"Rin kita istirahat dulu aja ya. Kita duduk dulu di sana. Nih, minum dulu." Pandu mengeluarkan botol minum dari tasnya.
Untungnya Arin mau menuruti ucapan Pandu. Arin meminum air yang diberikan oleh Pandu. Arin begitu tampak pucat dan letih. Ia tiba-tiba menyandarkan kepalanya di pundak Pandu. Arin tiba-tiba menitikan air mata.
"Rin, kamu sakit?" Pandu kini begitu cemas.
"Gak Pan. Gue cuma lagi inget kejadian di tempat ini. Gue bingung Pan, gue harus nyalahin siapa." Air mata kini mengalir dengan deras di pipi Arin.
"..."
"Pan, lo pasti bingung kenapa gue tiba-tiba menghilang dan ketemu lagi sama lo dalam kondisi seperti itu. Sebenernya, gue dan kedua orang tua gue lagi dikejar-kejar mafia sialan itu. Sama kaya tadi."
Arin akhirnya menceritakan semua yang telah terjadi pada dirinya dan keluarganya. Ayah Arin adalah seorang anggota mafia terbesar di negara ini. Entah apa yang telah terjadi pada ayahnya hingga memuat nyawa Arin dan Ibunya dalam bahaya. Mafia itu terus mengejar-ngejar mereka. Kemanapun mereka pergi para mafia itu selalu berhasil mengetahui keberadaan mereka. Hingga pada saat kemarin para mafia itu berhasil menangkap Ayah dan Ibunya dan membakarnya hidup-hidup. Arin tak sanggup membayangkan kembali kejadian itu. Ia juga menceritakan pada Pandu soal penyekapan dirinya oleh sepasang suami istri yang ternyata adalah penjual organ ilegal. Arin tak henti-hentinya menitikan air mata saat menceritakan semua itu.
"Sebelum Ibu dan ayah gue tiada, Ibu ngasih alamat ini ke gue. Mungkin gue bakal tinggal di sini mulai sekarang. Tolong anterin gue ke sini ya Pandu. Biar Ibu gak khawatir sama gue di sana." Arin mengakhiri ceritanya dengan tersedu-sedu. Arin telah menghabiskan sisa tenaganya untuk menceritakan kenbenaran mengenai dirinya kepada Pandu. Arin yakin Pandu tidak akan menceritakan rahasianya kepada siapapun. Setelah itu Arin kembali kehilangan kesadarannya.
"Arin. Arin. Bangunlah! Arin!"
Pandu begitu kaget melihat Arin yang kembali tidak sadarkan diri. Pandu benar-benar panik dan tak tahu harus bagaimana. Vespanya mogok dan kini Arin tak sadarkan diri. Tanpa terasa Pandu juga mulai menitikan air mata.
"Arin, kumohon, sadarlah." Pandu merangkul Arin sembari sesegukan.
Pandu sudah benar-benar putus asa. Ia kini jauh dari rumah, tidak ada siapa-siapa di daerah sini dan temannya kini terkulai tak berdaya. Ia seakan tengah berada pada titik terendah dalam hidupnya. Ia hanya bisa berharap pada keajaiban yang akan menolongnya.
Untungnya keajaiban itu datang, seberkas sinar perlahan semakin membesar dari kejauhan. Mungkin itu sinar mobil pikir Pandu. Pandu mulai berdiri di tengah jalan dan lemabaikan tangan. Untungnya ada mobil pick up yang kosong lewat jalan sini. Ah, Tuhan benar-benar mengerti pada kondisi Pandu.
Supir dari mobil itu turun dan menghampiri Pandu. Ia mengijinkan Pandu untuk menungpang padanya. Ia dan rekannya yang ikut juga membantu Pandu untuk menaikan vespanya ke mobil tersebut. Pandu lalu membopong Arin untuk naik. Mereka akhirnya bisa pulang dengan selamat.
"Dek, adek yang itu kenapa tidak sadarkan diri?" Salah seorang teman dari supir itu bertanya.
"Dia kemarin mengalami kecelakaan dan kini kelelahan. Jika Bapak tidak keberatan tolong antar kami ke rumah sakit ya Pak." Ucap Pandu.
"Boleh dek. Oh ya alamat Adek di mana? Biar Bapak bisa antar ade ke rumah setelah dari rumah sakit." Sang sopir itu menanyai Pandu.
Pandu lalu memberi tahu alamatnya. Hati Pandu kini sedikit ringan. Ia akhirnya bisa membawa Arin ke rumah sakit. Arin, ternyata ia telah melewati hari yang begitu berat. Pandu menyeka rambut Arin yang menutupi wajahnya. Sudut matanya masih basah dengan air mata. Pandu mengusapnya perlahan. Sudah berapa banyak air mata yang keluar dari matanya. Hati Pandu kini perih mengingat kondisi Arin yang sudah sebatang kara. Dulu ia selalu mengasihani diri sendiri karena telah ditinggal pergi oleh Ayahnya. Ternyata justru ada orang lain yang jauh lebih menderita darinya. Pandu kini berjanji akan selalu ada untuk Arin. Ia tak akan membiarkan Arin merasa sendirian.
****
Sudah larut malam saat Pandu tiba di rumahnya. Pandu membuka pintu perlahan-lahan. Pintu itu tidak dikunci. Amanya tengah duduk di sofa ruang tamu. Bola mata Ama mengekori gerak Pandu. Bibirnya begitu tipis nyaris tak terlihat.
Pandu melangkah lalu berhadapan dengan amanya.
"Kau dari mana saja dugong? Sudah 5 kali Ama dapat Panggilan dari gurumu. Bilangnya nganterin Arin tapi malah membolos! Kamu sengaja kan ninggalin handphone kamu biar Ama gak bisa ngehubungin kamu, hah? Jawab!" Suara Ama lebih kencang dari biasanya. Mungkin Ama sudah membendung emosinya sedari tadi dan baru dikeluarkan sekarang.
"Pandu tersesat Ama." Hanya kata-kata itu yang bisa Pandu ucapkan.
"Oh, tersesat. Di tengah kota yang besar ini kamu tersesat! Kalo nyari alasan yang pintaran dikit dong."
Ama lalu berdiri, mungkin Ama hendak menampar Pandu. Tapi ternyata Ama malah pergi ke kamar. Pandu heran dengan sikap Ama. Tidak biasanya Ama seperti ini. Pandu lalu mengikuti Ibunya dari belakang. Amanya menutup pintu kamar. Pandu menempelkan telinganya pada celah pintu. Ia mendengar Amanya menangis sesegukan. Pandu mulai merasa khawatir. Ia memberanikan diri untuk membuka pintu.
"Ama."
Pandu menghampiri Ibunya.
Ibunya tengah duduk di kursi depan cermin sambil menangis. Pandu lalu bersimpuh di kaki Ibunya.
"Ama, Pandu minta maaf. Pandu benar-benar salah dan sudah keterlaluan. Pandu janji Pandu gak akan ngelakuin hal itu lagi. Ama boleh marah ke Pandu kok, Ama mau tampar Pandu? Ama mau jewer Pandu? Atau Ama mau cubit Pandu? Pandu rela Ama. Asal Ama mau maafin Pandu." Ucap Pandu sembari menangis sesegukan.
"Ama kecewa pada diri Ama sendiri. Mungkin Ama telah gagal dalam membesarkan kamu Pandu. Maafkan aku Nar, aku gagal membesarkan anak kita." Lengan Ama mengusap foto Ayahnya Pandu.
"Tidak Ama, Ama sudah menjadi Ibu yang Paling hebat bagi Pandu. Pandu yang sudah keterlaluan Ama. Jangan salahkan diri Ama. Pandu mohon Ama, maafin Pandu." Pandu mencium tangan Ibunya sembari menangis tersedu-sedu.
"Ama juga minta maaf karena kurang memperhatikan kamu akhir-akhir ini Nak. Berjanjilah pada Ama untuk selalu menjadi anak baik dan menuruti apa yang apa ucapkan. Hanya itu yang Ama mau." Ama lalu merangkul Pandu dan mencium kepalanya.
Malam itu perasaan Pandu kembali tenang. Kini Arin sudah diobati di rumah sakit dan Amanya telah memaafkannya. Pandu belum pernah merasa selega ini sebelumnya. Besok ia akan menjenguk Arin ke rumah sakit. Ia juga akan mengantar Arin pulang. ia sudah berjanji pada Arin.
Pandu membuka layar smartphone nya. Banyak notifikasi yang masuk. Ia pasti sudah dicari oleh banyak orang. Tapi ada notifikasi tak dikenal di smartphone nya. Nomor asing itu mencoba menghubungi Pandu berkali-kali. Ada pesan singkat juga yang dikirim oleh nomor asing ini. Pandu lalu membukanya.
"Kau sudah masuk tanpa diundang. Maka kau juga akan menjadi buruan kami selanjutnya."
Hati Pandu mencelos.